3 Bab 2. Bertemu Rival

Ternyata bersantai di salon sangat menyenangkan. Ototku rasanya tak sekaku saat memasuki salon. Kulit dan rambutku rasanya segar. Entah berapa tahun aku tak memasuki salon lagi. Setahun? Tidak. Lebih kurasa.Lima tahun. Ya, cukup lama kan? Sejak aku melahirkan si kembar, aku tak ada niatan untuk sekedar memanjakan diri ke salon. Selain tak ada waktu, rasanya juga sayang untuk menghambur-hamburkan gaji suami. Namun, kini aku berubah pikiran. Kurasa aku pantas menghabiskan uang suami setelah apa yang sudah kuberikan. Dan apa yang sudah dia torehkan. Semuanya seimbang.

"Gimana?" tanya Karin disela kegiatan kami menunggu mbak salon mengeringkan rambut kami usai serangkaian perawatan yang kami lalui.

"Uhh, rasanya seperti terlahir kembali."

"Maksudku, gimana reaksi suami kamu?" tanya Karin lebih spesifik.

"Oh, itu. Yah gitu, kaget dianya," ujarku terkekeh geli mengingat bagaimana tampang bingung suamiku. Sungguh obat mujarab melihatnya sengsara akibat perbuatannya sendiri.

"Kamu sih, bego banget. Mau aja dijadiin pembantu di rumah sendiri. Jadi perempuan itu kudu pinter. Mana dia mikir kamu ngesot dari pagi ke pagi lagi demi keluarga. Dia mah enak-enakan, taunya beres. Rumah bersih, pakaian bersih—wangi—licin. Anak sehat, pinter—nggak rewel. Mana tau dia gimana susahnya kamu. Yang dia tahu, pulang ke rumah istri kucel bau pesing. Dia mana perduli perjuangan kamu membesarkan anak tanpa pembantu atau babysitter?" gerutu Karin.

Aku hanya bisa mendesah membenarkan semua ucapannya.

"Di luar dia selalu dipepet sama rubah betina yang kinyis-kinyis*, bau wangi, pakaian rapi dengan potongan menggoda. Nah pas pulang ke rumah ketemu bini yang pakai daster doang mana baunya perpaduan antara bau minyak telon sama minyak jelanta*, mana betah doi," ejeknya yang mak jleb langsung ke ulu hatiku. Aku jadi bertanya-tanya, apa benar itu yang dirasakan Mas Hendra?

Sedangkal itukah suami yang dulu pernah memperjuangkan aku? Tak ingatkah dia bagaimana perjuangannya untuk mendapatkanku? Serapuh itukah cinta yang dulu selalu dia dengungkan?

"Pokoknya mulai detik ini stop jadi bodoh!" perintah Karin. Aku mengangguk tegas. Ya, Aruna yang dulu sudah mati. Kini yang ada hanya Aruna yang baru.

"Lalu langkah selanjutnya apa?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Dihhh, kepo," godaku. Dan kami terkekeh bersama. "Besok kalau sukses, aku akan ajak kamu buat nyobain."

"Nyobain? Emang apaan?" tanyanya penasaran. Aku hanya mengangkat bahu acuh. Senyuman tersungging di wajah cantikku.

"Ish, jangan tersenyum jelek seperti itu! Geli aku," ringisnya sambil memalingkan wajah. Aku mencebik kesal.

"Pipi, sama perutmu itu dikempesin dulu," ujarnya terkekeh geli melihat muka masamku.

"Dikempesin? Kamu pikir balon. Sembarangan aja."

Dia kembali tertawa.

**

"Mbak ini totalnya lima juta rupiah," ucap pegawai salon kepada costumernya. Aku meneliti wanita itu, meski dari belakang—sepertinya aku mengenalnya. Ah, iya. Si rubah betina. Sekretaris suamiku, Imelda. Bukannya sekarang masih jam kanyor ya. Enak bener kerjaannya. Awas aja, kalau sampai dia ke sini dengan suamiku. Tak dendeng* mereka berdua.

Aku melarikan pandanganku ke sekeliling salon mencari penampakan suamiku. Aku mendesah lega, kala tak kudapati sosoknya di manapun.

"Ini," jawab Imelda dengan mengangsurkan satu buah kartu.

"Rekening atas nama bapak Herman," ucap pegawai kasir meyakinkan. Wanita itu mengangguk membenarkan. Sialan! Jadi suamiku yang membayar penampilan sempurna wanita simpanannya. Dengan penuh percaya diri, wanita itu memasukkan pin. Oh, jadi sudah berbagi nomer pin ya? Baiklah, lihat apa yang akan dilakukan isrti sah.

Perlahan aku mendekat ke arah mereka, lenganku sempat ditahan oleh Karin. Namun aku menggeleng dan tersenyum, demi meyakinkan Karin kalau aku tidak akan gegabah. Aku sudah berjanji akan bermain cantik.

"Hai Imelda," sapaku. Dia menoleh dan wajahnya memucat kala mendapatiku di belakangnya.

"Oh, aku tidak tau kalau kantor menggajimu melalui kartu suamiku," lanjutku karena dia hanya diam membisu. Tak menanggapi sapaanku.

"Oh... Eh... Itu Bu, tadi bapak meminjamkannya karena saya lupa bawa uang cash." Wajah cantiknya terlihat memucat.

"Em, gitu ya? Emang di kantor santai banget ya Mel. Jam segini kamu sudah bisa nyalon. Padahal tadi pagi, suamiku ijin pulang agak larut katanya banyak kerjaan. Emang yang bener gimana ya Mel?" tanyaku sok tak tahu tipu daya mereka. Aku tahu banget, suamiku pasti nggak sibuk dengan urusan kantor. Tapi dia sibuk memadu kasih dengan selingkuhannya. Yang kebetulan juga sekretarisnya. Pantesan ceweknya disuruh nyalon dulu, biar maksimal nanti kencannya. Sialan mereka!

"Oh ya, Mel. Kartunya biar aku aja yang simpen ya? Biar nanti aku yang balikin. Nggak papa kan?" tanyaku lagi. Tanpa menunggu jawaban dari rubah betina itu, aku langsung mengambil kartu yang berada di tangan mbak kasir.

"Ya sudah kamu balik aja, nanti setelah aku selesai ... aku akan nyusul," perintahku tanpa melihat reaksinya. Aku tidak perduli.

"Nyusul? Maksud ibu?" tanyanya tak mengerti. Aku berdecak kesal, bagimana wanita selemot ini bisa jadi sekretaris suamiku?

"Ck. Ya, aku nanti juga mau mampir ke kantor suamiku. Kenapa? Kamu keberatan?"

"Eng ... enggak kok Bu. Mana saya berani," ucapnya salah tingkah.

"Bagus kalau kamu tau posisimu!" ucapku sarkas.

"Saya permisi dulu, Bu," pamitnya. Akhirnya....

Sepeninggal Imelda, aku meraih meja kasir untuk berpegangan. Badanku lemas seketika, sekuat tenaga dari tadi aku menahan amarah. Berpura-pura tak tau apapun ternyata melelahkan.

"Ya ampun, kamu keren banget! Nggak nyangka aku," kata Karin sambil menopang tubuh lemasku.

"Kupikir tadi bakal ada kejadian viral 'dua orang wanita jambak-jambakan akibat istri sah mendapati wanita simpanan suaminya memakai kartu debit suaminya', sumpah deg-degan aku," cerocosnya lagi.

"Apalagi aku, lemes sumpah," sahutku lelah. Padahal, baru beberapa waktu lalu sebelum bertemu si rubah betina aku merasa tubuhku kayak baru dicharger sampai full. Eh, tiba-tiba ketemu rival. Yang bikin lemes itu ternyata nahan marah. Kalian bayangin aja nih, ibarat kalian sholat terus kebelet kentut, padahal kalian lagi sholat berjamaah. Kebetulan kalian berada di depan sendiri, terus jamaahnya ramai banget. Emang katanya nggak boleh nahan kentut kalo pas lagi sholat, tapi masak iya mesti dikeluarin juga pas sholatnya berjamaah. Belum lagi kalau kentutnya bernada. Kan bisa merusak kekhusyu'an para jamaah. Bisa-bisa mereka dalam diam terus berspekulasi siapa gerangan yang barusan ngeluarian gas. Belum lagi kalau kentutnya bau. Duh, dengan sekuat tenaga pasti kalian nahan tuh kentut sambil jepit kiri dan kanan. Kalian tau kan gimana rasanya? Apalagi kalau mulesnya nggak juga berhenti. Duh, merana pokoknya.

"He... He... Jangan bilang kayak nahan kentut ya?"

Lalu tawa kami berdua membahana, membuat mbak kasir senyum-senyum juga.

Biarlah masalah tetap jadi masalah, kita jangan ikut bermasalah. Asek, kurang bijak apa sih aku? Mas Herman aja yang bodoh, nggak ngelihat betapa istimewanya aku.

"Kamu beneran mau langsung ke kantor suami kamu, terus balikin kartunya?"

"Ya enggaklah. Biar saja mereka berdua gelisah nungguin aku datang."

"Terus?"

"Aku tadi lihat ada iklan di sho**e, lagi promo gede-gedean. Aku mau beli beberapa alat kebugaran. Sini deh aku kasih lihat barangnya. Yang bagus yang mana?" cerocosku menunjukkan aplikasi belanja yang sering nongol iklannya di TV.

Kami larut dalam uforia emak-emak doyan barang diskonan. Weh, mumpung ada dua kartu nganggur yang butuh disedot saldonya. Kapan lagi coba? Padahal tadi kami juga baru selesai belanja.

Morotin suami tukang selingkuh ternyata nikmat sekali.

*dendeng=sejenis makanan. Daging yang diiris tipis lalu dijemur.

Bersambung

avataravatar
Next chapter