2 Bab 1. Siasat

Selamat membaca

"Hai, Sayang. Baru pulang?" tanyaku saat kulihat wajah lelah suamiku. Tak kutampakkan amarah yang sebenarnya sudah menggelegar memenuhi otakku siap meledak. Kuulas senyuman termanisku.

"Hm," jawabnya lelah. Kubantu dia melepas dasi yang memang sudah tak terikat serapi tadi pagi. Samar kulihat bekas gigitan di lehernya. Dia duduk di sofa dengan mata terpejam. Ingin rasanya mencekiknya dengan dasinya sendiri sampai dia mati kejang-kejang dengan lidah terjulur ke luar. Apalah daya, imanku terlalu kuat. Fiuh.

"Kok lehernya ada merah-merahnya, Mas?" tanyaku berlagak pilon. Matanya sontak membuka. Aku mengumpat dalam hati. Dasar tukang selingkuh!

"Oh... Eh... Itu... Anu tadi digigit serangga," jawabnya tergagap.

Serangga heh? Batinku mengejek.

"Ya ampun, Mas. Besok kantor kamu kudu diruqyah. Eh, maksudku disemrot anti serangga. Bahaya lo, Mas. Entar bisa-bisa kena HIV-Aids. Eh... Maksudku, kena DBD," sindirku tersirat.

Dia hanya menatapku bengong.

"Oh ya, Mas. Besok Karin ngajak aku belanja. Boleh ya? Sudah lama lo aku nggak shoping. Sekalian mau meni pedi." Kulihat dia melotot tak percaya.

"Kok tumben?" tanyanya menesik mataku.

"Iyalah, aku kan juga butuh refreshing. Capek tau, Mas. Ngurus rumah sendirian. Aku nanti minta kamu cariin pembantu sama bebysitter ya," perintahku tegas. Matanya hanya berkedip tak percaya.

"Kamu serius?" tanyanya masih linglung.

"Iya, kenapa sih? Nggak boleh aku shoping?" tanyaku sedikit emosi.

"Enggak ... em ... boleh kok. Pakai aja kartuku ini," sahutnya sambil menyerahkan kartu kreditnya. Bagus! Rencana pertama berhasil.

"Waaah, makasih ya, Mas." Kukecup pipinya sekilas, dia sedikit berjenggit kaget. Ck, istrinya yang cium aja langsung kaget. Dasar!

"Mas, itu ... aku mau ganti kendaraan dong. Mas kan sudah sukses, masak istrinya cuma make motor ke mana-mana," cebikku memulai rencana kedua. Kupasang muka memelas.

"Iya, iya. Tapi jangan sekarang ya. Mas masih banyak kebutuhan. Kondisi perusahaan kurang stabil," elaknya. Kalau di situasi normal aku pasti akan maklum, tapi setelah aku melihat beberapa cek pengeluaran yang tertanda atas namanya untuk beberapa tas dan perhiasan mahal. Aku berasumsi, semua barang itu dia berikan ke selingkuhannya. Karena dia sudah lama tidak pernah memberiku barang yang mahal.

"Ihh, Mas. Masak sama istri sendiri aja pelit. Kata orang kalau suami mulai pergitungan sama istri itu tanda-tanda punya selingkuhan. Ayo ngaku deh, Mas!" ujarku dengan nada tinggi. Dia memucat seketika. Mampus!!

"Enggak lah, Sayang. Mana mungkin. Baiklah, aku akan belikan mobil. Puas?" tanyanya sedikit sewot. Tak kupedulikan nadanya yang kurang enak didengar. Yang penting, misi kedua sukses.

Aku langsung menghambur ke arahnya. Ingin mencium pipinya, meski aku muak. Alih-alih menerima ciumanku, suamiku segera bangkit. Berjalan begitu saja meninggalkanku. Baguslah, aku tak harus menahan mual kalau beneran jadi nyium dia.

Rasanya puas melihat dia menderita. Aku akan menguras habis hartamu, Mas. Karena memang itu hakku. Aku yang menemanimu berjuang sekian tahun. Enak saja, setelah sukses kau malah menduakan aku. Tak akan kubiarkan wanita pelakor itu menikmati kerja kerasmu. Tidak!

Kuketik pesan ke Karin atas suksesnya misiku. Aku tersenyum penuh kemenangan.

Dengan langkah ringan aku menuju kamar anak-anakku. Anak pertamaku laki-laki, berusia 5 tahun. Sedang anak keduaku juga laki-laki, dia lahir tak lama setelah anak pertamu lahir. Ya, mereka kembar. Anak ketigaku, perempuan-berusia tepat 4 tahun tiga bulan lagi. Saat anak kembarku masih berusia 6 bulan, dokter menyatakan aku hamil anak ketiga. Hal yang awalnya membuatku kesal. Namun, melihatnya di monitor saat aku memeriksanya ke dokter. Jiwa keibuanku rasanya tak bisa menyangkal kalau aku juga mencintai janinku. Suamiku, sempat menyuruhku menggugurkan kandunganku. Namun aku melawannya. Tak akan kubiarkan siapapun menyakiti anakku. Tidak juga suamiku.

Sejak saat itu, aku menyadari kami mulai berjarak.

***

"Kamu jadi shoping?" tanya mas Herman datar disela suapannya. Ya, kami sedang menikmati sarapan. Ketiga anakku sudah rapi dan makan dengan tertib. Sejak awal aku mulai membiasakan mengajarkan mereka menjadi mandiri. Bahkan anakku yang bungsu sudah pandai makan sendiri, meski kadang masih suka belepotan. Namun, aku percaya proses. Karena begitulah kedua orang tuaku mendidikku.

"Iya, Mas."

"Lalu anak-anak bagaimana?" tanyanya seakan mencari alasan supaya aku tidak keluar untuk menghabiskan uangnya.

"Oh, anak-anak ikut dong."

"Kamu yakin? Bagaimana kalau mereka hilang?"

"Maksud aku, anak-anak ikut aku. Nanti aku titipin sama Mama. Mama kangen sama cucu, katanya," jawabku menutup mulutnya yang masih mau menyangga. Terlihat sekali kalau dia keberatan aku menghabiskan uangnya. Namun, apa peduliku?

"Oh."

"Ngomong-ngomong, kamu harus secepatnya cari pembantu sama bebysitter ya, Mas," cerocosku tak peduli.

"Kenapa sih, tumben. Biasanya kamu nggak suka ada orang lain bantu kamu di rumah?"

"Itu kan dulu sebelum aku keteteran, oh ya sekalian sama mobilnya ya, Mas. Kalau bisa besok sudah diantar."

Tanpa komentar dia menatapku bingung. Mungkin dia berpikir aku kemasukan jin matre. Rasain lo, Mas!

"Warna merah," lanjutku.

"Harus banget ya?"

"Iya, soalnya motorku sudah dibeli sama Mang Dadang buat anak perempuannya dia bilang."

"Uangnya penjualannya mana?" tanyanya. Aku meringis mendengarnya.

"Maaf, Mas. Sudah aku beliin buat DP rukonya si Deah. Dia bilang mau buka usaha selepas kuliah."

Deah itu adikku. Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Memang uangnya buat DP ruko. Tapi bukan buat Deah. Ruko itu aku beli atas namaku. Buat modalku nanti setelah aku bercerai dari Mas Hendra. Setidaknya, aku harus menyiapkan semuanya. Tak mau aku bercerai darinya tanpa membawa apapun. Biar saja orang bilang aku licik. Namun ini demi kelangsungan kehidupan ketiga buah hatiku dan juga diriku. Kurasa ini setimpal dengan perjuanganku menemaninya.

"Kok kamu nggak ijin dulu?" tanyanya marah.

"Lo, kok Mas marah?"

"Bukan marah, tapi kan lumayan uangnya buat DP mobil."

"Mas, selama kita menikah. Baru kali ini aku minta beliin sesuatu. Aku nggak pernah minta beliin ini itu. Padahal sekarang posisi Mas di kantor sudah manajer. Kemana semua penghasilan Mas? Mas mulai curang ya?" selidikku membuatnya memucat.

"Apa Mas pikir aku nggak tau berapa gaji manajer di perusahaan kamu. Aku kenal Pak Ilham, dia manajer bagian personalia. Aku tahu pasti berapa gajinya, karena istrinya itu teman arisan Runa. Dia sering dibeliin suaminya berlian. Mobilnya juga keluaran terbaru."

"Mas yang manajer keuangan masak nggak mampu beliin istrinya mobil. Aku nggak minta mobil yang sama dengan mbak Hanum yang harganya milyaran. Yang seratus lima puluh jutaan juga nggak papa, syukur-syukur kalau Mas beliin yang sama dengan mobil Mbak Hanum," ujarku sadis.

"Atau kecurigaanku benar? Kau punya simpanan?" tanyaku menyelidik.

"Enggak ... mana mungkin," elaknya cepat.

"Ya sudah, kalau gitu beliin mobil!"

"Iya ... iya."

Suasana ruang makan kembali sunyi, hanya terdengar bunyi sendok yang beradu dengan piring atau desahan panjang suamiku. Apa kau sudah frustasi mas bojo? Permainan baru saja dimulai. Jangan menyerah dulu, Mas! Siapkan tenagamu.

Bersambung

Bagaimana hari kalian? Semoga sehat selalu ya all

avataravatar
Next chapter