279 CH.279 Tidak Sadar

Malam itu ujung-ujungnya aku menikmati waktu dengan Feliha berdua. Untung aku tidak memakai mobil yang menarik perhatian atau pakaian juga. Hanya saja beberapa orang melihat ke arah kami, jarang ada seorang pria hanya berpergian berdua dengan anaknya.

Bukan pandangan aneh, tetapi pandangan tersenyum. Aku cukup peka untuk menyadari itu dari orang lain. Tentu saja aku tahu, karena aku dan Feliha pun juga bahagia, orang lain pun juga akhirnya tersenyum walau hanya melihat kami.

Buatku senyuman orang lain itu arti bahwa aku tidak gagal dalam mengubah sifat orang menjadi baik, sadar tidak sadar, mau tidak mau. Boleh dibilang aku paling suka saat orang bisa tersenyum seolah kalau ada beban dalam hidupnya, itu terlepas.

"Papa, papa, di pipi papa ada sisa es krim, di dekat bibir papa."

"Huh, dimana? Feliha aja deh yang bersihin buat papa."

"Un! Papa menunduk dikit dong."

Hahaha, dimanja anak sendiri itu menyenangkan juga. Sekali lagi aku ingin mengucapkan kepada para jomblo yang tidak bisa dimanja, apalagi udah tua bangka dan masih belum nikah, aku tidak akan meminta maaf, sukurin aja kau. Bukan tipeku yang merasa bersalah kepada orang, salah apa aku kenapa kalian para jombloers.

Melihat Feliha tersenyum itu seolah dunia berhenti untuk sejenak. Dan buatku, sejenak itu membuatku tidak perlu memikirkan masalah yang aku hadapi. Kalau dunia berhenti, artinya Kuroshin atau dewa takdir pun tak akan mampu menyentuhku sama sekali. Itu kenapa aku menjadikan Feliha dan Kiera sebagai alasan untuk bertahan hidup.

"Pst, lihat orang itu dan anaknya, manis sekali tahu gak?"

"Huh? Kamu berpikir hal yang sama? Zaman sekarang seperti ini masih ada ya orang seperti mereka yang menghabiskan waktu bersantai walau dunia dalam masalahnya?"

Tentu saja, kenapa aku perlu panik walau dunia bergoncang, rusak atau apa pun itu? Aku juga tahu dunia mana yang bisa kutempati dan aku bisa langsung teleportasi. Pada dasarnya aku tidak punya hal yang butuh diperhatikan selain keluargaku dan dewa sialan yang satu itu.

Buat yang benci kepada sifatku, bencilah kepada Kuroshin terlebih dahulu, maka kau akan sadar alasan kenapa aku berlaku seperti ini. Aneh? Tidak, namanya orang itu akan berubah karena ada sesuatu yang pasti memulainya terlebih dahulu.

"Papa, mereka berbicara tentang kita ya?"

"Hahaha, tidak usah didengarkan Feliha sayang. Kalau sudah selesai, nanti papa ajak ke tempat yang indah, Feliha mau bukan?"

"Tentu saja mau!!"

Anak yang antusiasmenya tinggi, kujamin kalau di sekolah, Feliha pasti mampu untuk belajar apa pun itu dan menguasainya. Bisa dibilang Feliha menurunkan sifatku tentang kutu bukuku. Tunggu… kalau begitu apa aku harus memberinya buku untuk dipelajarinya. Bukan hanya buku pelajaran sekolah atau yang sulit seperti yang selalu kubaca, tetapi buku fantasi.

Feliha itu masih terbilang muda, usia di mana dia mempelajari banyak hal baru yang tidak dikenalnya. Kalau aku membuatnya mengetahui banyak hal sejak awal, tubuhnya mungkin masih tubuh kanak-kanak, tetapi otaknya sudah terlatih layaknya dewasa sejak dini.

Tidak yakin sebenarnya apa tanggapan Kiera tentang ini, tetapi seharusnya tidak masalah bukan? Aneh dan menakutkan terkadang kalau aku tidak meminta izin Kiera dalam melakukan sesuatu. Kiera itu gunanya seperti keran dalam hidupku, yang menentukan kapan aku bertindak, kapan aku harus menahan diri.

"Terus papa ingin membelikan dan memberikan buku apa pun kepada Feliha. Feliha sudah bisa membaca bukan? Ingin tidak?"

"Buku!! Feliha ingin. Saat melihat lemari buku papa, Feliha ingin memiliki lemari buku sendiri seperti papa!!"

Anak satu ini benar-benar antusias soal buku. Untuk suatu alasan aku tersenyum luar dalam mengetahui bahwa kegirangan kepada dunia literatur belum mati. Orang banyak terkadang meremehkan kemampuan sebuah buku. Padahal kalau benar-benar dipelajari dan dipahami, apa pun itu akan menjadi sebuah roda gerigi pengubah nasib.

Salah satu contohnya simpel, tidak jauh, pernah terjadi, yaitu saat melawan monster-monster itu. Orang mengira kami berhasil menang karena kami kuat? Tidak, kami itu lemah sebenarnya. Namun bagaimana kami cara menangani kelemahan itu dengan sebuah rencana yang berbeda.

Perbedaan orang yang teredukasi atau tidak adalah bagaimana otak mereka bisa digunakan. Edukasi-edukasi yang diterima mampu menciptakan sebuah pemikiran yang mendorong orang untuk keluar dari masalah. Salah satunya adalah membuat rencana yang baik dan efektif.

"Baiklah kalau begitu, besok kita cari buku sambil berjalan-jalan. Sekarang sudah malam, semua toko buku sudah tutup."

"Yah… ya sudah deh, Feliha bisa menunggu. Papa, papa, apa papa bisa memberi kepada Feliha sebagian buku dari koleksi papa?"

"Dari koleksi papa? Semuanya itu buku yang sulit lho, apa Feliha yakin? Buku-buku yang ada di koleksi yang papa miliki adalah buku yang membantu papa membuat banyak hal juga riset yang papa laksanakan."

Secara pribadi aku tidak akan mempermasalahkannya. Namun kalau dilihat, perkembangan Feliha akan terhambat hanya karena dia tenggelam dalam dunia literatur. Aku suka sih, tetapi aku lebih ingin Feliha mengikuti tren yang ada dan menjadi orang yang terbuka kepada orang lain juga. Tidak baik seorang perempuan tinggal sendiri tanpa teman, itu penderitaan.

Dunia itu kejam, aku tahu dunia mana yang bahkan lebih kejam. Mau dibilang, aku bersyukur aku kembali hidup bukan di tempat yang penuh monster dan ketakutan. Heresia mungkin iya, tetapi tidak setiap hari orang hidup dalam ketakutan.

"Feliha ingin!! Feliha tertarik kenapa papa membaca buku dari koleksi milik papa seperti membaca dongeng saja."

"Hahaha, oke deh. Sudah selesai makannya bukan? Kita pulang yuk, sudah terlalu malam. Jalan-jalannya besok saja, lagipula besok kita masih punya waktu banyak."

Dulu mungkin aku tidak akan memikirkan hal yang lain dan bekerja 24/7 tanpa tahu apa arti istirahat itu sebenarnya. Namun sekarang aku mau membatasi diriku dan menghabiskan sisa waktuku dengan keluargaku selama aku bisa. Hidup itu kesempatan, harus dimanfaatkan dengan baik. Eh tunggu, buat orang lain kesempatan, buatku itu penderitaan.

Lagipula aneh sih, mana ada orang yang tidak takut akan kematian dan akhirnya melupakan arti hidup dan mati itu sendiri. Bukannya aku tidak takut lho ya, tetapi lebih tepatnya aku sudah kebal terhadap semuanya itu. Salah mereka juga mempermainkan hidupku terus-menerus.

Sama seperti racun, pada awalnya orang akan merasakan rasa sakit yang begitu besar seolah ada tangan yang mencekam leher. Namun semakin lama orang terkena racun yang sama, orang akan terbiasa dengan efek yang dihasilkan. Ujung-ujungnya orang itu akan kebal dengan racun itu. Buatku kematian itu sama seperti racun itu.

Buat orang terkhusus diriku, mati sekali itu pasti menakutkan, mati dua kali lebih tenang, dan mati tiga kali? Entahlah, aku belum pernah mati tiga kali. Eh sudah deng, aku mati pertama sebagai Lucifer, dua sebagai Sin, tiga sebagai Kioku. Entah mati tubuh Rie yang ini bisa dihitung atau tidak.

"Baik pa, mama dan yang lain pasti khawatir tentang kita."

"Kita pulang sekarang, papa gendong lagi sini sampai ke mobil."

Soal Kiera khawatir kepada Feliha itu mungkin bisa dipikirkan, tetapi khawatir kepadaku? Marahnya saja kepadaku kemarin malam sampai hari ini tidak bisa dipikirkan. Makanya aku ragu kalau benar Kiera khawatir tentangku. Malah justru aku khawatir Kiera tambah marah.

Benar juga, kalau misal Kiera tambah marah bagaimana ya? Tidak ada kepastian bahwa Aeria bisa menenangkan Kiera sepenuhnya. Bisa saja memang Kiera sedang mengalami sesuatu yang menyebabkan emosinya tidak stabil dan berpengaruh kepada semua orang yang dilihatnya.

"Oh ya papa, kenapa mama tidak ikut kita untuk pergi makan malam ini? Feliha lebih suka kalau papa, mama, dan Feliha pergi bersama-sama setiap saat."

"Hahaha, mama sedang berbicara dengan tante Aeria bukan tadi papa sudah bilang? Lagipula papa ingin menghabiskan waktu juga sendiri dengan Feliha. Feliha memang tidak suka hanya dengan papa sendiri?"

"Unhn, tidak kok, Feliha suka, tetapi bertiga itu lebih menyenangkan saja."

Kurasa aku mengerti kenapa sebuah keluarga itu terdiri dari tiga orang minimal, pasangan pasutri, dan seorang anak atau mungkin lebih. Buat pasangan suami istri, seorang anak itu bisa dikatakan bukti cinta mereka nyata. Feliha apalagi, itu artinya bahwa keluarga yang aku miliki dengan Kiera itu berlangsung bahkan sampai begitu lama.

Aku mengharapkan bahwa keturunanku itu baik-baik saja, tetapi rasanya seorang keturunan dewa tidak akan bisa hidup damai dengan mudah. Anak-anakku entah masih hidup atau tidak, tetapi kalau iya masih, rasanya rindu aku memeluk mereka sekali lagi dengan erat-erat.

"Begitu ya, besok kita pergi dengan mama juga ya?"

"Un!!"

Ah, kenapa aku berjanji seperti itu ya? Bagaimana kalau Kiera masih marah kepadaku dan tidak memungkinkan untuk pergi bersama-sama? Kurasa aku salah bicara juga hanya karena melihat muka Feliha yang terlihat sedikit sedih tidak pergi bertiga dengan Kiera juga.

Namun aku tidak akan mengingkari apa yang kukatakan, sebisa mungkin aku akan mencoba membujuk Kiera untuk tidak marah lagi entah dengan cara apa pun. Sekarang tinggal pulang dan berbicara dengan Kiera.

"Hoam… sudah sampai ya pa?"

"Ya, Feliha masuk sana dulu, papa mau parkirkan mobil. Juga langsung tidur ya habis ganti baju? Sudah larut malam ini."

"Feliha paham pa, selamat malam."

"Selamat malam."

Setelah aku selesai mengurusi mobil, aku langsung masuk dan menguping sebentar ke kamar tamu apa Kiera masih ada di situ. Namun bodohnya aku tidak menyadari bahwa Jurai dan Aeria sedang perang ranjang, jadi aku minggat saja dan kembali ke kamarku dan Kiera.

Namun sebelum aku masuk, rasanya sekujur tubuhku penuh dengan keringat dingin takut kepada Kiera. Setelah akhirnya memberanikan diri, aku masuk dengan perlahan takut membangunkan Kiera kalau memang dia sudah tertidur. Dan benar saja, Kiera sudah tertidur entah dari kapan.

"Sayang, sudah pulang? Dari mana dengan Feliha tadi?"

"Eh, apa aku membangunkanmu sayang? Dari makan malam tadi. Apa sayang masih marah denganku?"

"Aku ingin bicara denganmu sebentar sayang, mungkin ini karena kamu tidak sadar."

avataravatar
Next chapter