webnovel

BAB 14

-Jika dia adalah takdirmu, aku rela dengan syarat kamu tidak akan terluka bersamanya-

***

Atha mengetuk kamar Ridho setelah berperang dengan akal pikirannya. Sudah lama mereka tidak mengobrol kecuali satu dua patah kata di hadapan Mama dan Papa. Itu semua berawal dari Ridho yang menganggapnya telah mengambil Bela. Atha sudah mencoba menjelaskan kesalahpahaman itu, kalau dirinya sama sekali tidak menaruh perasaan apa pun terhadap perempuan yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Tapi Ridho tidak percaya dan bahkan menjaga jarak dengan Bela begitu juga dengan saudara kembarnya.

Sikap Ridho kian hari kian bertambah buruk, bersikap semaunya. Namun, setelah dua tahun berlalu Atha melihat perubahan baik tatkala Ridho sudah berbicara dan jalan bareng Bela lagi. Atha mengetahui itu karena dia selalu mengawasi adiknya meski terlihat cuek. Ridho sepertinya baru selesai mandi dengan tetesan air jatuh di pundak baju kaos hitam yang dipakainya. Alisnya sempat menaut hingga Atha mengutarakan maksudnya langsung.

"Dua menit gue mau keluar," ucap Ridho datar, tangannya membuka lebar pintu lantas menutupnya lagi agar orang tua mereka tidak melihat kecekcokkan mereka.

Atha memerhatikan Ridho yang menyimpan handuk.

"Kenapa? Lo mau pindah kamar ini?" Ridho berbalik mengambil kunci di atas nakas.

"Tunggu," cegatnya ketika Ridho hendak keluar kamar. "Lo udah baikan dengan Bela?"

Ekspresi Ridho masih sama, tidak terbaca.

"Oke, gue untuk kesekian kalinya minta maaf dan ya gue bakal berhenti membicarakan itu lagi," paparnya cepat dan ingin segera mengatakan apa yang menjadi tujuannya.

"Temen lo, apa dia punya rencana jahat terhadap Raisa?"

Atha ataupun Ridho sama-sama diam selama beberapa detik hingga suara ponsel ridho berdering.

"Gue cuma enggak mau kalian menyakiti perempuan lagi," ungkap Atha membuat Ridho mendengus.

"Gue rasa itu bukan urusan lo, ketos," sahut Ridho menolak panggilan penelpon.

"Ya, memang bukan tapi gue enggak akan biarin Raisa menjadi korban kali—''

"Apa lo suka Raisa?" potong Ridho membuat wajah Atha pias. Ridho tertawa mengambang, baru kali ini dia melihat Atha salah tingkah dan begitu menggemaskan.

"Sayangnya gue enggak bisa dukung lo," tutur Ridho memegang knop pintu. "Gue cabut!" pungkasnya meninggalkan Atha sendirian dalam kamar.

Ridho menuruni tangga cekatan, menelpon kembali pemanggil yang dirijectnya.

"Ya, gue mau keluar ini. Sorry, tadi ada urusan. Lo di mana Rio?"

"Gue sama Rijal udah di cafe si Alif tapi lo jangan ke sini dulu deh," jawab Rio di seberang sana.

"Kenapa? Apa sesuatu hal buruk terjadi?"

"Ya, Bela di sini bersama Arifah. Alif bilang Arifah ngajak Bela ketemuan, sepertinya mereka bentar lagi pulang. Gue sama Rijal masih di persembunyian ini. Kalau lo dateng, masuk pintu belakang aja, ya?"

Ridho menutup ponselnya setelah mengerti situasi di luar sana. Memakai helm dan segera menstartkan motornya ke cafe. Selama perjalanan dia terbayang dengan obrolannya dengan Atha. Saudara kembarnya yang selama ini dia abaikan dan sekarang terlihat begitu menyedihkan.Ya, setidaknya Ridho pernah merasakan apa yang dirasakan Atha sekarang ini. Menyukai seseorang tanpa balasan. Namun, Ridho menganggap dirinya sedikit beruntung karena pada akhirnya dia tahu dan mau mengakui kalau orang yang dicintainya tidak sejahat yang dia kira.

Bela memang tidak mengungkapkan bagaimana perasaannya tapi Ridho tidak bodoh dalam membaca tingkah Bela setiap kali di dekatnya. Dulu dia memang buta dan egois karena masih sangat remaja tapi dia berjanji tidak akan mengulangi hal sama. Ridho mencoba menahan emosinya dan membiarkan pikirannya bekerja sebelum bertindak. Ridho dan Bela, dua insan yang saling mencintai namun sama-sama memilih jarak karena kesalahpahaman. Dan, Ridho menyesal karena telah mengeluarkan kata umpatan pada perempuan itu hanya karena Bela pernah salah memanggil namanya dengan panggilan Atha.

Hal sepele namun berefek besar. Tapi kini, Ridho bertekad memperbaiki itu semua.

Ridho memakirkan motornya, berdiri menatap cafe transparan yang memperlihatkan Bela duduk dekat jendela di antara Arifah dan Alif. Baru tadi sore mereka bertemu tapi rasa ingin selalu bersama dengan Bela tidak bisa dibohonginya. Andai saja dia bisa bersikap seperti Arifah yang menemui Alif tapi dia sadar, sikap dinginnya selama ini cukup memberinya batasan. Ridho masih mengamati saat Bela membuka mobil di sisi kemudi. Dia berharap Bela selamat sampai rumahnya agar dia bisa tenang. Setelah merasa Bela menghilang dari pandangannya, dia segera masuk cafe menemui temannya yang sudah memilih meja di pojok.

"Dho, gue rasa lo harus hentiin Yuda sekarang," buka Rijal to the point.

"Gue enggak tega liat Raisa nantinya tau permainan kita ini. Lo liat sendiri bukan bagaimana Raisa sekarang? Selama ini kita memandang dia cuek dan sombong tapi nyatanya dia memiliki riwayat psikis yang buruk."

Semua dari mereka tahu traumatik yang diderita Raisa atas cerita yang dibeberkan oleh Fairus mengenai Fuadi. Bagaimana ketakutan Raisa setiap melihat orang berkelahi. Siapa pun yang mengetahuinya pasti akan menaruh empatik, mengingat umur belia Raisa saat menyaksikan pembunuhan sadis tersebut. Dan Rijal tidak ingin Yuda menjadi lelaki tambahan yang membuat traumatik Raisa kembali mencuat nantinya. Rio setuju dan mengungkapkan pendapatnya. Dia akan mencoba berbicara baik-baik dengan Yuda besok.

"Kalian enggak perlu cemas begini, Yuda gue rasa dia punya feel sama Raisa. Gue udah lama enggak liat dia natap seseorang dengan mata berbinar sejak—'' Ridho menggantung kalimatnya, Rio, Rijal dan Alif belum mengetahui masa lalu Yuda yang tidak pernah diberitahu sama siapa pun.

"Terakhir untuk Angel."

-Saat hati ini berdetak, aku sadar ia telah jatuh sangat cepat-

***

Mata Raisa membulat penuh ketika menyadari Yuda melakukan videocall yang menampilkan wajah bangun tidurnya. Di seberang sana lelaki itu terkekeh ketika mendapati Raisa masih bergelamut dalam selimut sedangkan dirinya sudah rapi dengan seragam sekolah.

"Yu, aku mandi dulu," ucap Raisa cepat memutuskan panggilan dengan berlari ke kamar mandi. Tidak terasa tidurnya begitu lelap tadi malam padahal mereka berkomunikasi sampai tengah malam.

"Bunda, kok Raisa enggak dibangunin?" Raisa menuruni tangga menuju Bundanya yang tengah menata piring di meja makan.

"Udah dua kali, Sayang. Malah yang ada kamu senyum-senyum waktu Bunda suruh bangun, bukannya langsung bangun tapi tambah meluk bantal guling erat," jawab Bunda menyolek pipi Raisa gemas.

"Yaudah makan dulu, jangan bikin dia nunggu lama," ucap Bunda tapi Raisa semakin mengeratkan pelukannya.

"Ah, masih punya waktu lima belas menit, Bun. Abang Fairuz kan jago ngebalap. Enggak apa-apa, sesekali terbang," balasnya belum menyadari sosok yang sedari duduk di ujung kursi meja makan.

Bunda terkekeh, membalikkan tubuh Raisa menghadapnya.

"Kok ketawa, Bund? Biasanya Bunda bakalan bi …."

Ucapan Raisa terhenti ketika menuruti arah kerlingan mata hitam Bundanya ke arah belakang Raisa.

Yuda melambai tangan sambil mengeluarkan senyum kecilnya yang sukses bikin Raisa melongo sekaligus malu. Raisa lupa kalau abangnya sudah berangkat pagi sekali bersama Papa ke luar kota dan hari ini dia sudah berjanji pergi bareng Yuda ke sekolah.

"Udah enggak usah bengong gitu, makan roti dulu." Bunda menuntun Raisa untuk duduk, membantunya mengolesi selai cokelat di roti.

Raisa memaksakan dirinya untuk melahap roti dengan cepat karena sedari tadi Yuda memperhatikannya lekat.

"Bunda, Raisa udah selesai. Kami pergi dulu, ya, assalammualaykum," pamitnya menyalami Bunda tanpa lupa mencium kedua pipi Bunda. Yuda juga melakukan hal sama menyalami Bunda sebelum berjalan ke arah mobil.

"Ayo naik, Sweetheart," ucap Yuda membuka pintu pengemudi untuk Raisa yang tersipu malu namun segera masuk agar tidak terlalu hanyut oleh sikap manis Yuda.

"Motor kenapa, Yu?" tanya Raisa ketika Yuda berhasil mendaratkan bokongnya di kursi kemudi.

"Di rumah, maaf enggak bisa meluk pinggang aku. Besok kalau kamu udah fit kita berangkat pakai motor. Aku nggak mau kamu masuk angin makanya kita pergi pakai mobil aja," jawab Yuda membantu Raisa memakai seatbelt. Yuda menahan tawanya melihat wajah dekat Raisa yang berubah merah. Perempuan itu tersipu atas kalimat panjang yang diutarakan Yuda sekaligus karena jarak antara mereka begitu dekat.

Setelah setengah menit berlalu Raisa mendorong pelan tangan Yuda yang masih melingkar di bahunya.

"Cepat, Yu, tinggal lima menit lagi."