webnovel

Ranjang Yang Ternoda Part 8E

Pak Bambang menyalakan lampu kamarnya dan duduk di depan meja kerja sambil memegang pena dan beberapa carik kertas kosong. Apa yang ia saksikan beberapa minggu belakangan ini telah mengubah semua pandangannya, ia tidak menduga kehadiran Dina akan membawa perubahan besar dalam keluarganya, terutama pada Dudung, tapi nyatanya itulah yang terjadi.

Dudung berubah menjadi laki-laki yang lebih baik, lebih menurut dan pada saat-saat tertentu Pak Bambang yakin, walaupun Dudung bukanlah orang yang pintar, paling tidak ia bukan orang jahat seperti dirinya.

Semua itu berkat Dina.

Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Dina meladeni Dudung dengan penuh kesabaran dan telaten. Ia berharap Dina mulai luluh dan jatuh cinta pada putranya yang lugu itu. Dina bisa membuat Dudung melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan dalam kemampuannya yang terbatas.

Semua berkat Dina.

Dina yang telah ia perkosa dan permalukan. Dina yang telah ia gagahi di depan suaminya sendiri. Dina yang ia paksa cerai. Dina yang ia paksa menikahi Dudung.

Bukannya dendam, Dina malah memberikan semua yang terbaik untuk Dudung dan keluarganya.

Pak Bambang terbatuk-batuk.

Akhir-akhir ini batuknya lebih terasa sakit di dada. Berat dan menyesakkan.

Pak Bambang menulis dengan tenaganya yang lemah sambil terbatuk-batuk. Sebuah surat yang panjang. Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk Dina, mungkin inilah yang terbaik. Setelah semua yang ia paksakan pada Dina, mungkin inilah cara terbaik untuk membayarnya.

Pak Bambang meraih pesawat telepon di mejanya dan memencet beberapa tombol. Terdengar nada tunggu, lalu suara di ujung mengucapkan kalimat sapa.

Pak Bambang terbatuk-batuk sebelum berbicara. "Bud, ini aku, Bambang. Iya. Aku sudah menyelesaikan suratnya. Kelak bisa kamu ambil di tempat yang sudah kita janjikan di kamarku. Kalau bisa ajak juga Randy atau anak-anakku yang lain saat mengambilnya. Oke? Ya, begitu saja. Terima kasih."

Pak Bambang meletakkan gagang telpon di tempatnya dan kembali terbatuk-batuk.

Pria tua itu tercenung ketika membaca kembali surat yang baru saja ia tulis.

Ia tersenyum dan sekali lagi terbatuk-batuk.

Kali ini batuknya mengeluarkan darah.

###

Pak Hasan sedang asyik membaca menonton acara televisi ketika telepon berdering. Jengkel juga dia diganggu malam-malam begini. Dengan langkah gontai orang tua itu berjalan menuju meja telepon dan mengangkat gagangnya.

Pak Hasan mengangkat telepon dengan malas, "Halo? Siapa ini?"

"Ini Dina, Pak. Lidyanya ada?"

"Ooh, Mbak Dina. sebentar, saya panggilkan Lidya ya."

Dina menunggu sesaat di ujung telepon yang satu lagi.

Dalam hati, Dina iri pada Lidya. Rupanya Pak Hasan benar-benar betah tinggal di rumah adiknya itu, menemani sang menantu yang kesepian ditinggal suaminya saat sibuk bekerja. Baik benar mertua Lidya itu, tidak seperti mertuanya yang kalau malam malah menyuruh menantunya melayani keinginan bejatnya.

Seandainya saja Dina tahu.

Terdengar suara langkah kaki yang lari dan suara Lidya di ujung telepon, nafasnya kembang kempis. "Ha-halo?"

"Halo. Lidya? Ini Mbak Dina."

"Eh? Mbak Dina!!! ini bener Mbak Dina??" Suara Lidya yang terkejut dan gembira terdengar sangat jelas di telepon. "Aduh, Mbak! Mbak Dina kemana aja? Aku sama Mbak Alya khawatir sekali! HP Mbak Dina dimatiin, HP Mas Anton juga. Telpon rumah nggak diangkat, rumah kosong… Mas Andi malah sudah menghubungi bagian orang hilang di kepolisian. Mbak Dina baik-baik saja kan? Mbak Dina kemana aja? Anak-anak bagaimana?"

"Semua sehat-sehat saja. Tapi…" suara Dina terputus.

Lidya mengerutkan kening. "Tapi apa, Mbak?"

"Ceritanya panjang. Terlalu panjang bahkan." desah Dina. "Aku ingin bertemu dengan kalian, kamu dan Alya. Aku kangen sekali."

"Sama, Mbak! Kami juga…" Lidya menghela nafas sejenak. "Aku kangen sekali, Mbak."

"Jangan khawatir. Aku akan segera pulang. Semua akan baik-baik saja mulai sekarang." Kata Dina penuh keyakinan. "Semua akan baik-baik saja."

"Syukurlah kalau begitu, Mbak."

Kedua wanita jelita itu menarik nafas lega, hampir bersamaan.

Angin sejuk berhembus membuai wajah Dina. Untuk pertama kali sejak berbulan-bulan, harapan yang tak pernah berhenti ia gantungkan, akhirnya datang juga kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Seperti kalimat yang ia ucapkan untuk menenangkan Lidya tadi, semuanya akan baik-baik saja. Dina yakin sekali.

###

Siapa yang bisa menduga nasib manusia? Kadang berada di atas kadang jatuh ke bawah, terdengar klise memang karena kata-kata tersebut selalu diulang dalam setiap pergulatan hidup manusia, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Hidup manusia seperti roda yang berputar. Kala seorang berada di bawah, dia selalu memimpikan puncak kejayaan yang berada di atas.

Sebuah impian yang kadang bisa menjadi pemicu semangat untuk bergerak maju dan menggapai prestasi. Sayang kala dia sudah berada di atas, setelah meraih semua yang ia impikan, seorang manusia sering lupa pada semua hal yang mendukungnya, hal-hal kecil yang telah membantunya, semua harapan yang dipikulkan ke pundaknya. Ia lupakan semua yang telah membantu menapaki tangga kejayaan.

Bambang Haryanto dulunya adalah seorang pekerja keras, ia sempat bekerja sebagai tukang koran dan tinggal dari kontrakan murah ke kontrakan murah lainnya. Ia hidup sederhana dengan istrinya, seorang wanita sederhana yang berjualan gado-gado untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mereka dikaruniai beberapa orang anak, sayangnya anak yang paling bungsu dan paling mereka sayangi menderita keterbelakangan mental. Hal yang membuat hidup keluarga Pak Bambang semakin susah dan menderita. Tapi saat itu, Pak Bambang tak pernah berhenti berusaha dan mengeluh, sedikit demi sedikit mereka menabung, uang yang tidak seberapa ia gunakan untuk membeli barang dagangan di pasar dan dijual ke perumahan.

Lama kelamaan, karena jujur dan suka bekerja keras, banyak warga perumahan yang bersimpati dan membantu keluarga Pak Bambang. Warung gado-gado istrinya menjadi lebih besar dan laris.

Pekerjaan demi pekerjaan serabutan diberikan pada Pak Bambang sampai akhirnya ia dipercaya menjadi karyawan sebuah perusahaan distributor yang sedang berkembang yang kebetulan dikelola oleh salah seorang warga perumahan. Berkat usaha kerasnya perusahaan tersebut sukses besar dan posisinya pun makin lama makin meningkat seiring prestasi dan jasanya pada perusahaan.

Berbekal pengalaman dan modal yang ia miliki, Pak Bambang mendirikan perusahaan sendiri. Berkat kerja keras dan relasi yang melimpah, Pak Bambang menuai sukses besar. Perusahaannya maju pesat bahkan mampu mengalahkan tempat kerjanya yang lama. Ia kini dikenal sebagai Raja Midas kecil, pengusaha yang punya sentuhan emas.

Sayang gelimang harta yang makin sering menghampiri tak mampu menyelamatkan nyawa istrinya yang terkena penyakit ganas. Setelah sempat menikmati sejenak kehidupan mewah, istrinya meninggal dunia. Hal ini sangat memukul Pak Bambang, ia begitu menyayangi istrinya yang setia. Rasa kehilangan yang amat sangat dirasakannya membuat Pak Bambang lupa diri, ia berubah menjadi lelaki dingin yang kejam.

Sepeninggal sang istri, Pak Bambang lalu menikahi banyak wanita dan terus memangsa gadis muda yang cantik sebagai pemuas nafsu birahinya. Ia kucilkan anaknya yang idiot di sebuah villa terpencil karena malu atas keberadaannya.

Ia gusur perumahan yang dulu menjadi tempatnya mencari uang untuk didirikan kompleks industri yang sangat luas. Ia buat perusahaan lamanya gulung tikar. Ia menjadi predator yang buas dalam dunia usaha, kekayaannya tak terhitung. Pak Bambang melupakan masa lalunya.

Tapi semua kekayaan yang ia dapat semasa hidup tak mampu membahagiakannya. Ia tak mampu mengatur nasib yang ia jalani. Beberapa hari setelah merayakan ulang tahun ke-73, Pak Bambang meninggal dunia, meninggalkan kerajaan bisnis yang sangat besar ke tangan keluarga.

Tubuh kakek tua pendek yang sudah beruban itu terbujur kaku di dalam petinya. Inilah pertama kalinya Dina melihat ayah mertuanya itu tak berdaya. Dudung menjerit-jerit dan menangis melihat jenazah ayahandanya diangkat untuk dikebumikan di samping istri pertamanya. Istri-istri muda Pak Bambang datang untuk memberikan penghormatan terakhir sekaligus meminta hak waris, untunglah Pak Bambang sudah menitipkan surat warisan pada sang pengacara yang juga kawan dekatnya.

Dina menepuk-nepuk bahu suaminya yang menangis tersedu-sedu.

Dina tahu, kini dia bebas. Tak ada lagi pria tua yang membelenggunya dalam jeratan nafsu birahi. Namun walaupun ia kini bebas, Dina tak akan mengkhianati cinta Dudung, dibandingkan Anton yang telah menjerumuskan keluarga mereka dalam hutang yang tak bisa dilunasi dan menjualnya pada laki-laki lain, Dudung mencintainya dengan segala kepolosannya, dengan segala kejujurannya. Dina tak akan meninggalkan Dudung. Apalagi anak-anak juga sudah mulai menyukai ayah baru mereka ini, walaupun mereka menganggap Dudung sebagai teman, bukan ayah.

Hanya satu dendam yang masih menyala dalam hati Dina. Dendam pada laki-laki yang telah menghancurkan rumah tangganya, menghancurkan hidupnya sebagai istri setia dan ibu yang baik bagi anak-anaknya, menghancurkan kepolosannya sebagai wanita baik-baik yang tak ternoda.

Hanya tinggal satu orang lagi yang menjadi incarannya.

Pak Pramono.

"Setelah melihat keabsahan wasiat pemilik perusahaan sebelum beliau meninggal, kami memutuskan untuk mengadakan rapat ini guna mengumumkan bahwa kami dari pihak notaris dan badan hukum telah menerima dengan sah keputusan terakhir pemilik perusahaan sesuai tertera di surat wasiat. Sebelum meninggal Almarhum Pak Bambang telah memilih orang yang beliau pertimbangkan tepat untuk selanjutnya menggantikan beliau memimpin perusahaan ini."

Terdengar desahan bisik dari peserta rapat.

"Pemilik seluruh asset dan juga pimpinan perusahaan yang baru adalah…"

Desahan bisik mereda, menunggu pengumuman.

"…Ibu Dina Febrianti."

Terdengar suara kaget dan terkejut dari mimbar rapat.

Semua orang kaget mendengar keputusan itu. Mereka tahu Almarhum Pak Bambang telah menunjuk siapa pengganti pemilik perusahaan raksasa ini dalam surat wasiat yang ia tulis, tapi mereka tidak menduga orang tersebut adalah Dina. Terlebih karena mereka semua sudah mengenal siapa Dina, istri dari putra idiot Pak Bambang.

Memang Dina adalah menantu kesayangan Pak Bambang, tapi mereka benar-benar kaget mengetahui wanita itu mewarisi semua kejayaannya. Mereka bahkan kaget mengetahui nama wanita itu tertulis di surat wasiat Pak Bambang. Bagaimana mungkin seorang wanita asing yang tidak tahu apa-apa tentang manajemen bisa menangani perusahaan sebesar ini?

Sebagian besar karyawan mengira perusahaan akan dipegang oleh Randy Haryanto, putra Pak Bambang dari istri kedua yang selama ini banyak membantu sang ayah. Itu sebabnya banyak petinggi yang memberikan 'upeti' untuk menjilat Randy. Mereka ingin dipertahankan di lingkaran utama manajemen puncak perusahaan. Bagaimana mungkin skenario itu bisa berubah?

Dengan penuh kebanggaan Dina berdiri di hadapan semua orang yang hadir, memberikan senyuman termanisnya. Wanita jelita itu tersenyum bangga. "Mulai sekarang, semua akan berubah." Katanya tegas.

Ia mengeluarkan secarik kertas dari tas yang ia bawa, "Saudara ipar saya, Bapak Randy Haryanto telah dipindahtugaskan ke cabang kita di luar negeri atas permintaan pribadi. Oleh karena itu saya kemudian diberi wewenang menjalankan perusahaan ini, sesuai dengan wasiat yang ditulis oleh mendiang Pak Bambang."

Orang-orang yang selama ini menjilat pada Randy mendesah kesal. Mereka tahu Randy terlibat dalam skandal penggelapan dana pemerintah, itu sebabnya sebelum ia diciduk pihak berwenang, Randy dibuang ke luar negeri. Mereka memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu, tapi tidak menyangka akan secepat ini Randy hijrah. Mereka menggeleng-geleng kecewa, hilang sudah uang untuk menyuap, sia-sia saja usaha mereka selama ini.

"Sebelum berangkat ke luar negeri, Pak Randy memberikan saya catatan berikut," kata Dina sambil mengangkat kertas berisi daftar nama,"isinya adalah daftar nama orang-orang yang berusaha menyuap Pak Randy, melakukan tindak korupsi dan merugikan perusahaan tanpa pernah menerima hukuman."

Beberapa orang terhenyak kaget.

"Nama-nama yang disebut silahkan kembali ke meja kerja, mengemas berkas-berkas dan barang pribadi, lalu mengambil uang pesangon yang saya sediakan di lobby depan dan pulang saat ini juga. Kalian saya pecat!" Kata Dina tegas. "Terhitung mulai hari ini, kalian dinyatakan tidak bekerja di perusahaan ini lagi. Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini, semoga mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih baik."

Rapat itu berubah menjadi ramai. Orang-orang yang selama ini bekerja dengan jujur dan bersih bertepuk tangan sementara mereka yang pernah melakukan kesalahan menjadi risau dan gelisah.

Dina telah menancapkan kukunya. Tidak akan ada satu orangpun kini yang akan mempertanyakan kepemimpinannya. Dan yang lebih penting lagi…

Dendam akan ia balaskan.