1 Fragment 1: Harga Diri

Gedung itu menjulang tinggi dengan kaca-kaca mengkilap, banyak orang beraktivitas di sana. Rangga menatap gedung itu tanpa kedip. Masih berangan-angan bila suatu saat nanti ia akan dapat membuat draft gambar dan mengerjakan proyek seperti gedung itu. Rangga lulusan arsitek, tapi sampai sekarang dia belum mendapat pekerjaan. Saat ini mencari pekerjaan itu susah. Ketatnya seleksi mencari kerja membuatnya sulit bersaing dengan para pencari kerja lain. Kebanyakan dari mereka punya koneksi atau uang lebih untuk mudah mendapat pekerjaan. Ia bukan bagian dari golongan itu. Ekonomi keluarganya sangat pas-pasan.

Di kampus elite Universitas Perbangsa, Rangga menunggu kekasihnya. Setiap hari ia mengantar jemput dengan motor bututnya. Kadang ia jadi bahan tertawaan penghuni kampus karena motor klasiknya, tapi ia tak peduli. Tak lama segerombolan mahasiswa keluar gedung kampus. Matanya menebar mencari di mana kekasihnya berada. Dari sekian mahasiswa-mahasiswi yang keluar, ada seorang wanita berponi, rambut warna cokelat datang menghampiri. Lesung pipinya membuat Rangga tidak berhenti berkedip. Wanita ini merupakan kekasihnya, Tiara.

"Ayo pulang," ajak Tiara.

Rangga masih tetap diam sambil menatap kekasihnya. Tiara agak terheran dengan tatapan Rangga seperti itu.

Dengan menatap heran Tiara berkata, "Kok liatin aku kayak gitu?"

"Aku lagi menela'ah," jawab Rangga senyum.

"Menela'ah apa?" tanya Tiara masih tidak paham.

"Indah mana sih kamu dengan bunga itu?" Rangga menunjuk bunga - bunga yang terdapat di halaman kampus.

Tiara mengikuti arah telunjuk Rangga. Ia tersenyum, kedua pipinya memerah malu.

"Ternyata ... lebih indah kamu daripada bunga-bunga itu," sambung Rangga.

"Gombal. Ayok pulang ah," sambil menggelayut pada lengan Rangga.

"Maen gelendot aja," goda Rangga.

"Biarin," balas Tiara cuek.

Tiara mendongak, Rangga menatap matanya begitu intens. Tatapan itu membuatnya meneguk air liur. Setiap tatapan itu muncul, ia seperti tersihir. Selain itu, tatapan Rangga membuat detak jantungnya berirama cepat. Memang, tatapan itu menjadi jurus andalan Rangga, selalu membuatnya luluh. Sorot mata yang teduh mampu membuatnya merasa nyaman.

"Hey," Rangga melambaikan tangan tepat di depan muka Tiara. "Malah ngelamun. Katanya mau pulang?"

"Umm … i-iya," jawab Tiara gugup. Ia melepas pelukan pada lengan Rangga.

Tiara dibonceng Rangga. Ia memeluk Rangga erat. Seperti biasa, kepalanya bersandar pada punggung. Dirinya merasa nyaman bila berada di dekat Rangga.

"Jangan tidur," celetuk Rangga.

Tiara tak menjawab, tapi mengangguk. Rangga sudah terbiasa dengan kebiasaan Tiara bila dibonceng pasti memeluk erat dan menyandarkan kepala pada punggungnya. Meski demikian, Tiara tidak pernah tidur di atas motor. Matanya memang terpejam, tapi untuk menikmati perjalanan romantis bersama kekasih. Tiara takkan mengubah posisinya bila belum sampai tempat tujuan. Sikap manja ini membuat Rangga tidak merasa bosan. Tiara wanita unik, manja tapi smart, cerewet, dan setia.

∆∆∆∆

Mereka tidak langsung pulang. Rangga mengajaknya ke taman biasa mereka singgahi. Taman Seribu Bunga, taman ini menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Taman ini juga dijadikan tempat menghabiskan waktu berdua. Tiara anak seorang konglomerat, tapi ia tidak pernah protes setiap kali diajak ke taman ini. Tiara tahu sejak pertama kali mengenal Rangga, pria itu bukanlah orang seperti dirinya. Kekasihnya bukan orang yang mapan. Namun, Tiara tak peduli dengan latar belakang keluarga Rangga. Sejak pertama bertemu di sini, ia sudah jatuh hati kepadanya. Ia jatuh cinta dengan tatapan Rangga yang meneduhkan hati.

Mereka saling berpegangan sambil berjalan menyisir taman. Banyak juga yang berkunjung ke taman ini. Mayoritas anak muda. Ada yang berpacaran dan ada pula hanya sekadar nongkrong.

Rangga menarik Tiara mendekati danau. Di taman ini ada danau kecil yang berteman dengan perahu. Ada empat perahu di sini. Pengunjung bebas menggunakan perahu ini tapi, dengan catatan, dibatasi waktu, maksimal 1 jam. Rangga mengajak Tiara naik perahu. Itu sudah menjadi kencan romantis mereka berdua hari ini.

"Kamu tau kenapa perahu ini tidak goyah ketika ombak menerjang keras?" tanya Rangga ketika sudah di atas perahu sambil mengubek-ubek air dengan keras.

"Kenapa?" Tiara tanya balik.

"Karena perahu ini tau kalo cinta kita akan baik-baik aja meski terhalang restu orang tua."

Tiara tiba-tiba memeluk Rangga erat. "Aku ingin terus bersamamu sampai kapan pun. Tidak peduli dengan latar belakang keluargamu. Aku mencintaimu sepenuh hati. Kamu pasti juga begitu. Jangan tinggalin aku."

"Aku takkan pernah meninggalkanmu. Se-inci pun tak pernah aku melepasmu. Aku yakin Ayah dan Bundamu akan merestui kita suatu saat nanti. Kita harus bersabar."

Tiara merenggangkan pelukannya. Matanya sembab. Ia menangis. Rangga menatap penuh arti.

"Hey, kenapa kamu nangis?" Rangga mengusap pipi basah Tiara. "Aku tak ingin kamu menangis. Aku ingin kamu selalu bahagia bersamaku."

Tiara memegang telapak tangan Rangga yang masih menempel di pipinya. "Aku bukan menangis sedih. Aku menangis bahagia. Kamu mampu menenangkanku, membuatku nyaman, membuatku kangen terus sama kamu. Selalu menemani hari-hariku. Selalu perjuangin aku, perjuangin cinta kita. Aku tidak bisa bayangin kalau seandainya kita pi—"

"Sssssttttt," potong Rangga. "Kita tidak akan pisah. Kita akan selalu bersama, berjuang bersama, ya. Aku dan kamu adalah cinta sejati, oke."

Tiara mengangguk pelan lalu tersenyum. Rangga ikut tersenyum juga. Obrolan panjang penuh arti bagi mereka. Sama-sama berjuang mempertahankan cinta yang mereka miliki. Mata mereka kembali bertemu. Menatap satu sama lain. Mereka menautkan jari telunjuk dan jempol masing-masing membentuk simbol cinta. Lalu, letakkan di dada mereka. Berharap cinta mereka tetap sejati, abadi, dan takkan terpisah.

Rangga mengayuh perahu itu menuju pinggir danau. Tidak terasa sudah hampir satu jam mereka berdua di atas perahu. Kisah romantis hari ini cukup sampai di sini. Waktu sudah gelap, saatnya Rangga mengantar Tiara pulang ke rumah. Sampai di rumah, pastinya ia mendapatkan sambutan yang kurang mengenakkan yang berujung sakit hati. Meski begitu, Rangga sudah terbiasa. Ia akan sabar dan ikhlas diperlakukan seperti itu. Sakit, tapi ia tetap kuat menjalaninya.

∆∆∆∆

Di halaman rumah Tiara yang luas. Mereka berjalan mendekati pintu rumah yang besar. Motor Rangga ditinggal di luar rumah. Ini sudah menjadi kebiasaannya. Dahlan, ayah Tiara yang menyuruh satpam untuk melarang motor butut Rangga masuk ke dalam halaman rumah. Dahlan tidak mau bau kemiskinan mengotori halaman rumahnya. Menatap Rangga saja Dahlan sudah jijik.

Seperti biasa Rangga dan Tiara sudah ditunggu oleh Dahlan. Tatapannya tak berubah. Menatap sinis dan jijik kepada Rangga. Seolah Rangga dianggap kuman olehnya. Mendapat tatapan kurang bersahabat, Rangga menunduk.

"Tiara, masuk!" perintah Dahlan sambil menunjuk pintu. Tatapannya tajam. Tiara menuruti perintah ayahnya.

Mata tajam itu beralih kepada Rangga sambil menunjuk. "Dan kamu, saya ingin bicara empat mata sama kamu."

"Baik, Om."

"Kamu tunggu di sana," kata Dahlan menunjuk sebuah kursi panjang samping rumah.

Dahlan masuk ke dalam rumah, sementara Rangga berjalan menuju kursi yang dimaksud. Satu pertanyaan menancap di kepalanya. Om Dahlan mau ngomongin apa ya?

Hampir lima belas menit ia menunggu. Namun belum keluar juga ayah Tiara. Ia berdiri, tapi ia urungkan ketika melihat lelaki tua itu berjalan mendekatinya.

"Saya tau dari awal kamu mendekati anak saya karena anak saya anak orang kaya 'kan?" tanya Dahlan menatap sinis dan penuh remeh.

"Maksud Om?" Rangga balik bertanya.

"Alah enggak usah pura-pura bodoh. Saya tau tabiat orang miskin sepertimu, suka memanfaatkan orang kaya untuk memoroti harta aja."

"Maaf Om. Saya bukan tipe orang seperti itu," jawab Rangga sopan.

"Enggak usah banyak omong. Ambil ini dan jangan pernah dekati anak saya lagi! Setidaknya isi dalam amplop ini bisa memberimu makan dalam satu tahun." Dahlan memberikan amplop putih.

"Maaf. Bukan saya menolak. Tapi saya tak serendah itu. Saya emang miskin, tapi saya masih punya harga diri. Cinta tidak bisa dibeli dengan uang. Cinta itu tentang rasa bukan harta."

"Jangan sok ngajarin saya!" sahut Dahlan berang. "Tau apa kamu tentang cinta. Cinta aja tidak bisa jadi kaya. Mau kamu kasih makan apa anak saya jika nikah sama kamu? Kamu kasih makan batu. Hah!" bentak Dahlan. Matanya melotot seperti mau meloncat keluar.

"Saya bisa bahagiakan Tiara dengan cara saya sendiri. Selama ini Tiara bahagia sama saya." Rangga menatap balik Dahlan.

"Kamu!" bentak Dahlan lagi.

"Sampai kapan pun cinta saya sama Tiara tidak bisa dipisahkan, permisi."

Rangga meninggalkan Dahlan. Umpatan-umpatan kasar mengarah kepadanya. Namun, ia tidak peduli. Ia lebih memilih segera pergi dari rumah ini daripada tambah sakit hati. Darahnya sudah mendidih sedari tadi. Ia tidak mau terbawa emosi. Sudah sekian lama ia dihina seperti ini. Namun Rangga masih tetap bertahan dan memperjuangkan cintanya.

Orang kaya memang unik. Segala sesuatu bisa dibeli dengan uang. Dengan uang mereka bisa se-enak jidat melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dahlan menyogok Rangga dengan uang untuk menjauhi Tiara, tetapi itu tidak mempan. Rangga bukan tipe pria yang suka memanfaatkan kekasihnya meski Tiara derajatnya lebih tinggi darinya. Bagi Rangga, cinta tidak bisa diukur dengan uang. Ia akan membuktikan kalau materi tak mempengaruhi kisah asmaranya. Karena cinta itu tentang rasa bukan harta.

Ponselnya berdering. Ia mendapat notifikasi pesan. Matanya terbelalak kaget.

From: Vania

Kak, Ayah masuk rumah sakit. Hiks … hiks. Ayah collabs lagi.

Ia berlari menghampiri motornya. Buru-buru meninggalkan tempat ini. Perasaannya mulai tidak enak. Khawatir dengan kondisi ayah. Pikirannya kembali kacau. Masalah satu belum selesai, sekarang datang masalah lagi. Rangga menghembuskan nafas pelan lalu segera tancap gas menuju rumah sakit.

avataravatar