1 Jagoan Sang Ayah

Salah satu daerah di Jawa Timur—Kota Santri orang biasa menyebut. Tanah kelahirannya yang memang seterik itu, padahal masih jam 9 pagi kurang 15 menit. Tak heran julukan Kota Industri berpengaruh pula terhadap suhu rata-rata kota. Saat memasuki tahun terakhir sekolah dasar di kampungnya, ia sudah berangan-angan, kelak ia akan menjadi santri dan itulah nanti yang akan membesarkan namanya. Sesaat setelah berucap ia tak tahu menahu bahwa seluruh penghuni langit mengaminkan dengan suka cita.

"Raksa Mahawira bin Abdul." Kini giliran namanya dipanggil, Aksa kecil telah lulus dari sekolah dasar. Pijakannya mantap melangkah menuju panggung besar yang berdiri jajaran petinggi dan pembesar yayasan. Disaat itu pula ia tak sabar akan mimpinya yang semoga bisa segera terwujud.

Kilasan memori itu berputar begitu saja, tepat tiga minggu setelah hari kelulusan. Dan kini di depannya nampak bangunan luas nan megah. Sejauh mata memandang santri berseliweran memenuhi pandangan. Di antara itu banyak juga pemandangan seperti dirinya, calon santri yang harus siap menerima segala duka dan suka ilmu di pondok pesantren. Orang tua yang nampak tegar melepas buah hati, dan siap menerima risiko kerinduan.

"Kamu yang betah ya nak di pondok, ibu sama bapak mungkin jarang ke sini." Ibunya mengelus puncak kepala anak semata wayangnya dengan sayang, bagaimanapun orang tua juga harus menekan rasa gelisah dan khawatir demi kebahagiaan jangka panjang. Terkadang untuk menjadi baik perlu paksanaan 'kan? Tak bisa melulu menunggu kesiapan hati dan jiwa raga. Jika ajal buru-buru menjemput sebelum siapnya hati apakah bisa manusia itu tetap baik-baik saja?

"Iya bu, Aksa kan mondok jadi nggak bisa liat ibu bapak tiap hari." Kebahagiaan itulah yang sedikit ia berikan untuk kedua orangtuanya. Terlebih kepada ibu yang selama ini terus menemani segala hidupnya benar-benar menular matanya bahkan seperti ikut tersenyum, sang ibu sudah lupa dengan apa yang dikhawatirkan beberapa detik lalu.

"Jagoan bapak mau jadi santri, tos dulu yok sebelum ibu bapak pulang." Aksa dengan sukacita menyambut kepalan tangan bapaknya, loncat ia untuk meraihnya.

Keluarga kecil yang terlihat bahagia, namun, ketiganya menekan dengan kuat rasa gelisah nan haru yang hinggap dihati mereka kala perpisahan benar-benar tiba. Selepas Aksa mencium tangan kedua orang tuanya perpisahan benar-benar terjadi, ia melihat punggung orang tuanya mulai menjauh, memasuki mobil hingga perlahan menjadikannya hanya sebuah titik.

Pipinya merasa dialiri sesuatu yang dingin dan basah, usapnya dengan punggung tangan beberapa kali bersamaan dengan doa yang ia panjatkan berharap orang tuanya selamat hingga perjalanan dan senantiasa diberi kesehatan kala jarak yang membentang.

Waktu menunjukkan tengah hari, teriknya kota perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah hari ini sungguh di luar perkiraan. Pasalnya, ramalan cuaca mengatakan akan hujan, mungkin saja kali ini meleset. Aksa telah usai melakukan salat dzuhur berjama'ah, para santri lama atau baru masih belum setengah dari jumlah keseluruhan di pesantren—terbilang masih sepi. Kemungkinan, jam salat Asar akan mulai berdatangan santri lainnya.

Aksa berada di kamar, menatap wajah-wajah asing yang sama canggung seperti dirinya. Ia rasa suasana saat ini benar-benar kaku untuk berbicara apalagi untuk makan dikelilingi orang asing. Setidaknya untuk saat ini mereka belum salung mengenal. Akhirnya Aksa memutuskan untuk memakan bekalnya di luar, entah di mana karena ia pun belum mengetahui dengan jelas lokasi pondok. Akhirnya ia memasuki sebuah ruangan seperti kelas, meja guru tergantikan dengan podium lengkap dengan mic. Meja siswa diatur semakin jauh dari jarak papan akan semakin tinggi tingkatan lantai. Penataan yang bagus, komentarnya dalam hati. Ia mendudukkan diri, mulai memakan bekalnya dengan tenang. Lalu berberes peralatan makannya saat semua bekalnya tandas. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke tempat yang ia duduki, mengantisipasi bila ada yang tertinggal.

"Jangan pulang dulu Ma, nanti aja pulangnya." Dari kejauhan, terlihat anak seusianya merengek disertai isak tangis. Aksa mengintip di balik pintu, mereka tepat di luar ruangan di mana ia berada. Sebuah pemandangan yang mengingatkannya beberapa jam yang lalu. Bedanya keluarga itu mengajak seluruh sanak saudara layaknya rombongan kampung yang ziarah ke wali.

"hiks jangan lupa dua minggu lagi harus ke sini!" Putusnya sepihak kepada keluarganya yang dibalas anggukan.

Kalau keluar sekarang pasti canggung banget, masuk lagilah. putusnya setelah kebimbangan melanda. Ia memandang interior kelas, ada piala cukup besar yang terletak di sudut ruangan, tampak berdebu karena selama liburan tak pernah terjamah. Saat melihat-lihat prakarya yang dipajang di etalase, Aksa dikejutkan oleh tamu tak diundang. Refleks ia menoleh asal suara tepat di ambang pintu. Anak yang tadi, pikirnya.

"Hai." Sapanya terlebih dahulu dibalas senyum simpul dari anak laki-laki itu.

"Kamu tadi dengar ya?" tebaknya.

"Apa?" Aksa pura-pura tak mengerti.

Anak itu hanya menggeleng, sebagai jawaban memilih tak membahas lebih lanjut.

"Kenalkan aku Nazril, nama kamu siapa?" Bocah itu percaya diri. Dengan mudah melupakan kejadian baru saja. Tangannya terulur, kemudian disambut hangat oleh lawan bicaranya.

"Nazril." seutas senyum ia layangkan membuatnya terkesan ramah. Aksa akui wajah Nazril terbilang imut untuk ukuran laki-laki. Hanya saja, badannya sedikit lebih tinggi dari Aksa.

"Asalmu dari mana?" Nazril bertanya

"Jawa Timur, kamu sendiri?"

"Palembang." Dibalas gumaman singkat Aksa.

"Yang tadi itu keluarga besarmu ya?" ia hanya menyuarakan apa yang ada di otaknya, namun sepertinya ia salah pertanyaan, spontan ia membekap mulutnya sendiri, "eh nggak, maksudku—" tuturnya gelagapan. Tak dinyana Nazril terkekeh membuat Aksa terdiam.

"Iya. Mereka sudah pulang. Kamu heran ya sama sikapku tadi berbeda dengan yang sekarang? Aku nggak akan nuntut kamu buat tutup mulut. Tanpa kuminta kau juga akan diam kan?" ujarnya retoris.

Tak disangka juga ucapan maupun sikap Nazril saat ini berbeda dengan drama yang ia intip. Nazril yang di depan kelurganya tampak manja dan cengeng. Sedangkan sosok di depannya saat ini bertingkah selayaknya orang dewasa, begitu keren pikir Aksa.

Aksa merasa tidak enak karena ketahuan mengintip drama Nazril, ia putuskan meminta maaf.

"Nggak masalah Sa, santai." Ia tersenyum meyakinkan, "oh ya kamu kamar apa?" lanjutnya bertanya.

"Eh, kamar Ibnu Sina lantai dua, kamu?"

"Lantai tiga Ibnu Batutah, kamu masih mau di sini Sa?" Nazril menatap Aksa.

"Enggak. Ini mau balik, bentar lagi juga mau Asar."

"Oke." Nazril menyamai langkah Aksa, sepanjang perjalanan mereka tampak berusaha membuka diri. Untuk menjalin sebuah pertemanan salah satu syaratnya itu kan?

"Kita dapat kitab-kitabnya kapan, Sa?"

"Nanti malam katanya, kenapa udah nggak sabar ya?" Aksa bercanda, disambut tawa renyah Nazril.

"Ngaji diniyahnya baru mulai besok Zril, nanti malam baru pengumuman pembagian kelas."

Nazril merespon dengan mulutnya ber-oh ria, "Kalau kelas umum Sa, kan udah dibagi tuh. Kamu kelas apa?"

"7A."

"Good! kita sekelas."

"Iya?" tanya Aksa cukup senang akan fakta itu.

"Yoi." Nazril mengalihkan pandangan melihat sekeliling lapangan yang kini dipadati dengan banyaknya kendaraan yang terparkir tanpa celah. Terlihat petugas parkir kewalahan mengatur kendaraan yang keluar masuk.

"Zril, mau mampir?" tawar Aksa yang hendak memasuki kamarnya.

"Makasih, kapan-kapan aja Sa, belum nata barang bawaan he he." Nazril nyengir kemudian berlalu dari pandangan Aksa.

avataravatar
Next chapter