webnovel

Tidak Tuan...

Niza dan Cil mengikuti tukang masak di kastil menangkap ikan. Tukang masak laki-laki, awal usia empat puluhan itu tersenyum riang diikuti dua anak yang sama-sama mempunyai rasa penasaran tinggi.

Tukang masak melemparkan jaring diiringi sorakan. "Kalau tak dapat ikan macam mana?"

"Pasti dapat!" jawab Niza semangat.

"Ulang lagi." Cil menambahkan.

"Siap-siap! Kalau dapat kumpulkan, ya?"

"Siap pak cik!" jawab ke dua anak itu semangat.

Jaring yang telah dilemparkan, mulai ditarik. Ikan-ikan terlihat menggelepar di air berusaha melepaskan diri sebelum diangkat keluar kolam.

Begitu jaring terangkat dan diletakkan di rumput, Cil dan Niza dengan senang hati mengumpulkan ikan yang berhasil tertangkap. Lebih tepatnya berebut mengumpulkan ikan dan meletakkan ikan dalam baskom kayu berisi sedikit air.

"Itulah kenapa atuk suruh kamu bawa baju ganti." Terdengar suara Datuk Laksamana oleh Niza, Cil dan tukang masak dari atas jembatan penghubung kastil dengan paviliun.

Dari atas jembatan terlihat Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid bersama dua pejabat pemerintahan daerah yang menemani berkeliling.

Tukang masak yang menjaring ikan segera membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf. Datuk Laksamana mengangkat tangan kanan, sebagai tanda jika dirinya tidak marah sedikit pun.

Sementara Cil dan Niza hanya melambaikan tangan lalu asik lagi memindahkan ikan.

"Anak kecil mana pun pasti suka menangkap ikan kalau di sini." Ucap seorang pejabat pemerintahan bertubuh gemuk.

"Ya. Benar sekali." Sahut Nahkoda Hamid.

Datuk Laksamana berseru pada ke dua anak tadi. "Kalau kalian sudah siap main, ayo cepat mandi! Kalian bisa masuk angin, kalau baju basah begitu tak cepat mandi."

"Iya atuk." Sahut Cil.

Karena baskom sudah penuh, ikan sisa yang masih dalam jaring di masukkan kembali ke dalam kolam. Ketika Cil dan Niza mengembalikan ikan, kereta kuda yang membawa Datuk Ghani sebagai bangsawan penguasa wilayah itu berhenti di halaman kastil.

Niza yang melihat kedatangan ayahnya, segera berlari mengejar ayah yang sangat memanjakannya. Melihat Niza memeluk ayahnya, Datuk Ghani membuat Cil terdiam. Anak itu memang tidak pernah mengenal ayahnya yang sudah lama meninggal, bahkan sebelum kelahirannya.

Kali ini untuk pertamanya Cil merasa sedikit kesepian tanpa memiliki seseorang yang di panggil ayah. Cil jongkok memperhatikan ikan-ikan di dalam baskom ketika tukang masak menggulung jaring. Berusaha menghilangkan perasaan aneh yang dirasakannya.

Dari atas jembatan, Datuk Laksamana menarik nafas panjang melihat cucunya. Datuk Laksamana dapat memahami perasaan cucunya dan itu membuat dadanya terasa sesak.

"Tuan." Panggil Datuk Ghani sambil menghampiri Cil.

Cil memalingkan kepalanya melihat Datuk Ghani tanpa bersuara untuk menjawab.

"Sudah sore. Ayo mandi Tuanku." Ajak Datuk Ghani ikut jongkok dan mengusap punggung Cil.

Cil mengangguk pelan sebagai jawaban.

Datuk Ghani berdiri sambil menggandeng tangan Cil di kanannya dan Niza di kiri.

***

Makan malam bersama di kastil Datuk Ghani selalu meriah seperti biasanya. Anak gadis lincah dan ceria, di tambah seorang anak laki-laki kecil yang penuh semangat benar-benar menambah keceriaan kastil itu.

Ruang makan milik keluarga bangsawan seperti biasa luas. Bisa memuat hingga enam meja rendah, yang setiap mejanya bisa menjamu empat orang.

Yu Jie memakai baju ibu Tan di acara makan malam itu. Karena baju Niza tidak cukup besar, untuk Yu Jie yang tubuhnya mekar sempurna sangat cepat untuk ukuran remaja.

Baju itu berbahan sutra yang lembut dengan warna merah yang sangat cocok untuk kulit kuning Yu Jie. Ibu Tan sudah memanggil tukang kain langganannya untuk datang esok hari membawa beberapa lembar pakaian yang cocok untuk Yu Jie.

"Puan." Bisik Yu Jie pada ibu Tan di sela mereka hanya menghabiskan waktu untuk bercerita sambil makan makanan penutup. "Saya mau permisi ke belakang."

Ibu Tan mengangguk diiringi senyuman sebagai jawaban.

Yu Jie segera keluar. Begitu berada di luar ruang makan Yu Jie melihat kiri dan kanan. Setelah yakin tidak ada seorang pun penjaga, Yu Jie bergegas pergi keluar dari kastil.

"Kamar kecilnya ada di lorong ujung ruang makan. Kamu mau ke mana?" terdengar suara seseorang begitu Yu Jie menginjakkan kaki di jembatan penghubung kastil. Membuat Yu Jie membeku seketika.

Perlahan Yu Jie membalik badan dengan sedikit gemetar. Tidak ada seorang pun ada di pintu keluar kastil. Siapa yang tadi bicara? Yu Jie melihat ke atas kastil. Dari pagar pembatas balkon atas terlihat sosok Tan.

"Kamu pikir jamuan makan kami sama dengan bangsamu? Kami juga tak sama seperti bangsa Portugis, Belanda atau bangsa asing lain yang menyajikan minuman keras? Sehingga kamu rela menunggu lama mengira kami akan mabuk? Tapi sayangnya sia-sia. Jadi sekarang apa yang akan kamu lakukan? Mau langsung menjarah harta yang ada di kastil harusnya kamu ke bawah tanah!"

Yu Jie menggeleng pelan.

Tan melompat turun dan mendarat tepat di hadapan Yu Jie. Membuat gadis itu ketakutan hingga jatuh terduduk. Tan berjongkok, menarik dagu Yu Jie yang tertunduk agar menatap wajahnya langsung. "Katakan apa yang mau kamu lakukan? Memanggil rekanmu?"

"Tidak tuan..." air mata tampak terjatuh dari mata Yu Jie.

"Kamu tahu? Air matamu tidak berpengaruh sedikit pun pada saya!"

"Sa, saya akan mengatakan yang sebenarnya."

Tan melepaskan dagu Yu Jie yang membuat gadis itu sedikit kesulitan bicara. "Katakan kalau kamu masih ingin hidup!"

"Sebenarnya kejadian penyerangan menggunakan bius itu sudah direncanakan ketua kami. Ketua memanfaatkan saya untuk memancing rasa kasihan tuan-tuan semua. Rencananya begitu saya di bawa ke tempat ini, saya harus membius kembali atau memberi sinyal sebagai tanda untuk ketua menyerang tempat ini. Tapi saya tidak ingin melakukan itu! Saya hanya ingin kabur. Karena apa yang saya katakan di kapal semuanya benar! Kecuali tentang orang tua saya. Sejak pertama rencana itu di buat, keinginan saya hanya lari! Jika tuan tidak percaya pada saya, tidak apa. Saya akan memberitahukan lokasi di mana kapal ketua perompak, yang tak lain adalah ayah saya sendiri berada!"

Tan menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan lalu berdiri sambil menarik pangkal lengan Yu Jie dengan keras, membuat gadis itu meringis. Tanpa berkata apa-apa, Tan menarik paksa Yu Jie untuk masuk kembali ke dalam kastil.

Pintu ruang makan di buka dengan kasar oleh Tan. Membuat Datuk Ghani sang ayah menjadi meradang.

"Tan! Apa yang kamu lakukan?! Tidak sopan!"

Tan yang berdiri di ambang pintu, mendorong masuk Yu Jie. Membuat gadis itu jatuh tersungkur.

"Kenapa kamu lakukan itu Tan?!" ibunda Tan bergerak hendak menolong Yu Jie tetapi Tan segera melarang.

"Jangan ibu bantu dia!" lalu setelah menundukkan kepala sebagai permintaan maaf tidak sopan dan berlutut di hadapan Datuk Ghani, Datuk Laksamana, Nahkoda Hamid. "Dia hendak kabur dan ada kapal perompak yang siap menyerang kastil kapan pun dia beri sinyal! Ceritakan apa yang kamu katakan tadi. Di mana posisi kapal ketua perompakmu?"

Yu Jie duduk berlutut. Menceritakan semua yang telah disampaikan pada Tan dan memberi tahu di mana posisi kapal ketua perompaknya. Yu Jie tahu dirinya bersalah, jadi ia tidak akan meminta keringanan atau pun pengampunan seperti sebelumnya.

Datuk Laksamana menarik nafas panjang perlahan sebelum bertanya dengan tenang seperti biasanya. "Berapa hari, waktu yang mereka beri untukmu menyampaikan sinyalnya?"

"Tiga hari begitu saya menginjakkan kaki di kota ini tuan."

"Baiklah... karena ini baru satu hari, kita bisa mengumpulkan semua pasukan yang ada di kota ini kan Datuk Ghani?"

"Bisa Datuk. Semua pasukan yang ada di kota akan disiagakan dan sebagiannya akan bisa membantu di kapal perang Datuk!" jawab Datuk Ghani.

"Tidak perlu sebanyak itu Datuk. Cukup dua puluh orang dari pasukan Datuk Ghani saja yang naik ke kapal saya. Selebihnya bersiaga untuk menjaga kota. Lagi pula dengan kapal besar yang diperlengkapi meriam besar, para perompak tidak punya banyak pilihan. Menyerah atau ditenggelamkan! Terlebih ada Tan, yang bersama saya!"

Tan mengambil sikap siap atas kehormatan yang diberikan Datuk Laksamana padanya.

"Baiklah Datuk. Dan saya akan membantu menjaga tuan Cil di kastil ini."

Datuk Laksamana tersenyum. Itulah yang paling diharapkannya dari Datuk Ghani saat ini.

Next chapter