1 Drowned

"Aku Jingga. Seorang anak yang lahir di keluarga biadab tanpa akal, lebih biadab dari keluarga anak lain."

"*Kuughhh—!!*"

"Dasar anak tak tahu diri, cepat bawakan aku 'itu'!" bentak sang Ayah setelah memukul Jingga hingga sulit untuk bernafas.

Jingga hidup di keluarga yang bisa dikatakan tak seindah keluarga lain. Di umur 4 tahun dia sudah diberlakukan layaknya seorang budak oleh sang Ayah hingga sekarang berumur 10 tahun.

Sesekali ia melihat anak yang lain pergi sekolah, kepala mereka dielus, kening mereka dicium layaknya kasih sayang orang tua ke anak, membuat Jingga muak dengan pemandangan itu.

"Kenapa mereka? Kenapa tidak aku? Takdir? Apanya yang takdir? Kenapa aku yang harus mendapat takdir ini?"

Saat tengh berjalan, Jingga tak sengaja ditabrak seseorang dari belakang yang membuat botol alkohol yang ia bawa jatuh dan pecah. Orang itu....

"Kamu tidak apa-apa?" tanya orang itu.

Jingga perlahan melihat ke arah suara itu dan melihat seorang gadis seumuran dengannya menjulurkan tangan untuk dirinya. Bisa dilihat dengan jelas ekspresi gadis itu sungguh polos ke orang rendahan seperti Jingga.

"I-iya aku tidak—" 

Tak sempat menjawab dan ingin meraih pertolongan gadis itu, seseorang menarik sang gadis menjauh dari Jingga dan berkata, "Ayo, nak, kita harus cepat, sebentar lagi pelajaran akan segera dimulai."

Wajah sinis itu, Jingga mengetahuinya. Wajah yang sering ia temui di wajah ayahnya. Jingga tahu alasan mereka menarik anak mereka menjauh bukan karena buru-buru tapi, karena Jingga itu kelas rendahan yang busuk, sedangkan mereka bangsawan berkelas.

Jingga berlutut melihat pecahan botol alkohol, termenung melihat ujung runcing pecahan botol kaca hingga satu ide gila melintas di pikirannya.

Begitu pulang, Jingga masuk tanpa membawa apa-apa. Sang ayah langsung menghajarnya tanpa ampun hingga Jingga pingsan di lantai.

Saat bangun, ia melihat ayah biadabnya tertidur di meja makan sambil menggenggam botol alkohol yang entah darimana ia mendapatkan itu.

Dengan segala rasa sakit yang ada, Jingga bangkit, berjalan ke dapur dan kembali sambil memikirkan banyak hal. Ia ragu, takut, cemas, dan waswas.

Ia menggenggam erat pisau berkarat yang dibawa dari dapur, mengangkat pisau itu di belakang ayahnya dan—

"..."

Ayahnya mati. Pisau berkarat itu tertancap di belakang kepala sang ayah setelah ia menusuk bagian lain di badannya, membuat tangan Jingga berlumuran darah.

Jingga mundur perlahan dan berlari keluar dari rumah. Berlari dan terus berlari tanpa arah hingga dirinya sudah sangat jauh dari rumahnya. Ia bersembunyi di balik gang kecil kota disusul dengan hujan yang sangat deras, mengguyur dirinya hingga bersih dari darah, berteduh seadanya hingga ia tertidur.

Keesokan harinya, ia bangun karena guncangan yang terjadi. Begitu ia membuka matanya, ia terkejut sudah diikat dan mulutnya sudah di tutup rapat-rapat. Ia lantas memberontak sepanjang jalan hingga ia dibawa ke salah satu bangunan besar.

Ada banyak orang, mereka mirip ayahnya, ekspresi itu....

Jingga di dudukkan di kursi paling depan dan penutip mulutnya dibuka.

"Kelas rendahan...."

"Ahh, bau sekali...."

"Kali ini gelandangan? Apa Hakim tidak punya sesuatu yang lebih menghibur...?"

Semua gumaman dapat Jingga dengar namun, saat ini ia hanya kebingungan. Sampai di satu saat terdengar suara palu dipukul ke meja.

"Semuanya harap tenang." katanya.

"Bagaimana dengan pelakunya? Apakah sudah ditemukan?" tanya sang Hakim.

"Sudah, Hakim. Identifikasi pelaki cocok dengan luka gores di tangannya, menandakan luka tersebut didapat saat pelaku membunuh korban dengan sangat kuat hingga melukai diri pelaku sendiri." jawab seseorang.

"Baiklah, ini tidak akan lama." jawab Hakim.

"Tunggu!" teriak Jingga.

"Apa maksudnya ini?! Kenapa aku disini?!" tanya Jingga.

Keramaian kembali bersuara, "Dasar tak tahu diri." 

"Bodoh, pura-pura tidak tahu.

Hakim kembali memukul palunya dan berkata, "Semua diharapkan tenang. Jelaskan."

"Baik, Yang Mulia," kata seseorang bangkit dari duduknya.

"Jingga, menjadi tersangka pembunuhan ayahnya sendiri karena hal sepele yakni karena kesal." jawabnya.

"Nyawa dibalas nyawa!" bentak seseorang dalam kerumunan.

"Benar!"

"Benar!"

"Eksekusi!"

"Tidak! Aku tidak membunuhnya! Lihat saja luka di sekujur tubuhku!" usul Jingga.

"Itu bisa saja efek dari perlawanan Ayahmu ketidak hendak dibunuh olehmu. Itu tandanya sebagai self-defense dari ayahmu." ucap sang Juri.

"Tapi, sungguh! Aku tidak bermaksud!" usul kembali Jingga.

"Lalu bagaimana dengan ini?" ucap Juri mengeluarkan kertas yang sudah usang.

Sang Juri meletakkan kertas itu di atas meja Jingga dan membiarkannya melihat apa yang tertulis di dalamnya.

"Surat ini mungkin menjadi satu-satunya bukti bahwa aku benar-benar butuh pertolongan. Aku diancam untuk tidak keluar rumah, dipaksa berkerja tanpa gaji, diancam untuk tidak melaporkan ini, atau aku akan dibunuh. Anak itu, jauh dari ekspektasiku, ia memperbudak ayahnya sendiri demi kepuasan sendiri, bahkan Ibunya.... Tolong.... Jika kau menemukan surat ini, mungkin aku sudah mati. Tolong.... Kami ingin bebas...."

"Tidak...tidak mungkin." ucap Jingga.

"Tentu saja mungkin. Lihatlah wajahnya yang mulia, kau pasti mengenali tipikal wajah seorang kriminal brutal." lanjut sang Juri.

"...."

"Ada kata-kata kain, Pelaku?" tanya Hakim pada Jingga.

Pada akhirnya Jingga tidak menjawab. Palu akhirnya dipukul dan hukuman telah jatuh.

Jingga berakhir dibalik jeruji besi dan tinggal menunggu waktunya datang saja. Siksaan demi siksaan ia lalui dalam penjara setiap harinya.

Akhirnya ia tak sadarkan diri, menggantung di dinding dengan rantai yang mengikatnya. Mungkin dia sudah tidak bernyawa setelah menerima semua siksaan satu bulan penuh.

"Ahh, anakku yang malang...."

Dalam ruang sepi nan gelap, seorang wanita muncul dengan gaun ungu gelap khasnya. Rambut hitamnya yang panjang, mata merahnya yang kosong, semua tampak indah bagi mereka yang suka.

"Padahal masih 10 tahun, tapi sudah menjadi target deskriminasi, betapa busuknya negerimu, bocah...."

Wanita itu berlutut mengelus pipi dengan telapak tangannya pada Jingga yang sedang terkapar tak sadar diri dengan sangat lembut. Benar-benar sangat lembut.

Ia mendekat ke telinga Jingga lalu berkata, "Aku serahkan sisanya padamu, bocah...."

Wanita itu kemudian bangkit dan perlahan mundur kemudian menghilang di balik bayang-bayang, meninggalkan Jingga di tengah kegelapan.

avataravatar