1 DUNIAKU RUNTUH TANPA MAMA

Tepat di hari ulang tahunnya, Marissa harus menerima kenyataan pahit ketika Mama yang sangat disayanginya itu pergi untuk selamanya. Angelica, wanita berusia 32 tahun itu meninggal di dunia ketika melahirkan putri keduanya, Lara Anjani.

"Maaf, Pak. Ibu Angel kekurangan banyak darah. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin,tapi Allah berkehendak lain. Kami turut berduka cita ...." ucap seorang dokter saat mengabarkan berita duka ini.

Fero Pradana terpukul. Ia syok saat mendengar istri yang dicintainya itu meninggal ketika melahirkan bayi cantik, buah cinta keduanya bersama Angelica.

"Angel, kenapa kamu tinggalkan aku sendiri. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku nggak bisa mengurus anak-anak kita sendirian, Angel ...." rintih Fero di dekat jenazah istrinya.

Hatinya benar-benar perih. Membayangkan hari-harinya tanpa kehadiran Angelica. Mengurus Marissa yang baru berusia 10 tahun dan bayi mungil yang ia beri nama Lara Anjani.

"Aku harus gimana, Angel?" batin Fero.

Hidup harus terus berjalan. Fero pun mengurus segala keperluan pemakaman hingga akhirnya kini ia terduduk lemah di samping pusara istri tercintanya.

"Angel, maafkan aku. Aku nggak bisa menahan air mataku."

"Mama, bangun Ma. Mama, jangan tinggalin Echa, Ma ...."

Gadis cantik dengan wajah perpaduan Ambon - Manado itu terduduk di samping pusara Mamanya. Rintih dan jeritnya begitu mengiris hati. Ia masih butuh kasih sayang Mamanya. Echa --panggilan Marissa, masih membutuhkan pelukan hangat Angelica.

"Echa, ikhlasin Mama ya, Nak. Di sini ada Ayah. Ayah yang akan selalu menemani kamu. Kita harus kuat, demi adik kamu," ucap Fero berusaha menenangkan hati putri sulungnya itu.

"Nggak,dia bukan adikku. Aku benci sama dia. Gara-gara dia, aku kehilangan Mama!" gerutu Echa, berusaha menentang takdirnya.

Marissa pun berlari, meninggalkan area pemakaman. Ia berjalan cepat, hingga akhirnya ia bertemu kakek dan neneknya saat memasuki pintu area pemakaman.

"Echa, kamu mau ke mana?" tegur sang nenek, Nyonya Frederica.

Marissa tidak perduli. Rasa kehilangannya begitu mendalam. Ia belum bisa menerima kenyataan jika Mamanya kini sudah tiada. Ia berlari kencang menuju rumahnya yang letaknya tidak jauh dari pemakaman.

"Mami, Echa ke mana?" tanya Fero saat menghampiri kedua orang tua Angelica yang baru saja datang ke pemakaman.

"Echa sepertinya lari pulang ke rumah. Sebaiknya kamu kejar dia. Tenangkan dia ya. Mami takut dia kenapa-kenapa. Kasihan, dia syok kehilangan Mamanya," ucap Nyonya Frederica Nenek Marissa yang masih memiliki darah Belanda.

Fero tanpa banyak bicara bergegas mengejar putri sulungnya itu. Benar saja, Marissa kembali ke rumahnya. Ia mengurung dirinya di dalam kamarnya.

"Marissa, buka pintunya, Nak," panggil Fero saat mengetuk pintu kamarnya.

"Buka pintunya, Echa. Ayah mau bicara sama kamu," panggil Fero lagi.

Marissa tetap tak bergeming. Ia tidak mau tahu. Baginya, tidak ada yang sayang sama dia. Ayahnya pun tidak. Fero dianggap hanya menyayangi sang adik.

"Marissa, buka pintunya!" bentak Fero dengan ketukan pintu yang sangat keras.

Fero mulai keras. Kesabarannya mulai habis. Karena mendengar suara keras Ayahnya, Marissa pun membuka pintu dengan wajah ketakutan dan mata yang sembab.

"Echa, kamu harus kuat, Nak. Kita harus bisa ikhlasin Mama, biar Mama tenang di sana ...." bujuk Fero ketika putrinya itu keluar dari kamarnya.

"Kenapa Tuhan nggak adil sama aku? Kenapa harus Mama yang pergi? Kenapa bukan dia aja," pekik Marissa menunjuk ke arah bayi mungil tidak berdosa yang sedang tertidur di box bayi yang berada di kamarnya.

"Marissa, dia adik kamu. Kamu nggak boleh menyalahkan dia, Nak. Dia nggak salah apapun. Kamu harus bisa menyayangi dia," ucap Pak Fero berusaha menenangkan sang putri.

Marissa hanya diam. Bulir bening itu membasahi pipinya. Mengalir sangat deras. Ada rasa amarah pada Ayahnya. Pada adiknya dan takdir Tuhan.

Gadis kecil ini belum paham, jika segala sesuatu yang sudah Allah gariskan, itulah yang terbaik. Pasti ada hikmah di balik semua ujian.

"Marissa, kita ikhlasin Mama ya. Bantu Ayah buat jaga adik kamu. Kasihan dia, nggak pernah merasakan kasih sayang Mama. Marissa harus banyak bersyukur, walau sebentar, kamu masih merasakan kasih sayang dan pelukan Mama," ucap lirih Pak Fero. Marissa pun luruh, menangis dalam pelukan sang Ayah.

-------

Waktu terus bergulir cepat. Kini Lara, adik kecil Marissa telah berusia satu tahun. Echa pun tidak lagi membenci adiknya. Kasih sayang itu mulai tumbuh. Echa sudah bisa mengikhlaskan kepergian Mamanya, walau luka kehilangan itu masih terasa dan mungkin akan selalu ada.

Hari ini, tepat setahun lalu Marissa kehilangan Mamanya. Bersama sang Ayah dan adik kecilnya, Lara berziarah ke makam Mama Angelica.

"Sayang, kami datang. Kamu bahagia ya di sana. A-aku akan selalu jaga anak-anak kita. Ada aku dan Marissa yang selalu menemani Lara. Dia nggak akan kekurangan kasih sayang," ucap Fero terbata menahan tangisnya.

Fero menaburkan bunga di atas pusara sang istri yang sangat dicintainya itu. Dalam hatinya, rasa kehilangan itu begitu kuat. Kesedihan itu masih terasa, apalagi saat melihat rintihan tangis Marissa, yang masih begitu menyayat hati.

"Ma, Maafin Echa ya. Echa belum bisa bikin Mama bangga. Echa belum bisa buat Mama bahagia ...." rintih Marissa, gadis kecil yang mulai beranjak remaja.

"Echa janji, Ma. Echa akan jaga Lara. Echa akan menyayangi dia, seperti Mama menyayangi Echa," ucap Marissa berjanji di atas pusara sang Mama. Merangkul adik kecilnya yang baru saja pandai berjalan.

"Dek, kita pulang yuk."

"Ma, Echa sama Lara pamit dulu ya. Assalamualaikum ...." ucap Marissa. Ia pun berdiri, menggandeng adik kecilnya itu berjalan kembali ke rumahnya bersama Ayahnya.

Sesampainya di rumah, Echa pun langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia kembali mengurung diri. Menyimpan lukanya sendiri.

"Echa, Ayah pergi kerja dulu ya. Nanti tolong kamu jaga Lara. Kalau kamu butuh apa-apa, hubungi Ayah ya," pesan Fero. Ia pun langsung pergi dengan sepeda motornya.

---------

Marissa di rumah seorang diri. Hanya ditemani adik kecilnya yang belum tahu apa namanya kehilangan. Ia pun mendekati sang adik yang tertidur di atas ranjangnya.

"Dek, maafin Kakak ya. Kakak sempat membenci kamu. Kakak sempat menolak takdir dan menganggap kamu penyebab kematian Mama."

"Ma, Echa kangen ...."

Marissa kini merasakan kepedihan. Bukan hanya rasa rindunya pada Mama Angel tetapi membayangkan bagaimana jika adiknya ini beranjak besar. Ia pasti akan mencari dan menanyakan sosok Mama.

"Kakak harus jawab apa, kalau kamu tanya soal Mama? Kasihan kamu, Dek ...."

Marissa, gadis berusia 11 tahun itu mulai bersikap dewasa. Keadaan memaksanya.Ia merasa bersyukur, walau tidak lama, Marissa masih merasakan kehangatan pelukan Mamanya. Sedangkan Lara, sedetik pun tidak pernah merasakan bagaimana hangatnya pelukan seorang Mama.

"Ma, Echa janji. Echa akan buat Mama bangga. Echa akan selalu jagain Lara. Menyayangi Lara seperti Mama menyayangi Echa dulu. Mama selalu jagain kami dari atas sana ya, Ma ...." ucap lirih Marissa. Airmatanya pun luruh.

Marissa kini tertidur di samping sang adik. Menemaninya selalu, seperti janjinya. Hingga ia tidak menyadari jika ada seseorang yang datang. Suara pintu digedor begitu kencang.

"Fero, Fero!"

Teriakan suara itu membangunkan Marissa. Ia pun bergegas membuka pintu rumahnya. Ternyata Nyonya Frederica dan suaminya yang datang. Nenek Marissa itu terlihat datang dengan wajah penuh amarahnya.

"Nek, ada apa?" tanya Echa polos.

"Ke mana Ayah kamu yang nggak ada gunanya itu?" pekik Nyonya Frederica.

"Ayah kerja, Nek," sahut Echa.

Nyonya Frederica berkeliling ke area rumah, memperhatikan setiap sudut rumahnya itu.

"Bilang sama Ayah kamu, segera temui Nenek di rumah ya. Ohya, adik kamu mana?" tanya sang Nenek ketus.

"Lagi tidur di kamar, Nek," jawab Marissa santun.

"Kalian sebaiknya siap-siap ya. Karena sebentar lagi rumah ini akan Nenek jual. Kamu dan Ayah kamu, juga adikmu yang pembawa sial itu harus angkat kaki dari rumah ini," pekik Nyonya Frederica.

"Apa, dijual?" gumam Marissa.

"Nek, jangan dijual ya,Nek. Rumah ini kan kenangan Echa sama Mama. Lagian kalau rumah ini dijual, kami mau tinggal di mana?" tanya polos Marissa.

"Itu bukan urusan saya!" hardik Nyonya Frederica.

"Echa, lebih baik kamu rapihkan barang, jadi kalau besok atau lusa rumah ini laku, kalian nggak perlu repot lagi. Ohya, suruh Ayah kamu melunasi semua utang biaya persalinan Mamamu ya, jangan lupa. Bayar itu utangnya!" ucap Nyonya Frederica ketus.

Nyonya Frederica pun langsung pergi meninggalkan Marissa dalam tangisnya seorang diri. Hatinya kembali terluka saat tahu jika rumahnya akan terjual.

"Ma, cuma rumah ini kenangan Echa sama Mama. Di rumah ini, Echa bisa merasakan kalau Mama selalu ada buat Echa. Kalau rumah ini dijual, Echa harus ke mana, Ma?" rintih Marissa.

"Kalau Echa kangen Mama, kangen kenangan saat sama Mama, Echa harus gimana?" lirih putri sulung Angelica itu.

Echa harus apa, tanpa Mama ....

bersambung .....

avataravatar
Next chapter