5 BAB 4. RISALAH CINTA

Bunyi gemericik air dari pancuran di tengah-tengah taman di depan halaman rumah membuat suasana tenang dan nyaman. Kupu-kupu beraneka warna hinggap dan terbang dari bunga satu ke bunga yang lain.

Taman yang sangat indah dan menakjubkan. Dipenuhi ratusan jenis bunga, puluhan macam limau dari berbagai negara dan puluhan dedaunan aromatik. Tidak semua berhasil tumbuh dengan baik karena banyak tanaman berasal dari wilayah pegunungan yang dingin, tetapi kecintaan Adara pada ilmu pengetahuan terutama botani dan astronomi jelas memberikan dampak besar pada tanaman yang dirawatnya. Ia banyak membaca dan belajar. Ia jadi tahu musim tertentu, kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam dan seperti apa seharusnya perkembangan tanaman yang dirawatnya.

Penaklukan islam di sepanjang Mediterania Timur termasuk Amiera sejak 150 tahun lalu membawa banyak perubahan di bidang ilmu pengetahuan. Kini di Aaliya banyak dibangun sekolah-sekolah dan juga perpustakaan-perpustakaan besar. Sayangnya perkembangan sekte sesat seperti yang diceritakan Bayezid perlahan-lahan mulai "merusak". Bahkan kebanyakan para bangsawanlah yang masuk terlebih dahulu.

Adara cinta bunga dan parfum. Ia menanam berbagai jenis bunga untuk melakukan percobaan, membuat wewangian dengan aroma baru dibantu pekerja yang bertugas menyulingnya menjadi minyak wangi.

Ia tengah asyik mencatat perkembangan setiap tanaman yang dipeliharanya. Taman ini berfungsi sebagai lahan percobaan, tanaman yang berhasil tumbuh dengan baik dan memberikan wangi yang memuaskan akan dikembangkan dalam jumlah besar di perkebunan. Sedangkan bunga dan tanaman yang belum memberikan hasil yang diinginkan tetap berada di tempat itu untuk memperindah taman rumahnya.

"Tuan Putri Adara," sapa Dameshia memecah keheningan.

"Ya?" Adara mengangkat wajah melihat ke arah Dameshia.

"Maaf, Tuan Putri, kami sudah berusaha mencari tahu dan menanyai para pada pedagang di Aaliya tapi belum ada yang pernah mendengar nama Ayas. Mereka menanyakan dari mana asalnya sehingga mudah untuk mendapatkan kabar tentang dirinya."

Adara mengangguk lemah, "Tidak papa. Aku juga tidak tahu dari mana dia berasal." Kekecewaaan menyesakkan dadanya. Namun, apa boleh buat, tidak ada yang bisa dilakukan.

Ia mengambil beberapa tangkai mawar lalu membawanya ke kamar. Meletakkan ke dalam vas setelah sebelumnya mengisinya dengan air. Setelah itu ia pergi keluar kamar dan mengatakan kepada pelayan untuk memanggil Dameshia.

"Tuan Putri, kau memanggilku?" tanya Dameshia sambil sedikit membungkuk.

"Dameshia, mari kita pergi keluar. Kita ke perpustakaan. Ada buku yang kucari." Adara terdengar bersemangat.

"Baiklah, Tuan Putri." Dameshia mengangguk.

"Siapkan semuanya," perintah Adara.

"Bagaimana jika kau pergi dengan kereta saja? Kita bisa membawa serta para pengawal.

"Tidak, Dameshia. Kita pergi menyamar seperti biasanya saja. Aku sudah lama tidak jalan-jalan. Bukankah aku calon Ratu? Aku harus melihat "wajah" negeri ini tanpa topeng.

"Tapi, Tuan Putri." Dameshia ragu.

"Kau pikir aku diizinkan pergi keluar padahal kunjungan Pangeran Zayan tiga hari lagi? Andai memungkinkan, ayahku akan menyuruh orang-orang memperlakukanku seperti bayi baru lahir karena takut terjadi sesuatu kepadaku."

Dameshia tertawa pelan mendengar perkataan Adara, "Baiklah, Tuan Putri." Ia mengangguk kemudian pergi dari kamar Adara.

Adara gelisah, ia tidak tahu kenapa hatinya terasa tidak menentu. Jantungnya berdebar lebih cepat.

Ia duduk di meja belajarnya sambil memandangi lemari yang penuh dengan buku-buku. Ada karya sastra, filsafat, sejarah, botani, astronomi, berbagai macam buku-buku penyembuhan dan obat-obatan karya Avicenna (Ibnu Sina).

Semua ini berkat ayahnya-Bayezid, karena didikannya Adara begitu haus dengan ilmu pengetahuan. Bayezid menempa Adara sebagai calon Ratu sejak ia masih kanak-kanak.

Adara meraih kertas. Ah, ya ... kertas … ia tersenyum tipis. Kertas ini awal mulanya milik bangsa cina. Mereka menjualnya dengan harga yang sangat mahal. Berkat kemenangan dinasti Abbasiyah melawan cina dalam peperangan, pembuatan kertas bisa adopsi.

Ia mengambil pena dan mencelupkan ke dalam tinta.

Lelah aku bertanya-tanya kepada diri sendiri, siapa aku?

Siapakah tuanku?

Benarkah aku orang yang merdeka? Tak sedikit pun aku punya kendali atas tubuh dan pikiranku.

Napasku untuk cinta.

Gerakku untuk cinta.

Diamku untuk cinta.

Tangisku untuk cinta.

Senyum dan tawaku pun untuk cinta.

Aku tunduk dan dirantai sebuah bayangan yang konon katanya bernama cinta.

Ia menutup buku catatan yang ditulisnya lalu memasukkan ke dalam laci.

TOK … TOK!

Pintu diketuk pelan.

Adara mengangkat wajah, daun pintu perlahan terbuka dan wajah manis Dameshia muncul dari balik pintu.

"Tuan Putri, semuanya sudah siap." Dameshia sedikit membungkuk.

"Baiklah, mari kita pergi," ucapnya bersemangat.

Adara berjalan beriringan di depan Dameshia, mereka berdua pergi ke kamar pelayannya.

Dameshia menyerahkan pakaian, "Ini Tuan Putri."

Adara mengambilnya dengan senyuman hangat. iris zamrudnya bersinar. Ia memasang pakaian berwarna merah bata berbahan katun kualitas sedang karena tengah menyamar sebagai orang "biasa". Secarik kain di tutupkan ke wajahnya, ia menyembunyikan keindahan bidaridari yang memancar di sana.

Ia mengganti sepasang sepatu kulit di kakinya. Sepatu itu diberi cap dari emas yang dicairkan hingga memberikan kesan gemerlap dan mewah dengan sandal tali temali.

Adara berjalan di belakang Dameshia. Ia menundukkan wajah dalam-dalam saat melewati penjaga. Mereka berjalan menuju perpustakaan terbesar di Aaliya.

****

Iris zamrud Adara takjub menatap buku-buku yang tersusun rapi. Seakan-akan ia ingin bermalam di perpustakaan ini demi memuaskan dahaganya akan pengetahuan.

Setelah melihat-lihat pilihannya jatuh pada buku "Thauq Al Hamamah" (Risalah Cinta) karya Ibnu Hazm Al-Andalusi. Seorang teolog dari Andalusia.

Ia merengkuh buku itu di dadanya erat-arat, "Apa katanya tentang penyakit tak kasat mata yang kuderita ini." Adara tersenyum tipis.

Mereka berdua melapor kepada penjaga perpustakaan akan meminjam buku. Adara mampu membeli buku itu akan tetapi ketika ia memutuskan ke perpustakaan, ia masih belum tau buku apa yang dubutuhkannya.

"Atas nama siapa?" tanya lelaki penjaga perpustakaan dengan wajah ramah dan bersahabat.

"Dameshia," kata Adara.

"Jika kau membacanya di sini tidak dikenakan biaya, tapi jika dibawa pulang ada uang jaminan yang harus kau tinggalkan. Uangmu bisa diambil lagi saat kau kembalikan buku ini dalam keadaan baik." Penjaga perpustakaan menjelaskan peraturannya.

"Baiklah, tidak masalah." Adara menyerahkan dua keping koin emas, "apa ini cukup?"

"Cukup." Penjaga itu tersenyum dan memberikan tanda terima untuk Adara. Ia membungus buku itu dengan kain.

Adara dan Dameshia berjalan-jalan di pasar. Pada pedagang berdiri di depan lapak-lapak mereka menawarkan barang dagangan.

Toko-toko tampak jejal dan ramai pembeli. Kepulan asap dengan berbagai macam aroma makanan menggugah selera. Tawar menawar antara pembeli dan pedagang membuat kebisingan khas.

Pandangan Adara tertuju pada lapak yang menjual pernak pernik aksesori wanita. Ia tertarik dengan sebuah penjepit rambut. Ia tidak memperhatikan jalanan dan langsung memotong ke arah lapak pedagang itu. Sepertinya mereka pedagang dari luar kota Aaliya.

Sementara di arah yang berlawanan seorang pemuda dengan jubah hitam bertudung menutup hingga kepala sedang berjalan terus maju ke depan, tetapi pandangannya sibuk melihat ke sekeliling.

Wajahnya ditutupi kain, sepertinya ia baru saja datang dari perjalanan jauh. Meski dengan tubuh dan wajah nyaris tertutup semuanya, bisa dilihat ia memiliki perawakan tegap dan kokoh. Mata cokelat keemasan yang dimilikinya mengamati setiap apa pun yang dilaluinya.

BRAAAK!

Bahu Adara dan dada bidang pemuda itu bertabrakan dengan keras. Buku di tangannya terjatuh ke tanah.

Dameshia berang, "Perhatikan langkahmu, Tuan!" ucapnya dengan keras.

"Maafkan aku." Lelaki itu membungkuk dan mengambil buku Adara.

Adara terkesiap!

Tubuhnya gemetar, jantungnya berpacu cepat. Ia menatap lekat punggung lelaki yang tengah membungkuk mengambil bukunya di tanah.

Suaranya … Adara sangat mengenal suara lelaki itu. Suara yang selama ini mengisi malam-malamnya.

Lelaki itu berdiri tegak lalu menyapu kain pembungkus buku itu, "Maafkan aku." Ia menyerahkan buku kepada Adara.

Adara terdiam. Ia tidak mengambil buku yang diserahkan kepadanya. Wajah mereka sama-sama menggunakan penutup, tetapi mata mereka saling bertaut dalam. Mata cokelat keemasan milik lelaki itu memandangi iris zamrudnya.

"Ayas…" gumam Adara pelan. Pandangannya kabur. Tubuhnya lemas, ia jatuh ke belakang.

"Nona." Lelaki itu sigap menangkap punggung Adara dengan lengannya yang kokoh.

***

TINGGALKAN JEJAK. PLIS BERI KOMENTARNYA YAAAAA

avataravatar