webnovel

BAB 2. PEMBICARAAN DI MEJA MAKAN

~Aaliya. Mediterania Timur pada abad pertengahan~

"Mungkin Tuan Putri hanya cemas saja, mengingat Putra Mahkota Pangeran Zayan ingin melihat Tuan Putri dan akan segera datang berkunjung." Dameshia menyurungkan gelas berisi air putih

"Mungkin saja. Semoga benar begitu." Adara tersenyum lemah. 

Ia mengambil gelas yang disurungkan Dameshia. Adara Mereguk habis isinya lalu memberikan gelas kosong itu kepada pelayanannya.

Ia turun dari kasur. Menyingkap tirai lalu berjalan dalam keremangan kamar. Lampu pelita terbuat dari kuningan berbahan bakar minyak ikan paus meliuk-liuk tersapu angin berasal tirai yang disingkapnya. 

Adara menyentuh lengan sofa sambil melihat ke atas meja nakas berbahan kayu oak dengan ukiran indah di atasnya. Jam pasir menunjukkan waktu jam 3 pagi. 

Ia menghela napas berat dan panjang sambil duduk di sofa empuk yang bantalannya terbuat dari tali temali, dijalin dari bulu domba terbaik. Bagian atasnya ditutup dengan kain beludru merah  terbuat dari sutra. Pada sandarannya terdapat sulaman benang emas bermotif daun dan bunga yang sangat indah. 

Melintas di matanya, seorang lelaki tampan yang wajahnya bersinar lembut dan indah bak rembulan. 

Matanya yang cokelat keemasan berbinar terang menunjukkan kehangatan dan perlindungan. 

Rambutnya hitam kecokelatan sedikit bergelombang menyentuh tengkuk. Terkadang terlihat kekuningan saat terbias matahari. 

Tubuhnya gagah dan tegap. Lengannya sangat kokoh, terlihat dari ayunan pedangnya yang sangat kuat. Sekali tebas, kepala lelaki bejat di dalam mimpi Adara putus dan terguling hina di pasir. 

Suaranya terdengar hangat saat bicara kepadanya, tetapi garang dan menggetarkan nyali ketika dia meneriaki kedua lelaki yang berusaha melecehkan dirinya di dalam mimpi. 

Mimpi yang sama. Selalu sama meski tidak setiap malam.

 Terkadang dia mimpi berbeda jalan cerita, tetapi tetap dengan akhir yang sama, lelaki itu menyelamatkan dirinya dari para bajingan pengganggu. 

Adara menyentuh dadanya yang berdebar cepat. Tulang rusuknya seakan-akan saling menyusup dan bertaut hingga dadanya terasa sangat sesak. 

Air mata perlahan mengaliri kedua pipinya, "Siapa kau, Tuan?" gumam Adara pelan. 

Perasaan yang luar biasa kuat membuncah di dalam dada Adara. Memaksa air matanya keluar begitu saja. Lelaki itu membuat hari-harinya terasa suram. Tidak ada lagi keindahan selain wajahnya. 

Tidak ada lagi syair dan musik merdu, selain suaranya. 

Tidak ada lagi warna di dunia ini, selain warna matanya saja. Adara seakan menjadi buta warna. Ia hanya tertarik pada warna yang sewarna dengan mata lelakinya. Hingga ia memelihara kupu-kupu bersayap cokelat keemasan di dalam sebuah toples kaca. 

Adara merasa dia tidak lagi memiliki pakaian indah, selain pakaian yang pernah dipakainya bertemu dengan lelaki itu saat di dalam mimpi. 

Ia menangis tersedu-sedu. Hatinya begitu sakit terkepung rindu. Terpenjara pesona lelaki bahkan yang belum pernah dilihatnya. 

"Siapa kau?" bisik Adara pelan sambil terisak.

"Tuan Putri Adara, Anda tidak papa?" tanya Dameshi khawatir melihat Nona-nya. Anak kesayangan Perdana Menteri Bayezid itu terlihat selalu murung dan tidak bersemangat akhir-akhir ini. 

"Aku tidak papa. Pergilah!" Adara mengibaskan tangan, "lain kali kau jangan masuk lagi kecuali aku mengizinkanmu," perintahnya tanpa melihat ke wajah Dameshia. 

"Baiklah. Maafkan kelancangan hamba." Dameshia membungkukan sedikit tubuhnya lalu ia keluar dari kamar Adara kemudian  menutup pintu. 

Adara menyandarkan punggung di sandaran kursi. Pikirannya menjelajahi malam-malam beberapa bulan terakhir. Mimpinya tentang lelaki penyelamatnya selalu saja datang mengganggu. Ia selalu terbangun bahkan sebelum lelaki itu menyebutkan namanya.

Gelang kakinya bergemerincing pelan saat telapak kaki Adara yang halus menapaki karpet tebal dan lembut hasil tenunan indah, mahakarya dari pengrajin karpet Konstantinopel. 

Ia membuka jendela. Angin deras dari arah gurun pasir menerpa wajahnya. Bintang-bintang bertebaran indah, memenuhi langit kota Aaliya. Ibukota dari negara Amiera. Kerlipan lampu-lampu dari rumah penduduk tak kalah indah, seakan kota adalah pantulan keindahan langit malam. Sesekali suara serigala di pegunungan melolong panjang. 

Adara melihat bagunan tertinggi di tengah-tengah kota dengan kubah besar, tempat itu adalah istana. Tempat Raja Emier Fadheel tinggal. 

Ia tersenyum hambar saat melihat istana itu, kata Perdana Menteri Bayezid-Ayah Adara, tempat itu akan menjadi tempat tinggalnya tidak lama lagi. Sementara lelaki asing yang selalu datang di dalam mimpinya telah memeluk erat hatinya. Membuatnya melihat dunia dengan cara berbeda. 

Adara melihat bulan purnama di langit. Ia menarik napas dalam-dalam. 

"Ayah, aku bermimpi memeluk bulan." Kenang Adara menceritakan mimpinya. Kala itu usianya 9 tahun. 

Bayezid tersenyum mendengarnya, "Itu artinya kau akan menikahi seorang Raja, anakku." Ia menyentuh kepala Adara kecil. 

"Tapi bulan itu berwarna merah, Semerah darah. Apakah pangeran Zayan berwarna merah?" Adara tertawa senang. 

Bayezid tersenyum mendengar celotehan putrinya, "Kau akan menjadi Ratu, Adara. Semoga aku masih hidup untuk melihat hal itu terjadi." 

Adara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Senyuman tersimpul tipis di bibirnya. 

"Adara, jika aku nanti menjadi Raja, kau yang menjadi permaisuriku." Pangeran Zayan kecil tersenyum. Ia baru berusia 9 tahun. 

Adara tertawa gelak. Teman sepermainannya yang berusia 9 tahun melamar dirinya yang juga baru berusia 9 tahun. Mata zamrudnya memandangi Pangeran Zayan lekat-lekat.

 Ia sangat suka melihatnya. Adara tidak tahu kenapa ia sangat suka memandangi Pangeran Zayan. Senyumannya membuat dirinya seketika ikut tersenyum. Lesung pipit di kedua pipi Pangeran Zayan membuat dirinya betah berlama-lama menatapnya. 

Maniknya yang berwarna campuran abu-abu dan biru terlihat sangat indah saat ia sedang senang. 

"Aku tidak mau." Adara menggelengkan kepalanya dengan gerakan cepat. 

"Kenapa?" Tanya Pangeran Zayan heran. 

"Aku pernah bermimpi memeluk bulan berwarna merah. Kata ayahku itu artinya aku akan menikahi seorang Raja. Aku tidak mau nanti kau berubah menjadi merah." 

Pangeran Zayan tertawa sangat sangat gelak. Adara juga ikut tertawa bersamanya. 

Adara tersenyum mengingat kejadian itu. Sudah lama sekali ia tidak pernah lagi bertemu pangeran Zayan. Hari Itu adalah pertemuan terakhir mereka. 

Beberapa bulan setelah pertemuan terakhir mereka, Adara mendapatkan haid pertamanya. Bayezid melarangnya berinteraksi dengan teman bermainnya yang laki-laki. Adara selalu menutupi wajahnya dengan cadar saat ia keluar rumah. 

Kecantikan Adara dari hari ke hari semakin terlihat. Kabar kecantikan dirinya menyebar dari para pelayan dan teman-teman perempuannya para anak-anak menteri. Namun, seberapa pun kabar itu berhembus kencang, tidak ada seorang lelaki pun yang pernah melihat wajahnya secara langsung.  

Salah seorang teman Adara melukiskan dirinya. Kecantikannya akan membuat alam semesta merasa iri. Lukisan itu membuat gempar penduduk negeri. Para pelukis  mematri wajah Adara dalam ingatan mereka. Melukis ulang  alu menjualnya. 

Bayezid berang, ia membeli lukisan wajah putrinya agar tidak tersebar, tetapi tentu saja tidak bisa semuanya karena banyak yang sudah menyebar hingga ke negara tetangga. 

 Lukisan wajah Adara dihargai sangat mahal. Dialah sosok perwujudan nyata sebuah keindahan. Sang Pencipta memberikan pendar cahaya di wajahnya. Siapa pun akan lupa di mana dirinya berada. Lupa segalanya. 

Adara kembali merebahkan diri di kasur. Mencoba memejamkan mata. Mencoba untuk tidur meski ia tahu itu tidak akan mungkin. 

***

Dameshia terdiam di depan pintu saat melihat Adara termenung. Tatapan matanya kosong melihat ke langit-langit. Rambutnya yang hitam kecoklatan dan sedikit bergelombang terlihat kusut masai. 

"Tuan Putri Adara," sapa Dameshia lembut. 

"Hmmm," jawab Adara dengan malas tanpa menolehkan wajah. 

"Perdana Menteri Bayezid memanggilmu untuk makan malam bersama." 

"Baiklah." Adara mengangguk lemah.

Dameshia mengangguk dan pergi dari kamar Adara. 

 Ia merapikan dirinya sekedarnya kemudian berjalan keluar kamar menuju ruang makan. 

Adara melihat Ayah dan Ibunya duduk di meja makan. Tidak ada Kamayel-kakak lelakinya. Ia merindukannya. Sang kakak sudah pergi sebulan lamanya. 

Sang jenderal tertinggi kerajaan Amiera itu kini sedang pergi ke perbatasan bersama pasukannya untuk menyelesaikan misi, menghabisi para pemberontak yang membuat kekacauan. 

"Ayah, Ibu," sapa Adara lembut dengan senyuman tipis. 

"Putriku," Bayezid tersenyum. 

Adara menarik kursi. Ia duduk dengan anggun.

"Adara, gurumu berkata, kau tidak fokus belajar akhir-akhir ini, dan sudah beberapa hari kau melewatkannya," Bayezid memperhatikan Adara. Wajah putrinya tampak pucat, "kau sakit?" 

Adara mengangguk lemah, "Akhir-akhir ini aku sulit tidur, Ayah. Tubuhku terasa lemah," ia menyuap makanan dengan malas. 

"Apa kau mencemaskan sesuatu?" Bayezid khawatir tentang keadaan putrinya. 

"Tidak, Ayah." Adara menggeleng lemah sambil tersenyum hambar. 

"Mungkin kau terlalu mencemaskan pangeran Zayan?" Aylee tersenyum melihat ke arah suaminya. Ia menggoda putrinya.

Adara tersenyum hambar, "Tidak, Ibu. Mengenai hal itu, apakah aku harus menikah secepatnya? Aku masih belum siap." 

Aylee dan Bayezid saling melempar pandangan. Kebingungan menyelimuti keduanya. Pangeran Zayan adalah lelaki yang paling diimpi-impikan semua para gadis. Bagaimana bisa putri mereka justru terlihat enggan. 

"Ada apa Adara? Kau punya pilihan lain? Ada lelaki lain yang kau inginkan?" Tanya Bayezid bijaksana. 

Adara menundukkan wajah..

 Wajah lelaki itu, membayang di matanya. Ia ingin bertemu dengannya. Ia ingin mengenalnya, tapi bagaimana bisa jika ia hanya bertemu di dalam mimpi? Sangat tidak masuk akal jika ia menolak perjodohan hanya karena seseorang di yang hadir di dalam mimpi. 

"Tidak, Ayah. Aku hanya belum siap." Adara menelan ludah. 

"Adara, putriku. Pernikahan ini harus secepatnya dilaksanakan. Para menteri dan pejabat istana banyak yang memeluk keyakinan baru. Agama sesat itu cepat sekali menyebar. 

keyakinan sesat itu sama berbahayanya seperti pandemi. Pelan-pelan akan mematikan bangsa ini.

Pernikahan dirimu dan pangeran Zayan akan memperkuat posisi Raja Emier.  Dia membutuhkan dukungan kita dan juga kakakmu. Para tentara akan memihaknya dan akan memperkuat pertahanan negara kita. 

Aku khawatir jika pangeran Zayan menjadikan wanita lain sebagai permaisurinya, pelan-pelan para pejabat penganut ajaran sesat itu akan mempengaruhinya, merubahnya sehingga menghancurkan negeri. 

Bagaimana mana bisa ajaran sesat kaum pemuja api itu memasuki negara kita." Bayezid menggelengkan kepala. 

"Dari mana sebenarnya ajaran sesat itu berasal, suamiku?" Tanya Aylee meminta penjelasan rinci.

"Muncul tokoh baru di dalam Penganut Majusi. Dia mengajarkan kebebasan dan kedzaliman. " Bayezid berdecak kesal.

"Tidak ada larangan dalam hal bersenang-senang. Penganut ajaran itu bebas menginginkan wanita manapun untuk tidur bersama mereka. Bahkan Ratu mereka sendiri. Mereka memiliki assasin yang membunuh para penentangnya."

"Astagaaaa!" Aylee terpekik.

Bayezid memandangi istrinya, "Karena itu negeri ini harus diselamatkan. Ajaran sesat itu menggiurkan orang-orang untuk bergabung."

"Adara …" Bayezid melihat putri dalam-dalam.

"Aku mengerti, Ayah. Kau telah mengajariku ilmu politik dengan sangat baik. Aku sangat paham Raja Emier dan Pangeran Zayan membutuhkan dukungan dari Kamayel kakakku.

Lakukan saja yang terbaik, Ayah. Kapan rencana pernikahan itu akan dilangsungkan?" Adara pasrah.

"Seminggu lagi pangeran Zayan akan datang melihatmu. Jika dia dia menyukaimu, pernikahan akan dilangsungkan secepatnya."

"Iya, Ayah." Adara mengangguk lemah.

Next chapter