2 BAB 1. SELALU MENGGANGGU

Tidak … tidak!" ucap Adara ketakutan. Napasnya memburu dan terasa sesak. Air mata membasahi kedua pipinya.

Ia terus berlari. Butiran pasir yang dia pijak membenamkan kedua kakinya. Semakin memperlambat langkahnya yang terseok.

Telapak kakinya yang halus tanpa alas kaki terasa terbakar di dalam timbunan pasir yang panas. Lecet dan sangat sakit.

Tenggorokannya sangat kering. Sejauh mata memandang hanya hamparan gurun pasir yang terlihat. Nanar matanya melihat alam semesta seakan penuh minyak, mengkilap saking teriknya matahari.

Adara menyingsingkan pakaian hingga sebetis. Gaun panjang merah bersulam benang emas yang dikenakannya beberapa kali terinjak. Membuatnya jatuh tersungkur. Gemerincing gelang tangan yang beradu saat ia berlari seakan musik kematian yang dinyanyikan malaikat pencabut nyawa.

Ia menolehkan kepala ke belakang. Dua orang lelaki berkuda berpakaian serba hitam yang mengejarnya, semakin mendekat. Adara semakin ketakutan. Di sepanjang pipinya terbentuk dua buah garis hitam karena celak matanya dilunturi air mata.

Derap langkah kaki kuda terdengar semakin mendekat, memecah hamparan pasir. Terbawa angin kencang, membumbung ke udara.

"Tidaaaak!" desahnya dengan bibir yang gemetar dan pecah-pecah. Dahaga melemahkan tubuhnya. Ia tersungkur pasir. Ketakutan mengisi setiap hela udara di dalam paru-parunya.

Kedua mata Adara terpejam, mencoba menghalau pasir beterbangan dibawa angin menerpa wajahnya. Masuk ke dalam netranya yang indah sehijau zamrud.

"Tuan Putri Adara. Tidak ada lagi tempatmu berlari," ucap salah seorang lelaki turun dari kuda. Gelak tawa menjijikan dari mulutnya laksana sambaran petir di telinga Adara.

"APA MAU KALIAN?!" bentak Adara dengan napas tersengal ketakutan dan kelelahan. Nyalang iris zamrudnya bergantian memandangi kedua lelaki itu.

Cadar merah bersulam benang emas yang menyembunyikan kecantikan Adara terlihat melekat ketat di wajahnya. Terhisap kuat hela tarikan napas Adara. Peluh dingin membanjiri kening dan juga punggungnya.

"Hahahaha!" mereka berdua hanya tertawa terbahak-bahak tidak menjawabnya.

Kain penutup di kedua wajah lelaki itu yang berfungsi sebagai pelindung terik matahari dan badai pasir, mengahalangi penglihatan Adara untuk mengenali siapa mereka. Namun, aura bengis menyeruak dari bahasa tubuh mereka.

Kedua telapak kaki, bokong dan kedua telapak tangan Adara menapaki pasir. Ia berusaha menjauhi mereka dengan sisa tenaga yang ia miliki.

"Hahahaha! Tuan Putri Adara. Seluruh penduduk negeri, tembok bahkan jalanan hingga ke sepanjang Mediterania membicarakan kecantikanmu. Mari kita lihat dan buktikan!" salah seorang dari mereka mendekat.

"Tidak! Jangan nistakan aku seperti ini! Ayah dan kakakku akan memenggal kepala kalian!" ancam Adara dengan garang.

"Ayahmu sang Perdana Menteri, bukan? Kakakmu Panglima pasukan perang, bukan begitu?

Sayangnya mereka tidak ada di sini. Hahahaha! Aku rela menukar hidupku asalkan sudah merasakan halusnya kulitmu yang konon sehalus sutra."

dada Adara bergemuruh.

Bagaimana bisa dia dihina seperti ini?

Ia menggenggam pasir erat-erat hingga ruas jarinya memutih, menyalurkan kemarahan.

Kedua lelaki itu mendekat. Dengan lancang tangan kotornya menarik cadar merah bersulam benang emas di wajah Adara.

"TERKUTUKLAH KALIAN! SEMOGA KALIAN ABADI DI DALAM NERAKA!" pekik Adara menghambur pasir di telapak tangannya ke wajah kedua lelaki itu. Adara memalingkan wajah, mengelak tangan bejat menyentuhnya

"AAAAH!" teriak lelaki itu saat matanya kemasukan pasir. Ia mundur beberapa langkah. Meraih tempat minum yang terkait di pinggang lalu membasuh matanya.

Lelaki yang satunya maju, "KURANG AJAR!" Ia menampar pipi Adara sekuat tenaga.

"Aaaaah!" pekik Adara dengan suara tertahan. Rasa nyeri dan aroma darah menyebar di dalam mulutnya.

Dengan lancang tangan kejinya menarik cadar Adara kasar.

Adara memejamkan mata. Harga dirinya terkoyak.

"HEEEEIII!" teriak seorang lelaki dengan suara dalam, berat, sedikit serak, sarat wibawa. Derap kaki kuda yang dikendarainya mengisi keheningan padang pasir. Di tangannya tergenggam pedang berwarna putih mengkilat menyilaukan mata saat memantulkan cahaya matahari.

"BERANINYA KALIAAAAN!" pekiknya penuh amarah.

Adara memalingkan wajah, melihat ke empunya pemilik suara. Pakaian serba hitam, penutup kepala hitam dan kain penutup wajahnya pun hitam.

Lelaki itu memacu kudanya lebih kencang.

SRAAAAK!

Tebasan pedangnya seketika memutuskan tangan lelaki yang sudah berani menyentuh wajah Adara.

SRAAAAAAK!!!

Kepala lelaki itu terguling di hamparan pasir. Tubuhnya terkapar.

Adara memejamkan mata. Wajahnya bersimbah darah. Tubuhnya ternoda percikan darah.

Adara gemetar …

Pasir yang semula berwarna kuning kecokelatan kini berwarna merah.

Lelaki yang tadinya sibuk membersihkan mata karena terkena pasir berusaha membuka matanya lebih lebar. Tidak paham apa yang baru saja terjadi.

SRAAAAK! Tebasan pedang lelaki yang baru saja datang itu memenggal kepalanya lalu terguling tepat di dekat kedua kaki Adara.

Adara menendang kepala lelaki itu, "Membusuklah kalian di neraka!'

"Tuan Putri, Anda tidak papa?" tanya sang penolongnya dengan nada suara penuh kecemasan. Ia turun dari kuda lalu menyarungkan pedangnya.

"Ya. Aku tidak papa." Adara mengangguk pelan. Ia beringsut lemah, berusaha memungut cadarnya di pasir.

"Aku akan mengantarkanmu pulang." Ia mendekati Adara.

Lelaki itu mengambilkan cadar merah bersulam benang emas yang berusaha digapai Adara dengan susah payah.

"Ini, Tuan Putri." Ia berlutut dengan kedua lutut, memberikannya kepada anak dari sang Perdana Menteri.

Adara mengambilnya dengan tangan gemetar. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Tuan Putri, maafkan kelancangan hamba, jika diperbolehkan, hamba ingin membersihkan darah di wajah Tuan Putri," ucap lelaki itu sopan, bahkan dengan nada rasa bersalah.

Adara mengangkat wajahnya. Menatap ke wajah lelaki yang sudah menolongnya. Lelaki itu memakai penutup wajah, tetapi sinar matanya yang hangat berbinar dari iris cokelat keemasan yang dimilikinya. Jelas sekali terlihat tidak ada sorot mata kejahatan di sana.

Lelaki itu menundukkan pandangannya saat Adara mengamatinya. Tidak kuasa bertatapan langsung dengan iris sehijau zamrud yang kini terlihat begitu terluka.

"Terima kasih, Tuan telah menolongku. Ayahku akan membalas kebaikanmu. Siapakah Tuan yang berhati mulia ini?"

"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya pedagang dari negeri tetangga." Lelaki itu membungkukkan tubuh penuh penghormatan.

"Beritahu siapa namamu?" desak Adara.

Lelaki itu membuka penutup wajahnya, "Nama hamba …"

Mata Adara memicing … wajah lelaki itu sangat bersinar, sangat tampan.

Adara membuka kedua matanya secara tiba-tiba. Peluh dingin membanjiri kening dan seluruh tubuhnya.

Seorang pelayan berdiri di sisinya menatap dirinya dengan cemas.

Ia segera duduk di tepian kasur sambil menjuntaikan kedua kaki ke lantai, "Mimpi yang sama lagi," ucap Adara dengan suara lemah.

"Tuan Putri mimpi buruk lagi? Anda terus mengigau dan berteriak-teriak," ucap Dameshia pelayan kepercayaan Adara.

Adara mengangguk lemah, "Ya … mimpi buruk itu akhir-akhir ini sering menggangguku."

"Mungkin Tuan Putri hanya cemas saja, mengingat Putra Mahkota Pangeran Zayan ingin melihat Tuan Putri dan akan segera datang berkunjung." Dameshia menyurungkan gelas berisi air putih

"Mungkin saja. Semoga benar begitu." Adara tersenyum lemah.

avataravatar
Next chapter