webnovel

Raga Arga

Bukan skenario hidup seperti ini yang aku inginkan, memerani tiga tokoh sekaligus dalam satu kali kesempatan hidup. Andai bisa aku ingin terlahir kembali menjadi aku yang hanya satu- Samudra Arga Pratama Aku lelah menjadi senja yang ditunggu dan dikagumi di penghujung waktuku-Samudra Raga Dwitama *** Takkan gugur daun yang menguning itu jika memang belum habis waktunya. Takkan turun rintik hujan itu sekalipun langit telah menggelap jika memang belum saatnya. Pun dengan jantung yang takkan berhenti berdetak jika memang Tuhan belum berkehendak.

aksara_jiwa · Realistic
Not enough ratings
4 Chs

4. Bahagianya sederhana

Bahagianya sederhana. Hanya dengan dianggap ada.

-Samudra Raga Dwitama

"Ah males banget gue satu kelompok sama Raga!"

"Sama."

"Tuh anak tinggal enaknya doang, gak ikut ngerjain tapi dapet nilai!"

"Gue juga mau kali!"

"Bisa kecil tau ngga nilai kita kalau itu anak ada di kelompok kita. Ngga ngerti apa-apa kalau presentasi!"

Sungguh Bintang sangat muak dengan teman-teman sekelompoknya itu. Kecuali Gadis yang ikut diam sama sepertinya. Mereka terus menggerutu sejak nama Raga keluar dari kocokan dan menjadi anggota mereka.

"Gue kan udah bilang ke kalian, saudara kembarnya Raga itu sakit. Jadi dia harus ngerawat abangnya itu." Bintang angkat bicara.

"Halaah!!! Sakit kok hampir tiap hari!" itu Cantika. Bahkan sama sekali tak berempati setelah mendengar penjelasan Bintang.

"Sekarang gini aja deh, tugasnya Raga biar gue aja yang ngerjain." menjadi si peringkat umum pertama membuat Bintang sama sekali tak masalah mengerjakan tugas sahabatnya. Toh hanya dengan satu kali kedipan mata ia bisa menemukan jawabannya. Kimia juga menjadi salah satu pelajaran favoritnya.

"Eh jangan! Biar dia aja yang ngerjain, sekali-kali biar mikir! Biar tau sekolah itu bukan buat tidur sama main basket aja!"

Ah benar-benar ya mulut perempuan itu jika sudah berbicara. Sepedas cabai. Setajam silet. Tak ada saringan.

"Bin gue saranin mending lo ngga usah temenan sama Raga lagi deh!" Bintang meletakkan penanya, berhenti menulis jawaban yang sedang ia pikirkan. Melempar tatapan tajam pada si empunya suara.

"Maksud Lo apa ngomong gitu?" Bintang tak ingin basa-basi dengan Rian. Tangannya mengepal, susah payah menahan emosi.

"Yah gue kasian aja Bin sama Lo. Lo kan pinter. Sedangkan Raga absen mulu kerjaannya. Yang ada Lo dimanfaatin sama tu anak"

Bintang berdecih. "Asal Lo tau ya dari SD gue sahabatan sama Raga, tuh anak ngga pernah manfaatin gue! Gue yang ikhlas nolong dia!"

Bintang berdiri dari tempat duduknya. Mengambilnya bukunya kasar. "Pindah gue. Males gabung sama orang yang hobinya nge-judge orang lain" kakinya ia bawa pergi, menepi dari orang-orang yang sibuk menilai buruk orang lain.

Tapi tunggu dulu. Ada yang masih Bintang sampaikan. Maka langkahnya berhenti. Mengabsen satu persatu wajah teman sekelompoknya, membuat mereka sedikit tak enak atas ucapan tadi  "Satu lagi. Raga ngga seburuk yang kalian pikir! Dan Lo harus tau sekolah itu ngga melulu tentang nilai!"

Gadis masih menyimak sampai perdebatan itu benar-benar selesai. Melihat sikap teman-temannya terhadap Raga, Gadis tahu sekarang bagaimana posisi seorang Raga di kelas. Cenderung tak dianggap.

Nyatanya wajah tampan tak menjamin memiliki banyak teman. Raga buktinya. Hidupnya tak seperti tokoh tampan yang diceritakan di banyak novel yang biasa ia baca. Di kelasnya otak sangat diperhitungkan. Masalah hati menjadi yang kesekian.

🍁🍁🍁

Arga terlonjak kaget saat membuka matanya. Bagaimana tidak, Bintang berdiri di hadapannya dengan tiba-tiba. Tak ada suara yang mengantar kedatangannya.

"Eh monyet Lo ngagetin gue aja!" Raga melemparkan protesnya seraya mengelus dadanya yang naik-turun tak karuan.

"Husstt jangan berisik, kata bi Rima gue ngga boleh berisik nanti Arga keganggu, mangkannya gue diem." jelas Bintang dengan berbisik pada Raga.

"Dari tadi Lo?"

"Lumayan,"

Raga melihat jam dinding yang menempel di dinding monokrom milik kakaknya. Pukul lima sore, pantas saja Bintang sudah pulang. Seharian tadi Raga menjaga kakaknya ekstra. Demamnya sangat tinggi, ditambah dengan mengigau. Terus mengucapkan Arga bukan pembunuh.

"Capek banget ya Lo jagain Arga?" Bintang merasa prihatin melihat sahabatnya, wajahnya lusuh, rambutnya acak-acakan.

"Engga sih, tadi lagi duduk aja eh tau-tau ketiduran." percuma berbohong. Guratan lelah di wajahnya terlalu kentara.

Atensi Bintang kemudian berpindah ke Arga yang terbaring lemah di ranjangnya. Di tangannya tertancap jarum infus, memperlihatkan bahwa kondisinya jauh dari kata baik-baik saja. "Sekarang gimana? Udah mendingan Abang Lo?"

"Lumayan. Engga ngigau lagi."

"Gue boleh jenguk?"

"Lo juga dari tadi berdiri di sini itu jenguk, Bambang!" saut Raga.

Bintang memutar bola mata, malas. Ia tahu ada yang kurang tepat dari ucapannya tapi kenapa tidak dipahami saja. "Maksud gue liat Abang Lo lebih deket, Ga." Perjelasnya.

Raga mengangguk "Boleh, tapi jangan berisik ya. Bisa ngamuk Abang gue kalau lihat Lo di sini."

Bintang mengerti. Dengan sangat pelan ia melangkah. Mendekat ke ranjang Arga. Menatapnya lekat. Matanya terpejam damai. Sementara tak merasakan lukanya. Bintang tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Arga yang tiap harinya hidup dengan jiwa-jiwa yang berbeda yang mengisi raganya. Juga Raga yang pasti sangat sedih melihat kondisi abangnya.   

"Turun yuk temenin gue makan. Laper gue. Lupa seharian belum makan." Raga menepuk pundaknya. Bintang mengangguk, menuruti ajakan Raga.

Kedua sudah berada di meja makan sekarang. Berhadapan dengan lauk-pauk yang sudah disiapkan bi Rima. Kebetulan sekali Bintang belum makan. Jadi sekalian saja dirinya numpang makan di rumah Raga. Rumah Raga ini rasanya sudah seperti rumahnya sendiri karena hampir tiap hari ia berkunjung juga menginap.

"Lo ke sini cuma mau jenguk Abang gue atau ada yang lain?" tanya Raga yang saat ini sedang menyendok lauk pauk ke piringnya.

Bintang yang sudah siap dengan sendokan pertamanya terpaksa berhenti. Menutup mulutnya yang menganga. "Ada yang lain. Gue mau anterin tugas kelompok Lo. Anak-anak marah tadi tau Lo engga berangkat."

Raga berdecih "Gue emang selalu salah kan di mata mereka? Gue ini buruk banget menurut mereka." melihat raut wajah Bintang yang berubah sedih karena ikut memikirkan nasibnya di kelas, buru-buru Raga mengalihkan pembicaraan "Tapi Lo ajarin gue ya. Mana gue ngerti sama soal-soal itu."

Senyum kembali merekah di wajah Bintang "Tenang aja. Tapi gue pinjem baju Lo ya, males pulang malem gue. Pingin ngegame sama Lo."

"Kayak apaan aja pake ijin segala!"

Raga bersyukur ada Bintang di hidupnya. Setidaknya ia tidak berlarut-larut dalam kesedihan kala memikirkan abang juga sikap anak kelas terhadapnya. Sama seperti namanya, Bintang mampu menerangi gelap hidup Raga. Menuntunnya menelusuri garis pahit kehidupan. Doanya, semoga Bintang tak lelah menjadi sahabatnya. Tak bersikap acuh sama seperti teman lainnya.

🍁🍁🍁

Pagi menyapa. Langit biru membentang di angkasa. Dihapusnya embun basah oleh hangat mentari pagi. Hari baru kan dimulai.  Memberi sercecah harapan bagi setiap insan. Semoga kelam kemarin akan berwarna hari ini. Duka menjadi tawa. Juga Jiwa yang terombang-ambing menjadi hanya satu seperti yang dulu.

Raga, anak itu terus mengucapkan syukur pagi ini. Abangnya itu sudah membaik, sudah tidak demam. Pikirannya juga sudah tenang. Tak lagi mengamuk. Hanya saja masih Arga 'si pembunuh' yang mengisi jiwanya. Jadi kecuali Raga, tak ada yang boleh masuk ke kamarnya, sekali pun bi Rima yang hanya ingin mengantarkan makanan.

Dasar pembunuh!

Kamu ga usah bela pembunuh ini, mulai sekarang kamu jangan dekat-dekat dengan Arga, Uty ga mau kamu jadi korban selanjutnya!

Sarkas Uty-nya benar-benar terpatri di otaknya. Menyatu dengan jiwanya.  Hingga sangat takut saat ada orang yang mendekatinya.

Raga sebenarnya tak ingin sekolah hari ini. Masih ragu meninggalkan abangnya. Takut jika nanti kumat lagi. Tapi Arga justru menyuruhnya untuk berangkat sekolah. Katanya Arga merasa kasihan dengan Raga yang terlalu sering absen juga tertinggal banyak pelajaran hanya karena dirinya yang terus merepotkan. Arga tahu diri, dirinya menjadi beban sang adik. Tapi sungguh Raga tak pernah merasa terbebani. Ini bukan karena Ayahnya yang menitipkan Arga padanya sesaat sebelum pergi. Tapi ini karena rasa sayangnya, rasa memiliki pada Arga. Saat ini, esok, lusa, dan selamanya Raga akan menjaga Arga. Tak peduli Arga yang mana pun itu.

🍁🍁

Raga merasa ada yang mengganjal di dalam laci bangkunya hingga tak bisa leluasa meletakkan buku-bukunya. Tangannya kemudian terulur untuk memeriksa.

Susu kotak? Raga bingung, siapa yang pagi-pagi sudah meletakkan susu kotak fullcream di lacinya. Ini jelas bukan pemberian nyasar, sebab ada sebuah pesan yang dituliskan pemberinya.

For Raga

Thank you for help on my first day. Don't forget to smile :)

Raga memang sering meninggalkan banyak pelajaran. Tapi ia jelas tahu apa arti dari pesan itu. Tanpa disadari sudut bibirnya tertarik. Hatinya menghangat kala merasa dianggap.

Dan dari balik jendela kelas ada sepasang mata yang menyaksikan. Senyumnya ikut merekah. Berharap bahagia itu dapat selamanya.

🍁🍁🍁

To be continued

Bumi Lampung

Terang, 16 Oktober 2020