webnovel

Tamu tak diundang

Ruangan bercahaya remang kehijauan. Jam ditembok menunjukan pukul 23.58. Dipembaringanya, Ratya perlahan membuka mata dan bangkit untuk duduk.

Dalam beberapa tahun terakhir, Ratya merasakan tubuhnya seperti memiliki alarmnya sendiri. Setiap malam dia akan terbangun dijam yang sama, meski baru terlelap beberapa menit.

Menguap dan mengangkat kedua tangan untuk meregangkan sisa otot-ototnya yang malas. Ratya kemudian menyapu ruangan dengan mata yang sayu, seperti berharap dirinya terbangun ditempat yang berbeda. Mungkin semacam kamar yang cukup nyaman dan cukup layak untuk ditinggali. Atau setidaknya tempat yang cukup rapi, bersih dan tertata.

Meskipun sadar bahwa harapan kosong semacam itu tidak akan merubah apapun, Ratya tetap kecewa melihat kamarnya yang acak-acakan, berserakan dan tidak terurus. Tentusaja Ratya juga tau, bahwa barang-barang diruanganya tidak akan merapikan dirinya sendiri. Tapi harapan dan kecewa semacam itu, sudah seperti rutinitas bagi Ratya. Hal yang masih akan dia ulang dan ulangi lagi, setiap kali dia terbangun dari tidur.

Bagaimana Ratya merawat tempat tinggalnya, sebenarnya tidak berbeda dengan bagaimana Ratya merawat hidupnya. Bocah itu sudah seperti membangun cermin dari kehidupanya sendiri.

Seorang jenius mungkin membiarkan tempat kerjanya berantakan karena tidak sempat untuk berbenah. Tapi Ratya, bocah itu hanya terlalu malas untuk berbenah. Menyesal dan meratapi diri adalah kesibukan absolut yang sudah mengisi sebagian besar kehidupanya semenjak waktu yang entah kapan.

Satu hal yang masih cukup jelas dalam hidup Ratya, selain detak jantung, rasa lapar dan nafas yang menjadi tanda bahwa dia masih belum mati secara fisik, adalah tujuan hidup. Semenjak remaja, Ratya telah bermimpi untuk menjadi penulis terbaik dijamanya. Dan Dia memang pernah memiliki kegemilangan cerita, meski tidak pernah menjadi karya nyata yang diakui secara umum.

Ratya adalah satu orang yang pernah menganggap bercerita sebagai kehidupan. Dan dia memang pernah hidup dengan baik didalamnya. Tapi hal itu hanya berjalan baik hingga Ratya mengalami gangguan yang tidak bisa ditoleransi.

Kegagalan mungkin adalah racun terhebat yang melemahkan motivasi. Tapi Ratya, bukan kegagalan yang membuat dia terpuruk, melainkan apa yang melatari kegagalan itu. Dimana dia tidak pernah bisa memahami, bagaimana cerita yang dia buat selalu berubah menjadi teror yang nyata.

Denkdenkdenk!

Belum sampai semua kesadaranya pulih, pintu kamar Ratya sudah digedor.

Malas, Ratya bertanya. "Siapa?"

Denkdenkdenk!

Bukanya menjawab, pintu kamar malah kembali digedor.

Dengan lesu Ratya bangkit dan melangkah kepintu.

"Tidak. Aku sedang sangat malas." Bisik Ratya. Membuang bayangan hantu dipikiranya.

Setelah menggeser gerendel, Ratya membuka pintu sedikit dan mengintip.

Begitu melihat tamu didepan pintu, Ratya langsung melotot dan tertegun. Dia benar-benar kaget dan sedikit syok.

Pemandangan didepan pintu membuat Ratya tidak tau harus bersikap bahagia atau sedih. Dia seperti merasakan hujan dimusim semi. Dingin tapi menyegarkan.

"Maaf, nona mencari siapa?" Tanya Ratya, pura-pura tidak kenal.

Dengan wajah malas, gadis didepan pintu menjawab. "Udah nggak usah pura-pura amnesia!"

"Ini kos cowok lho." Ucap Ratya, dengan senyum yang tidak tertahan.

"Udah tau. Ketulis didepan."

"Terus ngapain cewek malem-malem datang kesini?" Meski berkata begitu, Ratya akan sangat menyesal jika gadis itu benar-benar pergi.

Bukanya menjawab, Gadis itu malah mendorong daun pintu dengan tangan kirinya.

Ratya sempat menahan pintu sekuat tenaga, sampai akhirnya dia pasrah, karena kalah dalam adu kekuatan. Dan akhirnya pintupun terbuka dengan sempurna.

"Waow...!" Ucap Gadis itu, begitu dia melihat ke-adaan kamar Ratya yang acakan-acakan.

Bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans kumal yang dipotong selutut, Ratya yang kurus kering, berdiri tidak berdaya disamping pintu.

"Bisa nyalakan lampunya?" Pinta gadis itu.

Ratya langsung menjulurkan tangan dan menekan saklar ditembok.

Diterangi lampu besar ditengah ruang, kamar itu terlihat semakin acak-acakan. Baju kotor tergelatak dimana-mana. Gelas-gelas kotor bertumpuk dengan bekas makanan dan sampah lainya. Ada tumpahan kopi disana sini. Asbak yang penuh abu dan puntung rokok. Sementara tembok dipenuhi oleh coretan spidol dan cat semprot.

Satu-satunya pemandangan yang menarik diruangan itu, adalah lukisan taman bunga berujung istana yang menempel ditembok dekat jendela. Dan anehnya, lukisan itu terawat dengan baik.

"Hhmmh." Gadis itu membuang nafas dan berkata. "Aku curiga kamar ini menjadi tempat sampah super size."

Ratya tidak menjawab. Dia sibuk menatap gadis didepanya dan membuat deskripsi.

Tubuh kurus setinggi seratus enampuluh dua yang sepertinya belum bertambah. Rambut hitam panjang yang di-ikat satu dibelakang. Wajah bersih tanpa bedak. Alis yang terbentuk secara alami. Kelopak mata yang menghitam dan sedikit berkantung. Bola mata yang tajam. Hidung kecil dan bibir tipis yang memanjang. Dagu lancip yang membentuk huruf V. Kemeja putih dan jas hitam bermerek yang serasi dengan celana hitam panjang dan sepatu hitam mengkilap. Selain pakaian yang terlalu rapi, kacamata kotak diwajah gadis itu adalah pemandangan yang samasekali baru. Dan tentusaja, tas kresek hitam ditangan kananya adalah pemandangan yang samasekali tidak serasi dengan penampilan itu.

"Benarkah ini Utha?" Pikir Ratya. Seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan ingin mengagap sosok itu sebagai hantu dalam imajinasinya, atau bagian dari mimpi tidur yang biasanya berujung teror.

Seperti membaca pikiran Ratya, Utha tiba-tiba berkata. "Aku masih Utha. Tapi aku bukan lagi gadis bodoh yang mengejar bocah sepertimu."

Menggelengkan kepala, Utha melanjutkan ucapanya. "Aku masih tidak percaya, kau meninggalkan kampus untuk kehidupan yang seperti ini. Berusaha menjadi shakespeare, tapi malah terjebak dalam konsumsi obat bius."

Utha menunjukan kekecewaan dimatanya. "Kau adalah manusia paling berbakat yang pernah aku temui. Tapi sayang kau membuang anugrah itu dengan sia-sia."

"Nglk." Ratya hanya menelan ludah, setelah mendengar semua itu. Dia tidak memiliki niat untuk membuat pembelaan, karena dia sependapat dengan Utha.

"Kau tidak menawariku untuk masuk?" Tanya Utha.

Ratya menjawab ragu. "Kau yakin? Ini tengahmalam."

Utha mengangguk ramah keRatya dan melangkah masuk. Sesaat dia berhenti didekat pintu dan menggosok sepatunya pada kain kumal dilantai. Lalu berjalan lurus menuju lukisan didekat jendela.

Ratya sempat bimbang dan membiarkan gadis itu menjajah hunianya. Tapi dia masih betah dan belum ingin diusir dari tempat kostnya. "Utha! Serius, ini tengahmalam. Kamu nggak seharusnya ada disini! Nggak enak sama yang lain. Apalagi kalo ibu kost sampe tau."

Didepan lukisan dekat jendela, Utha menengok keRatya. "Tutup pintunya! Aku punya berita untukmu."

"Kacau!" Gumam Ratya, kemudian dia berkata, "Aku serius!"

Utha meraba lukisan didepanya, melihat detail dan mencari corak misterius yang tidakbisa dipalsukan. Dan untuk menanggapi kehawatiran Ratya, dia berkata tanpa menengok. "Tidak ada yang akan mengusikmu. Mereka semua," Utha memberi penekanan pada kata terakhirnya, "Tidur."

Ratya cukup heran mendengar itu. Setahu Ratya, hampir semua penghuni kost adalah manusia yang aktif dimalam hari. Dan Ratya sangat yakin, dia masih berada ditempat kost yang sama. Tapi setelah melihat kesekitar, Ratya menemukan hal yang mengherankan. Tempat kost itu benar-benar sepi, seperti tidak ada kehidupan.

Dengan ekspresi wajah yang bingung, Ratya kembali kedalam kamar. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak tau bagaimana menyampaikanya. Dan Utha, sambil terus menatap kearah lukisan, gadis itu berkata tanpa keraguan.

"Pakai bajumu dan duduklah! Aku tidak ingin melihat tulang-tulangmu lebih lama."

Mengikuti permainan, Ratya hanya menurut. Dia menutup pintu kamar, memungut dan mengenakan kaus yang sempat dikira keset oleh Utha. Lalu berjalan ke-arah Utha.

"Aku ingin menyediakan kopi, tapi...,"

Tanpa menengok, Utha menyodorkan tas kresek ditanganya. Utha sangat paham, Ratya hanya basa-basi dan memang sengaja tidak menyelesaikan kalimat itu.

"Makanlah, kau pasti lapar." Ucap Utha.

Ratya menerima tas kresek dari tangan Utha. Tapi bukanya berterimakasih, dia malah menatap kesepatu Utha.

"Sepatumu." Ucap Ratya.

"Kau tidak perlu menghawatirkanya." Jawab Utha, tidak teralihkan.

"Maksutku-."

"Kau tidak akan membutuhkan barang-barangmu lagi." Potong Utha.

Itu adalah kata-kata yang mengejutkan bagi Ratya. Dan dia tidak paham, apa maksudnya.

Tergagap, Ratya bertanya. "Ma, maksudmu? A..ku tinggal disini."

Dan Ratya jelas tidak tau, apa yang sebenarnya ingin dikatakan.

Utha memutar tubuhnya dan berhadapan langsung dengan Ratya.

Jarak kedua orang itu hanya setengah meter. Dari ketegangan, detak jantung dan rona bahagia diwajah Ratya, tampak jelas bahwa pemuda itu masih mencintai Utha.

Menunjukan ekspresi wajah yang serius, Utha berkata dengan nada bicara yang sama seriusnya. "Nama saya Utha Satriani. Saya adalah pengacara yang ditunjuk oleh kekekmu secara sah, tuan Rama Mandala. Dan maksud kedatangan saya kemari adalah untuk memberi kabar, bahwa beliau barusaja meninggal."

Utha meletakan tangan kepundak Ratya. Menunjukan simpati, karena melihat bocah itu terdiam.

"Bersabarlah." Ucap Utha.

Ratya tersenyum geli. Dia menahan tertawa, hingga badanya bergetar.

Melihat hal itu, Utha menyipitkan mata dan menatap Ratya dengan penuh penasaran.

"Cara bercandamu benar benar tidak lucu. Kalau kau merindukanku, kau bisa langsung mengatakanya. Tidak perlu membuat alasan yang tidak masuk akal."

Menggelengkan kepala, Ratya melanjutkan ucapanya. "Tidak mungkin kakekku mati dua kali. Lagipula, aku yakin namanya bukan Rama Mandala. Itu benar-benar lelucon yang sakit."

Utha membuat gerakan mematuk dan berkata dialam pikiranya, "Tentusaja, aku melupakan bagian itu."

Dan Uthapun cukup bingung, bagaimana cara menjelaskan tentang orang yang pernah dihapus.

"Aku katakan dengan pasti, kau tidak pernah bertemu dengan kakek dari pihak ibumu. Dan keluargamu memiliki cerita kepahlawanan yang terus diwariskan disetiap generasi. Cerita yang meskipun kau katakan kepada orang lain, tapi mereka akan segera lupa dan seperti belum pernah mendengar cerita itu. Satu lagi, lukisanmu. Kau mengira lukisan ini salah alamat. Tapi kau melihat alamat dan namamu tertulis dengan jelas, meskipun kolom pengirimnya kosong. Dan tanpa kau sadari, kau sangat menyukai lukisan ini."

Ratya jadi tertegun. "Bagaimana kau bisa tau semua itu?"

Utha menjawab dengan sederhana. "Karena aku adalah pengacara dari kakekmu. Aku memiliki setumpuk catatan tentangmu. Dan aku memegang surat wasiat kakekmu."

"Surat wasiat?" Tanya Ratya, antusias.

"Surat wasiat." Jawab Utha.

"Jika dia benar kakekku. Apa aku mendapat warisan darinya?"

"Ada."

"Apakah itu berharga?" Suara Ratya terdengar semakin antusias.

"Tergantung bagaimana kau melihatnya."

"Kau membuatku bingung."

"Kau barusaja menerima kabar kakekmu meninggal, dan kau langsung bertanya tentang warisan. Cucu macam apa kau ini."

Tanpa rasa bersalah Ratya berkata. "Bagaimanapun dia seperti tidak pernah ada. Aku tidak pernah mengenalnya."

"Tapi kau selalu menerima pemberianya direkening bankmu, setiap bulan."

"Aku kira itu ibuku."

Utha menepuk pundak Ratya. "Anak muda. Duduk dan makan sarapanmu. Kau butuh banyak energi."

Tersenyum nakal dan menggelenkan kepala pelan, Ratya berkata. "Aku tidak yakin dengan apa yang akan kita lakukan."

Utha mengangguk satu kali dan menjawab tanpa keraguan. "Aku sangat yakin dengan apa yang akan kita lakukan." Dia lalu menggelengkan kepala, "Tapi hal itu samasekali berbeda dengan yang kau pikirkan."

Sesaat Ratya diam dengan bola mata yang dinaikan, pura-pura berfikir. Lalu menghembuskan nafas panjang hingga pundaknya turun. Kemudian dia duduk dan membuka tas kresek, untuk menemukan roti isi besar dan segelas susu.

"Kau taukan, aku tidak bisa minum susu." Ucap Ratya.

"Berhentilah bersikap manja dan lihat dengan teliti."

Ratya memutar gelas susu ditanganya. Dan menemuan tulisan yang tercetak dibadan gelas. 'Susu kacang hijau berkualitas'.

"Kau punya laptop?" Tanya Utha, melihat kesekitar ruangan.

Menyobek plastik roti, Ratya menunjuk kearah laptop dimeja pendek yang ditutupi pakaian kotor. Hanya bagian sudut dari laptop yang terlihat.

"Rusak." Ucap Ratya. Membuat Utha kembali menarik tanganya yang sempat terjulur.

Uthapun menggerutu. "Adakah hal lain ditempat ini, selain sampah!"

Ratya menunjuk kearah lukisan didekat jendela. "Aku punya lukisan itu."

"Luarbiasanya, kau belum menjual lukisan itu. Atau kita akan kesulitan untuk menemukanya."

Sesaat Ratya berhenti mengunyah dan memberikan senyum hangat.

Uthapun menurunkan tubuh dan duduk bersila didepan Ratya. "Dengarkan baik-baik apa yang akan aku ucapkan."

Ratya bicara dengan mulut yang belum habis mengunyah. "Aku selalu mendengarmu. Meskipun akhirnya kau pergi dan melupakan aku, tapi aku selalu mendengarmu." Setelah jeda menelan, Ratya melanjutkan ucapanya. "Itu fakta."

Utha menatap Ratya dengan sangat serius. "Bisakah kau singkirkan hal itu. Ada hal serius yang harus kita bahas."

"Apakah lebih serius dari masadepan kita?" Ratya membalas tatapan Utha yang menusuk. "Aku tau kau sudah sukses, tapi aku akan segera menyusulmu."

Setelah mengucapkan kalimat itu dengan penuh percaya diri, Ratya kembali menggigit roti dan mengunyah roti itu dengan penuh kemenangan.

"Mungkin kau tidak memperhatikan." Ucap Utha, menunjukan cincin dijari manisnya. "Akupun tidak berharap untuk melihatmu lagi, tapi aku sudah mengambil kontrak dengan Kakekmu. Dan ini tentang pekerjaan, bukan cerita cinta lama yang sudah berlalu."

Ratya hanya mengangguk dan mengunyah roti dengan lesu. Kemenanganya telsh pergi dengan cepat.

"Aku tidaktau bagaimana membuatmu percaya. Tapi kakekmu, dia adalah satu tujuh pemegang rahasia."

Saya harap Anda menyukai novel ini.

Terimakasih untuk segala dukungan Anda.

Silahkan sampaikan pendapat anda, dikolom komentar.

^_^

Karena novel ini juga di-ikutkan dalam WSA 2022, tolong disuport ya.

Terimakasih.

Luck_Firelycreators' thoughts