webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

pulang

Aksara hanyalah seorang anak bungsu dari sebuah keluarga sederhana. Abah hanya bekerja sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan percetakan. Sedangkan ibuk hanyalah seorang ibu rumah tangga.

Sejak kecil Aksara diajarkan untuk mensyukuri apa yang di milikinya. Tidak peduli apa itu, berapa jumlahnya. Yang ia lakukan hanya bersyukur.

Aksara bahagia sungguh, hidupnya begitu menyenangkan dengan orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya. Semestanya.

Bagi Aksara hidupnya bagai sebuah rumah dengan berbagai pilar. Semestanya itulah pilar tersebut. Jika salah satunya pergi, rumahnya tidak akan sekokoh dulu. Dan mungkin akan mudah roboh di terpa badai.

Itulah yang di rasakan Aksara sekarang. Rasa tak rela masih melingkupi hati kala manik jernihnya menatap kosong jasat Agam yang berbalutkan kain kafan hendak di makamkan.

Hari yang mendung seakan tau bagaimana sedihnya suasana saat ini. Warna kelabu seakan menyeruak di mana mana. Juga orang orang dengan pakaian monokrom yang berkerumun dalam isakan pilu.

Nathalie dalam rengkuhan Aksara juga terisak. Gadis itu masih tidak menyangka temannya itu akan pergi secepat itu. Merasa menyesal tidak menggunakan waktu waktu yang tersisa bersama Agam dengan baik.

Aksara mengusap bahu Nathalie yang di rangkulnya. Gadis itu menunduk, tak kuasa melihat pemandangan di depannya.

Sang pemuda menarik napas panjang, membawa kepala Nathalie untuk bersandar di bahunya, "Kamu tadi yang hibur aku. Kok sekarang kamu sendiri yang nangis kenceng?"

Nathalie menggeleng, "Aku..hiks...,"

"Udah udah," gumam Aksara, tangan besarnya menepuk kepala Nathalie beberapa kali untuk menenangkan gadis itu, "Agam udah bahagia. Dia nggak akan tersiksa lagi di dunia. Dia udah balik ke rumahnya,"

Nathalie mengangguk dalam isakannya.

Jerit tangis masih terdengar. Mama Agam, berjongkok di samping liang lahat, dengan suara parau memanggil nama putranya. Sedangkan Ayah Agam tampak tegar, menatap wajah damai Agam dalam tidurnya yang abadi.

Agam, dia adalah sosok baik yang meninggalkan kesan mendalam ketika pergi. Orang orang menangis keras. Bukan hanya kerabat. Sahabat sahabat Agam juga begitu, menjerit pilu tak merelakan kepergian sahabat terbaik yang mereka miliki.

Sejenak Aksara merenung, setelah ini tidak ada lagi Agam yang menyapanya setiap pagi, berceloteh ria tidak jelas saat pelajaran berlangsung. Tidak ada lagi yang memaksa Aksara membelikan bensin. Tidak ada lagi sosok Agam. Namun setidaknya, Aksara sedang mencoba merelakan Agam yang pergi begitu tiba tiba. Tanpa memberikan pesan yang berarti, namun justru meninggalkan segudang penyesalan bagi banyak orang.

Hari itu, di tengah pemakaman yang cukup ramai, Mama Agam masih menangis pilu. Duduk terpengkur tanpa peduli pakaiannya yang bernoda tanah becek. Beliau meraung-raung, wajahnya memerah dan air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Begitu kacau karena kehilangan putra semata wayang yang begitu di sayanginya, "Agam kenapa ninggalin mama nak? Katanya kamu mau nemenin mama sampai tua. Tapi kenapa kamu malah pergi duluan Gam? Katanya kamu nggak pernah sanggup kalau mama pergi, jadi kamu malah pergi dulu?! Hiks..mama nggak pernah sanggup kamu tinggal pergi Agam,"

Aksara menggigit bibirnya, hatinya mencelos mendengar rentetan kalimat yang keluar dari bibir mama Agam. Begitu menyayat hatinya.

Kasih sayang ibu memang naluriah, tidak ada yang dapat menyainginya. Dan hari ini Aksara tau, ia melihat secara langsung sehancur apa seorang ibu ketika di tinggal pergi oleh anaknya.

Tepat hari ini, hari Sabtu Agam Maheswara telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan jerit pilu orang orang terdekatnya. Mengundang tangisan keras orang orang yang menyayanginya. Menyisakan luka dan penyesalan yang mendalam bagi orang orang di sekitarnya. Menorehkan kenangan tak terlupakan untuk semuanya.

***

Minggu siang, Aksara hendak melaksanakan apa yang Agam minta kepadanya terakhir kali. Memberikan surat dari Agam kepada Anya. Walaupun sebenci apapun Aksara pada gadis itu, ia harus tetap melakukannya bukan? Bagaimanapun ini adalah permintaan sahabatnya. Aksara tidak mempunyai alasan untuk tidak melakukannya.

"Surat dari Agam," ujar Aksara pada Anya yang menatapnya bingung, "Bahkan dia masih nyebut nama lo di saat terakhirnya," sinisnya.

Anya menerima surat dari Aksara dengan ragu, "Maaf. Gue nyesel. Gue nggak nyangka mereka sampe bikin Agam pergi,"

Aksara mendengus, tertawa sinis dalam wajah sembabnya, "Jangan minta maaf ke gue. Minta maaf ke mamanya Agam. Beliau yang paling kehilangan,"

Anya hanya mengangguk kecil, "Makasih,"

"Itu keinginannya Agam. Gue cuma mau kabulin permintaan dia. Gue pergi," balas pemuda itu, berbalik untuk melangkah mendekati Nathalie yang duduk di kursi roda. Di teras rumah Agam yang ramai.

"Ada yang jemput?"

Nathalie menoleh lalu menggeleng, "Angel sama Karin udah pulang duluan. Mama ada urusan. Kayanya aku pesen ojol aja sih,"

"Bareng aku aja. Aku bawa mobilnya abah," jawab Aksara.

"Rumah kita berlawanan arah Sa. Aku takut ngerepotin kamu,"

"Nggak kok. Jangan sungkan gitu,"

"Eng..,"

"Kalo nggak kamu main ke rumahku aja dulu. Biar nanti sore kuanter pulang gimana? Mamamu pergi kan?"

Nathalie menggulung bibirnya, berpikir beberapa saat sebelum mengangguk, "Boleh sih. Nanti pulangnya aku bilang mama buat jemput aja,"

"Aku yang ngajak nanti aku yang nganterin balik," jawab pemuda itu seraya mendorong kursi roda milik Nathalie mendekati mobil milik abah yang terparkir tak jauh dari sana.

"Tumben kamu bawa mobil. Biasanya ojol,"

"Aku biasanya mager kalo nyetir sendiri. Tapi tadi udah telat nggak sempet pesen ojol. Tadinya mau bawa motor eh di pake semua. Yaudah bawa mobil aja," jelasnya sembari membantu Nathalie untuk duduk di kursi penumpang.

Setelah memasukkan kursi roda Nathalie ke dalam bagasi, Aksara segera memasuki mobil milik abah. Memakai sabuk pengamannya sebelum menghidupkan mesin mobil.

"Ku kira kamu nggak bisa bawa motor atau mobil makanya naik bis mulu kalo sekolah,"

Aksara menggeleng, tersenyum simpul, "Kadang kemageranku susah di tolerir jadi ya gitu,"

Nathalie terkekeh kecil, "Tapi biasanya kamu mau kalo di suruh bonceng Agam pake motor dia,"

"Karena Agam itu juga sama magerannya kaya aku. Cuma nggak terlalu kelihatan aja,"

"Sedeket itu ya kalian?"

"Jujur aku nggak tau apa makanan kesukaan Agam, minuman kesukaan Agam, ataupun itu. Agam juga mungkin gatau makanan kesukaanku, minuman kesukaanku. Tapi kamu tau kenapa kami bisa sedeket itu..?" Nathalie menggeleng, "Kami tau masalah hidup masing-masing. Agam memang punya banyak temen di luar sana. Tapi dia selalu cerita ke aku kalau dia dapet masalah. Dia selalu minta aku buat bantuin dia selesaiin masalah,"

Gadis itu tersenyum, "Iya. Temen itu bukan sekedar yang selalu bareng sama kita. Yang tau apa makanan kesukaan kita, minuman kesukaan atau hobi kita tapi temen itu tempat terbaik buat kita berkeluh kesah. Menceritakan semua apa yang kita alami ke orang itu,"

Aksara mengangguk mengiyakan.