webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Pagi Biasa

Di rumah abah hanya terdapat 3 kamar. Kamar pertama itu jelas kamar milik Abah dan ibuk, kamar kedua adalah milik Mas Yudhis dan Arjuna. Kamar terakhir tentu saja kamar milik Mas Abim dan Aksara.

Sebagai roomate, hubungan Mas Abim dan Aksa itu tidak begitu baik. Tidak seadem Mas Yudhis dan Arjuna. Kata Aksa, Mas Abim itu anarkis karena lulusan STM—padahal tidak ada hubungannya sama sekali.

Pernah sekali Aksa membuat petisi untuk menukar roomatenya dengan Mas Yudhis. Semua orang jelas menolak, tau bagaimana jika Mas Abim dan Arjuna di satukan. Dan berakhir si bungsu yang ngambek seharian.

Hari ini hari Senin, pukul 6 pagi. Dan di sambut dengan keributan yang di ciptakan Mas Abim dan Arjuna, seperti hari-hari biasa. Hanya perihal kamar mandi. Padahal Mas Yudha sejak 15 menit lalu sudah berada di dalam sana.

"Pokoknya gue dulu ya," pekik Mas Abim dengan pelototan matanya.

Arjuna jelas tidak mau kalah, balas melotot sembari mendorong tubuh bongsor kakaknya, "Jelas-jelas gue yang duluan,"

"Buta lo? Udah jelas-jelas gue yang duluan," Mas Abim membalas dengan sengit, jika mereka berada di dalam komik, pasti simpang empat sudah muncul di kepala pemuda itu, "Gue duluan nggak mau tau,"

"Lo kan abang, ngalah dong sama adeknya,"

"Ya karena gue abang lu harus nurut sama gue,"

"Garandeng kasep," ibuk berjalan mendekat dengan sodet di tangannya, "Ada Yudhis di dalem jangan berisik! Bima bangunin Sarah sana," [berisik ganteng]

"Siap bos," balas Mas Abim tanpa membantah, bisa-bisa sodet kesayangan ibuk melayang mencium kepala tampannya jika ia tidak menurut, "Aksarah aku datang,"

Arjuna mengernyit jijik, "Ew terong-terongan,"

"Aa Ajun nggak mau bantuin ibuk masak?" tanya ibuk kemudian.

Arjuna nyengir lebar, angkat tangan, "A' Ajun ada tugas buk, belum selesai. Aa duluan ya buk," ujarnya sebelum segera melesat pergi dari hadapan ibunya. Ibuk hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku anak bujangnya satu itu.

Sedangkan di sisi lain, Abimanyu tengah melangkah dengan riang menuju kamarnya, di dalam otaknya memikirkan cara anarkis apa yang harus ia lakukan untuk membangunkan sang adik, "Di siram air udah. Gue tendang udah. Gue jambak juga udah. Enakan ngapain lagi ya," gumamnya.

Pemuda itu kemudian dengan rusuh memasuki kamar, seringaian jahil tak luput dari bibirnya, "Rah bangun Rah ada Nathalie di depan,"

Aksara bergeming, justru semakin bergelung ke dalam selimut tebal bergambar elsa kesayangannya. Mas Abim berdecak, menggoyangkan tubuh adiknya yang berada di kasur atas.

"Bangun ada Nathalie di depan. Gue bilangin nih Sarah masih tidur pake selimut elsanya,"

"Ck garandeng," Aksa berdecak tak lama kemudian, memilih segera membuka mata, "Ga percaya gue. Orang Nathalie aja lagi ke Belanda,"

"Tau gitu mending gue tarik lu aja biar jatoh sekalian," gumam yang lebih tua.

"Gendeng," dengus anak itu. [Bodoh]

"Bukk Sarah ora sopan ki lho karo mase," teriak Mas Abim. [Sarah nggak sopan ini sama kakaknya]

Aksara melotot kesal, "Berisik,"

"Gausah berantem pagi-pagi! Buruan turun ibuk udah selesai masak ini," balas ibuk dari lantai bawah.

"Dengerin tuh kata ibuk jangan teriak aja pagi-pagi," ejek Aksara, "Mau mandi ajalah gue,"

Mas Abim mengedikkan bahu tidak peduli, "Sono kalo mau mandi bareng Mas Yudhis," jawabnya sebelum melenggang pergi.

***

"Ada kelas pagi nggak le?" tanya Abah.

Kedua putranya menggangguk.

"Yudhis ada kelas jam 7 bah,"

"Abim sama kaya mas," sahut Mas Abim.

Abah mengangguk, "A' Ajun ada kelas nggak?"

Arjun berpikir beberapa saat sebelum menggeleng, "Aa ada kelas jam 11 nanti bah. Kumaha?" [kenapa]

"Adekmu itu dianterin ke sekolah ya. Abah ada acara di Cirebon. Takutnya telat kalo nanti nganterin Sarah dulu," jawab abah santai.

Aksara mencebik kesal, "Wes di jenengi Aksara apik-apik diundange Sarah," gerutunya. [Udah di kasih nama Aksara bagus bagus di panggilnya Sarah]

"Sarah Sarah Aksarah," ledek Arjuna, "Cocok sama sia kok,"

"Buk," Aksara merengek, mengadu.

Ibuk menarik napas panjang, memberikan peringatan kepada anak-anaknya untuk tidak menganggu si bungsu pagi pagi.

"Gimana? Nggak papa to kamu Rah kalau dianterin sama A' Ajun?" tanya abah memastikan.

"Aksa sih nggak papa. A' Ajunnya aja tuh katanya bocengannya cuma boleh di dudukin sama gebetannya," adu Aksa.

Arjuna melotot, segera memasang wajah paling teraniaya, "Bohong tuh. Teganya kamu dek ngefitnah Aa. Asal kamu tau ya Rah, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan,"

Aksara mendengus tidak peduli, lebih memilih melanjutkan sarapannya.

"Gebetan doang banyak jadian kaga," sulut Mas Abim.

"Ya mending dari pada situ diliatin doang di deketin kaga," Juna balas nyinyir.

Mas Abim tersenyum jahil, "Ganteng doang doyannya janda,"

"Ibukkk," rengek Juna.

"Kenyataan kan kamu kemaren minta di jodohin sama Mbak Annis janda kembang kampung sebelah,"

Sontak jawaban ibuk membuat Juna semakin mencebik, "Ibuk mah gitu ya sama anaknya. Emang kayanya A' Ajun tuh anak tiri,"

"Nah itu tau," Mas Yudhis justru mengompori.

"Makanya Jun, jangan kebanyakan nonton drama korea. Drama King kan jadinya," sahut Aksara.

"Udah diem deh kamu. Nggak Aa anterin ke sekolah tau rasa,"

"Bahh A' Ajun tuh,"

"Juna—"

"Iya bah bercanda doang," sela Arjuna. Wajahnya kini semasam belimbing wuluh yang pernah ia suapkan kepada Aksara sewaktu mereka kecil.

Ibuk menarik napas, "Ibuk sama abah mau ke Cirebon 3 hari. Ada saudara mau nikahan, anteng di rumah jangan berantem. Jangan ada yang bawa cewek masuk rumah. Buat kakak-kakak adeknya di jaga jangan di jahilin terus. Yang akur,"

Mas Abim mengangguk-angguk, memasang tampang sok bijaknya, "Ibuk tenang aja buk, bereslah pokoknya kalo sama Mas Abimanyu mah. Nggak akan ada yang bawa cewek masuk buk tenang aja, paling nanti diajakinnya ke hotel,"

Brukk

Mas Abim tersungkur karena sang kakak tanpa pikir panjang menendang kursi yang diduduki olehnya tepat setelah Abimanyu menyelesaikan kalimatnya, "Jangan dengerin dia buk. Abim biang maksiat, bisa langsung di coret aja dari KK,"

Arjuna tertawa hingga tersedak beberapa kali, sedangkan Aksara tersenyum penuh kemenangan, akhirnya kekesalannya terhadap kakaknya satu itu terbalaskan.

"Uang saku udah abah transfer ke rekeningmu ya Yud,"

"Iya bah," Yudhistira mengangguk.

Mas Abim meringis, merasakan nyeri pada bokongnya. Mas Yudhis tidak main-main saat menendang kursi yang ia duduki—bahkan hingga salah satu kaki kursi patah, "Buk kursinya patah lagi,"

"Oh, nanti biar ibuk pesenin lagi," jawab ibuk santai.

"Kok ibuk nggak marah sih. Kemaren waktu Abim matahin sodet ibuk aja Abim di lempar panci," pekik Arjuna, anak itu bersungut-sungut untuk berdiri, menatap tajam sang kakak, "Kita nggak temenan mulai sekarang ya mas,"

Mas Yudhis mengangguk tanpa pikir panjang, "Nggak sekalian kita nggak saudara lagi? Bersyukur aku kalo adek bejatku berkurang satu,"

Arjuna mencebik, karena dongkol ia memilih angkat kaki dari ruang makan, matanya memancing menatap sang kakak, "Urusan kita belum selesai ya mas. Mari kita selesaikan secara jantan,"