webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Nathalie

"Eh Sarah di sana ternyata. Wah mainnya sama cewek-cewek," seru Mas Abim dengan senyum lebarnya, "Nih duit dari Mas Yudhis," lanjutnya sembari memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada sang adik.

Aksara menerimanya dengan cepat, menghitung jumlahnya memastikan Mas Abim tidak mencuri barang satu lembar saja, "Kenapa Mas sih yang anter? Nggak Mas Yudhis aja?"

"Ye udah baik gue anterin bocil," gerutu sang kakak, "Mas Yudh ada bimbingan. Mending gue yang anter dari pada Arjuna,"

"Ya mending lutung kasarunglah dari pada Sangkuriang," jawab Aksara cepat. Dahinya mengernyit sebal, "Wes kono lungo wae," [udah sana pergi aja]

"Nggak tau diuntung lu bocah. Belum juga gue tilep duit bulanannya,"

"Ya tinggal aduin ibuk lah. Jangan kaya orang susah," ejeknya di sertai tawa sinis, "Udah sono pergi lu anak STM,"

"Nyaho kieu mah aing moal dateng," gerutu Mas Abim, matanya melotot kesal. [Tau gini mah gue gabakal dateng]

"Bodat. Udah sana lo pergi dari gue orang punya kelas," seru Aksara tidak peduli, "By the way, Xie xie mas," [bodoh] [ngomong-ngomong, makasih mas]

Mas Abim kembali mencibir namun tetap mengangguk.

"Kak Bima," seru Karin sesaat sebelum Mas Abim sempat berbalik, "Kenalin aku Karin temennya Aksa. Aku ngefans berat loh sama kakak,"

Aksara memutar bola matanya malas, "Ngefans kok sama titisan sangkuriang," desisnya.

Nathalie menoleh, menahan tawa atas ucapan pemuda itu, "Kakakmu itu Sa," balasnya.

"Bukan. Mas Abim anak pungut," jawab Aksa asal.

"Wah seriusan nih?" Mas Abim terperangah, tersenyum lebar atas ucapan gadis yang mengaku sebagai teman adiknya itu.

"Iya kak. Aku juga fansnya kakak," sahut Angel semangat, "Kita sering ke cafe komet tiap hari buat lihat kakak manggung loh,"

"Oh kalian yang sering bareng gebetannya Sar—"

"Diem nggak lo," sela Aksara dengan mata melotot.

Maaf abah, Aksara menyela ucapan orang lain, tapi sungguh Mas Abim sangat menyebalkan. Ingin rasanya ia melempari sang kakak dengan sepatu pantofel ber-hak 3 sentimeter milik Nathalie.

"Oh ada orangnya. Sorry sorry keceplosan," Mas Abim nyengir tak merasa bersalah sama sekali. Toh ia memang sengaja menjahili adiknya, "Eh udah jam setengah sebelas nih, gue balik ke kampus dulu,"

"Eh kak kita boleh minta nomer kakak nggak?" tanya Karin cepat.

Mas Abim menoleh, tersenyum singkat lalu mengangguk, "Boleh kok. Minta Sarah aja ya. Duluan," jawabnya sebelum melesat dan menghilang di balik pintu kelas.

Karina dan Angel tersenyum lebar, melambaikan tangan mereka kepada Mas Abim dengan riang sebelum berbalik menatap Aksara masih sengan senyum lebar mereka.

Pemuda itu menarik napas panjang, mengeluarkan ponselnya lalu memberikan benda itu pada Angel dan Karin, "Cuma nomornya Mas Abim ya,"

"Iya ih galak bener," dengus Karin, "Lo kan anak famous Sa, tapi kok kontak lu dikit bener cuma lima puluhan,"

"Iya nih. Mana anak kelas yang di simpen cuma nomor nya Nath sama Agam," sahut Angel.

Aksara memerah, menunduk agar Nathalie tidak menyadari perubahan raut wajahnya, "Kan udah dua tahun sekelas. Ya gue simpen lah," ia beralasan.

"Wah lo punya nomornya Kak Anesh juga?" Karin nyaris memekik jika Angel tidak terlebih dahulu mengingatkannya untuk tidak membuat keributan.

Satu-satunya pemuda diantara mereka mengangguk dengan bingung, "Kenapa emang? kak Anesh yang maksa gue nyimpen nomornya semalem,"

"Wah lo nyimpen nomornya anak Band Dung juga?" Angel melotot, "Gila ada nomornya Kak Dika, Kak Rafael sama Kak Al,"

"Iya mereka yang minta di simpen nomornya. Katanya gue mau di jadiin cadangan vokalis kalo Mas Abim lagi mode ngambek,"

Karin terperangah, "Yang bener? Tapi lo bisa main gitar nggak?"

"Bisa,"

"Itu keturunan atau gimana sih? Nggak kakaknya nggak adeknya pinter musik semua," Angel menggeleng takjub.

Aksara hanya mengehela napas malas, "Nggak tau tapi ibuk itu lulusan fakultas musik,"

"Pantesan aja. Kalo kakak kakak lo yang lain gimana? Bisa juga?" tanya Karin.

Aksara mengangguk tanpa minat, "Kalian kalo mau minta nomornya Mas Abim udah catet aja jangan pake tanya tanya ke gua dong," protesnya.

Karin dan Angel nyengir bersamaan. Sama sekali tidak merasa bersalah.

"Lo mau nomornya Kak Bima nggak Nath?"

Nathalie yang tengah fokus pada salad yang tengah ia makan lantas mendongak lalu menggeleng singkat, "Nggak usah, kalian aja,"

"Kontak Kak Bima lo namain apa Sa?" Karin mengernyit, sibuk mengotak-atik ponsel milik Aksara.

"Sangkuriang Sunda," jawab Aksara di sertai dengusan, "Buruan,"

"Iya iya ini. Gue kirim kontaknya ke nomor gue ya Sa," gadis itu berseru.

Yang diajak bicara hanya mengangguk-angguk tanpa minat.

"Itu Lutung Kasarung Jawa siapa sih?" tanya Angel bersamaan dengan telunjuknya yang mengarah pada layar ponsel Aksara, "Laknat banget nama kontaknya,"

"Kontaknya Arjuna,"

Karin menoleh, menatap pemuda itu penasaran, "Terus kontaknya Kak Yudhis lo namain apa? Laknat juga kaya yang lain?"

Yang di tatap hanya menggeleng, "Kontaknya Mas Yudhis gue namanin Mas Yudhistira Anjening Adyatma,"

"Kok beda gitu?"

"Soalnya Mas Yudhis sering ngasih gue duit bulanan,"

***

"Nath mau pulang bareng?" tawar Aksara malu-malu. Ia kini berdiri di samping bangku baris ketiga dekat pintu keluar kelas—bangku milik Nathalie.

Sedangkan yang di tawari kini sedang membereskan barang-barangnya, gadis itu menoleh lalu tersenyum, "Boleh sebentar ya aku beresin barang dulu,"

"Oke,"

"Gue duluan ya," pamit Agam merebut eksistensi Aksara.

"Hati-hati," balas anak itu.

"Siap,"

"Karin ayo balik. Gue duluan ya guys," ucap Angel, "Di jagain Nathnya ya Sa,"

"Yoi," Aksara mengangguk.

Nathalie tersenyum lebar, "Udah, ayo Sa,"

Aksara mengangguk, melangkah beriringan dengan gadis itu menuju keluar kelas, "Aku nggak bawa motor. Naik bis nggak papa kak?"

Nathalie terkekeh jenaka, "Biasanya juga aku naik bis Sa. Santai aja,"

Pemuda itu tersenyum simpul, "Iya,"

"Aduh," langkah Nathalie berhenti di depan kelas secara tiba-tiba, sontak Aksara juga ikut berhenti, menoleh untuk memastikan keadaan gadis itu.

"Kamu nggak papa Nath?" tanyanya khawatir.

"Perutku sakit," lirih Nathalie, "Arghhh," gadis itu memekik, nyaris ambruk jika Aksara tidak terlebih dahulu menahan kedua bahunya.

"Kita ke rumah sakit sekarang. Biar aku cari taksi,"

"Nggak, nggak usah. Aku nggak papa Sa," Nathalie buru-buru menggeleng. Dengan sedikit ringisan mencoba untuk kembali berdiri tegak, "Ayo pulang,"

"Nggak. Kita ke rumah sakit sekarang. Mukamu pucet gitu,"

"Nggak—argghhh,"

Wajah Aksara berubah menjadi semakin panik, segera menuntun Nathalie untuk duduk di bangku panjang di depan kelas mereka, "Biar aku cari taksi dulu, kamu diem di sini ya. Tahan sebentar,"

"Aku nggak papa," Nathalie menggeleng lemah, "Ayo kita pulang naik bis,"

"Abahku pernah bilang, berbohong itu hanya boleh di lakukan untuk kebaikan," balas pemuda itu cepat, "Udah kamu jangan banyak protes deh Nath," ujarnya sebelum berlari keluar area sekolah untuk mencari taksi.