webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Maling Sandal

"Yudhis kapan nikah Dhis? Arra aja sudah banyak yang ngelamar nih," Pakdhe Anas membuka percakapan di meja makan malam ini.

Mas Yudhis menarik napas dalam lalu tersenyum, "Mau cari pengalaman dulu Pakdhe. Masih terlalu muda buat nikah. Mungkin nanti umur tiga puluhan,"

"Apa nggak ketuaan itu le?" sahut Bulek Jenar.

"Enggak bulek. Yudhis pengen jadi orang sukses dulu ngebanggain abah ibuk baru nanti mikir nikah,"

"Kalo Abimanyu gimana?" Pakdhe Anas balas menatap Mas Abim.

Anak kedua abah dan ibuk itu nyengir lebar lalu menggeleng, "Belum kepikiran sampe ke sana hehe,"

"Tapi calonnya sudah ada?" tanya Bulek Aya penasaran.

Mas Abim tersenyum lalu mengangguk, "Sudah bulek,"

Aksara melotot lalu segera mencondongkan tubuhnya ke arah Arjuna, "Amanda bukan calonnya Mas Abim,"

"Iya. Katanya udah jadian dua hari yang lalu,"

"Kok gue nggak di kasih tau,"

"Gue aja baru tau. Kirain Mas Abim masih memuja muja bahenol ternyata udah taken aja,"

"Lo sendiri gimana Jun?"

"Lo tau sendiri gue baru putus sama Camila. Gebetan gue yang anak keperawatan juga kaya nggak ada harapan,"

Aksara tersenyum miring, "Katanya buaya tapi kok cemen banget,"

"Lo juga nggak ada bedanya ya Sarah Larasati,"

"Ya yang penting gue sekarang ada progres ya Lutung Kasarung. Emang lo bukannya di pepet malah jadian sama orang laen,"

"Jangan berantem di meja makan ya," ibuk turun tangan ketika menyadari aura permusuhan diantara Arjuna dan Aksara.

"Mas Abim udah punya pacar?" tanya Mbak Sela.

"Iya doain langgeng ya," Mas Abim tersenyum penuh kemenangan.

Aksara tertawa dalam hati ketika matanya menangkap wajah masam Mbak Sela.

Pakdhe Anas tersenyum, "Calonmu emang anak kuliahan nggak Bim? Enaknya tuh cari calon yang berpendidikan biar bisa mendidik anak kelak di masa depan,"

"Kata ibuk kalau cari istri itu yang bisa jaga sikap, dan hatinya baik pakdhe. Percuma berpendidikan kalau attitudenya nggak baik," jawab Mas Abim tenang, sudah biasa dengan Pakdhe Anas yang selalu berusaha menjodohkannya dengan Mbak Sela, "Tapi alhamdulillah Abim dapetnya yang pinter. Calon dokter,"

"Wah pinter pasti tuh," Bulek Rani tersenyum sumringah, "Cantik nggak tuh Bim? Percuma dong kalo kalah cantik sama sepupu sepupumu,"

"Nggak mungkin nggak cantik kalau pernah di rebutin Mas Abim sama A' Ajun bulek," sahut Aksara, "Mukanya mirip Amanda Manopo. Namanya juga sama sama Amanda,"

Arjuna menyeringai, mengerti maksud terselubung dalam kalimat sang adik, "Berhijab juga. Solehah anaknya bulek, makanya Juna juga sempet naksir. Terus denger denger sih dia pekerja keras, masih sempet kerja part time di cafe komet tempat Mas Abim biasa manggung,"

"Dek Abim nggak pernah salah ya milih calon," puji Mbak Alya.

"Mas Yudhis juga mbak," seru Aksara, "Pacarnya namanya Dek Mia,"

"Teh Mia Rah," Mas Yudhis mengingatkan.

"Ya itu Teh Mia. Anak kedokteran juga. Cantik, Aksa pernah di kasih fotonya sama Mas Abim. Berhijab juga. Mukanya mirip artis korea Yeri red velvet,"

"Anak kedokteran juga? Itu standar pasangan buat kalian atau gimana?" tanya Anna heboh, "Mana solehah solehah,"

"Nggak juga sih. Cuma emang kepincutnya sama yang kedokteran," jawab Mas Yudhis seadanya.

"A' Ajun udah ada calon belum A?" tanya Abah dengan senyum jahilnya.

Arjuna mendengus, "Calon pacar ada bah anak keperawatan. Tapi nggak dapet dapet," keluhnya.

Bulek Jenar tertawa, "Belum rejekinya paling Jun. Itu anak tetangga ada loh. Temenmu main dulu waktu kecil kalo mau di gebet,"

"Nggak dulu bulek,"

"Aksara gimana? Udah ada calon?"

"Udah sih pakdhe. Baru calon pacar tapi,"

Arjuna tersenyum lebar, "Calonnya Sarah cantik banget. Kaya bule mukanya padahal asli Cirebon. Mana anaknya kalem nggak kaya Sarah,"

Aksara mencebik kesal, "Jangan berani berani lu deketin Nath ya,"

"Masih gebetan belum jadian masih bisa ditikung,"

"Jangan berantem," abah menengahi sebelum pertengkaran kembali terjadi, "Di habisin makannya habis itu ikut ke surau sholat isya berjamaah,"

"Iya bah,"

***

Aksara menggumamkan tahlil bersama dengan beberapa orang di sekitarnya. Ia berada di surau dekat rumah uti sekarang, dan memang selalu diadakan tahlil ketika selesai sholat berjamaah.

Dor dor dor

"Teroris," Mas Abim berseru kaget ketika mendengar suara ledakan dari luar surau kontan membuat kedua adiknya menoleh sama kagetnya, "Teroris woy teroris,"

"Teroris? Hah ayo di cek," panik Arjuna.

Aksara mau tak mau ikut panik. Ia menatap sekitar, beberapa orang di sekitarnya masih khusyuk melafalkan tahlil tanpa terganggu dengan suara ledakan di luar sana yang kian menjadi. Juga tidak terusik karena pekikan kaget kakak-kakaknya.

Mas Abim beranjak, berlari keluar surau untuk memastikan, Arjuna dan Aksara mengikuti di belakang. Sedangkan Mas Yudha sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

Aksara mengernyit. Aneh, tidak ada apapun di halaman surau kecuali beberapa anak laki-laki yang bermain di sana.

"Mana terorisnya mas?" tanya Arjuna yang masih celingak-celinguk.

Aksara mengangguk penasaran.

Dor dor dor

Ketiganya berjengit kaget, sontak menatap kearah sumber suara. Rupanya anak anak di sana tengah bermain petasan di halaman surau.

Arjuna mengusap dadanya, menatap kesal sang kakak, "Cuma petasan mas,"

"Yaudah pulang aja lah. Keburu malu kalo masuk lagi,"

Aksara mengiyakan ucapan kakak keduanya, matanya menelisik mencari di mana agaknya sendal jepit swallow pink kesayangannya, "Kok sendal gue nggak ada,"

"Punya gue juga," jawab Arjuna, "Sendal lo masih ada nggak mas?"

Mas Abim tidak menjawab, pemuda itu justru jatuh hingga kini duduk bersimpuh dengan kedua tangan mengusap kasar wajahnya, "Demi kolor elsa punya Sarah, sendal adidas kesayangan gue ilang,"

"Lo ke surau ngapain pake sendal adidas sih," Arjuna tidak habis pikir, "Untung aja gue pake sendal selop punya Bulek Aya tadi,"

"Lah gue. Sendal swallow pink gue ilang," Arjuna memandang kosong pemandangan di hadapannya, benar-benar merasa hampa karena kehilangan benda berharganya, "Padahal itu sendalnya Nathalie yang ngasih waktu kaki gue lecet gara gara ngebasket,"

"Sendal berharga ternyata," gumam si mahasiswa kedokteran, "Mau gimana ini? Yakali kita pulang nyeker,"

"Ya dari pada nggak pulang,"

"Nanti kalo kakinya nginjek tai ayam piye mas?" Aksara memberengut, dahinya mengernyit jijik. [gimana mas]

"Ya tinggal cuci kaki lah. Udah mas bilang hidup tuh jangan di bawa ribet,"

"Ya tapi Mas Abim aja doyannya mempersulit hidup," Arjuna mendengus, "Kita colong sandal aja gimana,"

"Ternyata anak abah sama ibuk yang otaknya kriminal bukan cuma Mas Abim tapi Juna juga iya,"

"Ya mau gimana lagi. Seseorang berlaku kejahatan itu juga karena terdesak. Coba tuh maling duit. Terdesak kebutuhan hidup pasti dia,"

Yang paling tua diantara ketiganya hanya mendengus kencang, "Mending lu mikir cara kita balik tanpa harus nyeker sama nyuri sendal dari pada ngajarin kita ilmu permalingan yang selama ini lo pelajari ya Jun,"