webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Jatuh Tertimpa Tangga

"Pesanan atas nama Sarah Adyatma,"

"Sekali lagi pesanan atas nama Sarah Adyatma,"

Aksara menatap Juna dengan tatapan datarnya, benar-benar merasa dongkol, "Besok di lapangan kampung jam 8 jangan lupa,"

Arjuna meringis mendengar ucapan adik bungsunya, bergegas membentuk huruf V dengan kedua jarinya.

"Pesanan atas nama Sarah—"

"Disni mbak," Aksara segera berseru.

"Oh hai Juna," pelayan cafe yang mengantarkan pesanan mereka menyapa.

Arjuna menoleh lalu tersenyum simpul, "Hai Anesh,"

"Kak Yudh," perempuan yang di panggil Anesh itu kini menyapa Mas Yudha.

Yang di sapa mengangguk kecil sembari tersenyum, "Belum selesai siftnya Nesh?"

"Bentar lagi selesai kok," balas Anesh lalu menoleh menatap Aksara, "Siapa nih ganteng. Tapi kok kaya kenal ya,"

Arjuna tersenyum bangga sembari merangkul bahu adiknya, "Kenalin Sarah, adek gue. Rah, ini Anesh—temen sefakultas gue,"

"Aksara bukan Sarah," koreksi sang empunya.

"Oh hai Aksara, kenalin gue Anesh. Lo yang sering muncul di snapnya Kak Yudhis, Kak Bima, sama si Juna kan?" tanyanya.

"Iya hehe,"

"Kasian ganteng-ganteng gini aibnya di sebarin mulu,"

Arjuna mendengus, "Udah sono lu pergi dah. Kerja jangan ngegosip mulu,"

"Sirik aja. Nggak ada toleransi sama temen sendiri. Mumpung ketemu cogan ini gue," dengus Anesh namun tetap berlalu menuju dapur cafe.

"Ini lagu terakhir ya. Kalo barusan lagu kesukaan Juna, sekarang lagu kesukaannya Sarah nih,"

Aksara menoleh ke depan, menatap Mas Abim yang juga tengah menatapnya dengan senyum menyebalkan. Si bungsu menatap sengit kakaknya itu sebelum berkata tanpa suara, "Aduin ibuk nih," namun Mas Abim tidak menggubrisnya. Lebih memilih mulai kembali memetik senar gitarnya.

Perlahan suara merdu sang kakak mengalun dengan indah mengikuti iringan dari teman-temannya di belakang sana. Lagu milik Rossa. Terlalu cinta.Terkesan bucin memang tapi begitulah, Aksara sangat menyukai lagu ini.

Aksara memejamkan matanya, terhanyut dalam melodi yang mengalun indah dalam lagu favoritnya ini. Anak itu tidak bisa untuk tidak bersenandung kecil karenanya.

Menurutnya, mendengarkan lagu itu tidak hanya sekedar meresapi musik yang mengalun—tapi juga menyerap makna tersirat dalam lagu yang sedang ia dengar.

Aksara Dhilan Adyatma, usianya tujuh belas dan tidak pernah ingin melakukan sesuatu yang menurutnya sia-sia. Ia hanya ingin, melakukan kegiatan yang menurutnya mempunyai manfaat dan memberikan pelajaran untuknya, tidak hanya terbengong-bengong di kamar dengan laptop menyala menampilkan makalah setengah jadi yang tak kunjung di selesaikan—kebiasaan buruk Arjuna.

Bahu Aksa di tepuk membuat sang empunya membuka mata lalu reflek menoleh, "Nath?"

Sosok itu—Nathalie—tersenyum lalu menyodorkan sebuah paper bag kepada Aksara, "Buku catetanmu tadi kebawa pulang,"

Anak itu mengangguk kikuk, matanya tidak lepas dari sosok teman sekolahnya yang cantik itu, "O—oh iya,"

"Makasih ya," ujarnya tulus, senyumnya manis sekali bahkan Aksa di buat melongo seperti orang bodoh karenanya.

"Sama-sama," untung saja pemuda itu masih ingat caranya berbicara dengan lancar.

"Kalo gitu aku duluan ya," pamit Nathalie sembari melambaikan tangannya dengan riang. Senyumnya masih mengembang lebar hingga kedua mata bulatnya menyipit membentuk lengkungan manis.

Arjuna berdehem, menyenggol tubuh adiknya berniat untuk menggoda. Namun Aksa bergeming, masih terhanyut dalam sosok bidadari cantik yang menjelma menjadi teman sekelasnya.

Mas Yudhis di buat geleng-geleng kepala karena tingkah memalukan adik bungsunya itu, "Udah jangan di lihatin terus anaknya. Salah tingkah lho itu anak orang Rah,"

Aksara mengerjab, dengan kikuk ia segera meminum Americano pesanannya. Wajahnya memerah mengundang tawa Arjuna.

"Hahaha gitu doang. Makanya lain kali jangan malu-maluin,"

Aksara mendengus, mendorong tubuh sang kakak tanpa ampun hingga mahasiswa itu jatuh tersungkur dari kursinya berhasil mengundang perhatian orang-orang di sekitar mereka.

Di depan sana, Mas Abim yang baru menyelesaikan lagu terakhirnya tidak bisa untuk tidak tertawa, "Pffttt,"

Beberapa orang menoleh bingung namun mahasiswa hukum itu tidak peduli. Ia bergegas menuruni panggung—tanpa menanggalkan gitar coklat kesayangannya—untuk mendekati Arjuna yang bahkan tidak beranjak dari posisinya saat jatuh—anak itu hanya meringis sambil menggerutu kesal. Matanya memejam erat, jadi terlihat sedang merapal mantra.

Mas Yudhis melengos tidak peduli. Arjuna memang bebal, sudah di nasehati untuk tidak menganggu Aksara namun tetap ngeyel, dan begitulah. Karma dari tuhan itu selalu datang. Aksara juga demikian, anak bungsu itu justru lebih memilih menghabiskan minumannya di bandingkan melirik sang kakak yang tersungkur dengan tidak elitnya.

Mas Abim sedikit menunduk, di sela tawanya segera mengulurkan tangan untuk membantu adiknya berdiri.

Arjuna bergeming, matanya masih memejam erat dan bibirnya masih komat-kamit menyumpah serapahi sang adik, "Berdiri Jun," Arjuna tetap dalam posisinya, dengan mata tertutup anak itu mengulurkan tangannya.

Mas Abim berdecak, segera menarik lengan sang adik tanpa banyak bicara.

Namun agaknya anak kedua ibuk dan abah itu lupa mengenai gitar yang masih di bawanya mengakibatkan kepala sang adik secara lancar tanpa hambatan bertubrukan dengan badan molek bahenol.

Dan dalam sepersekian detik, pemuda itu kembali tersungkur. Tergolek tak berdaya seperti ayam kampung yang baru di potong—di lantai cafe.

Mas Abim juga mengerjab, mencerna apa yang telah terjadi

Di sisi lain, Aksara justru tertawa puas, mengejek Arjuna yang memilih berguling-guling di lantai sambil memegangi dahinya yang terluka.

"Mas Abim ikhlas bantuin gue nggak sih shh? Masih dendam lu soal Amanda? Harusnya lu dendamnya ke Mas Yudhis jangan ke gua shh," erang Arjuna.

"Berisik. Gue lupa kalo masih bawa gitar," jawab Mas Abim, "Beridiri buruan, jangan lebay. Gitu doang elah,"

Arjuna berhenti, pemuda itu segera berdiri lalu melotot, menatap nyalang sang kakak, "Gue gagar otak gara-gara lo ya mas! Tanggung jawab! Gue harus oprasi biar otak gue balik ke semula,"

Mas Yudhis menarik napas panjang, jika tau akhirnya akan begini lebih baik ia diam saja di rumah sambil merevisi skripsinya dari pada menatapi Arjuna yang sedang mempermalukan diri sendiri dan saudara-saudaranya, "Udah Jun. Nggak sengaja juga itu si Abim. Niatnya kan udah bagus mau bantuin lo,"

"Tapi sakit ini lho mas," gerutunya sembari mengusap dahinya yang terluka, "Gimana kalo gue beneran gagar otak?"

"Lebay," Aksara justru mencibir.

Arjuna melotot kesal, "Loro iki lho. Nyaho teu sia?" [sakit ini tuh] [tau nggak lo]

"Kalo ngomong tuh nggak usah di campur-campur emang lo kata gue google translate berjalan?" seru Mas Yudhis, Mas Abim, dan Aksa bersamaan sontak berhasil menyumpal mulut Arjuna yang hendak mengomel dengan tiga bahasa yang di kuasainya.

Arjuna mencebik, menatap saudara-saudarnya dengan pandangan paling teraniaya, "Tega kalian,"

"Emang gue keliatan peduli?" Aksara tertawa, "Nyaho sia. Salah siapa ngatain gue tadi. Kena karma kan," [tau rasa lo]