webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Bagaimana

Kata orang, hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang diatas, dan kadang di bawah. Bahkan nyaris semua orang tau itu, tapi hanya sebagian dari mereka yang memahaminya.

Aksara paham betul pepatah itu.

Dulu pernah, saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Abah menjadi korban PHK dan sempat menganggur selama enam bulan. Saat itu pula mereka jatuh ke titik ke rendah di dalam hidup. Mas Abim sakit usus buntu sedangkan abah kehilangan pekerjaan. Anak itu ingat betul bagaimana ekspresi ibuk yang menahan tangis namun tetap tersenyum sembari menenangkannya.

Usia Aksara masih sepuluh, belum paham betul bagaimana pait manis kehidupan. Masih begitu naif dan polos.

Ingatan itu datang tanpa bisa di cegah, air mata Aksara datang menggenang tanpa sang empunya sadar. Mereka berada di depan rumah uti sekarang. Rumah besar yang terbuat dari kayu jati itu berdiri kokoh. Terlalu besar untuk hanya di huni 4 orang, uti, Pakdhe Anis, Mbak Arra—putri Pakdhe Anis, dan Mbak Sela—adik Mbak Arra.

Ah dua hari tidak melihat, Aksara jadi rindu ibuk. Tanpa banyak bicara anak itu memasuki rumah, menggumamkan salam lalu celingak celinguk mencari agaknya sosok sang ibu.

"Eh Sarah wes tekan," sapa Mbak Arra riang. [eh sarah udah sampai]

"Ibuk endi mbak?" [ibuk mana mbak]

"Nang ruang tamu," [di ruang tamu] 

Aksara mengangguk kecil, berterima kasih pada sepupunya itu sebelum melesat menuju ruang tamu rumah uti, "Ibuk," serunya. Ibuk benar berada di sana, sendirian. Dapat Aksa lihat beliau tengah merajut entah apa.

"Wah kasepna ibuk udah sampe," [gantengnya]

Si bungsu itu mengangguk, tanpa aba-aba menerjang tubuh ibuk dengan pelukan, "Kangen," gumamnya. Tidak peduli jika nanti julukan titisan Sangkuriang akan berpindah padanya.

"Baru ditinggal tiga hari udah kangen," ibuk terkekeh, "Nggak di nakali to sama mas?"

Aksara mencebik, masih dendam akan masalah rok span, "Kemaren Aksa di pakein rok span punya ibuk sama mas,"

"Kalah main karambol pasti,"

Anak itu mengangguk lucu, bibirnya masih mengerucut lucu, "Abah mana buk?"

"Abah masih ke sawah," jawab Ibuk, "Mas mana?"

"Tadi di depan. Aksa tinggal masuk. Kelamaan sih,"

"Wah sopo iki?" sebuah suara bass mengagetkan ibu dan anak itu.

"Pakdhe," Aksara tersenyum sopan pada kakak abah itu, "Pripun kabare?" [gimana kabarnya]

"Nggak usah sok sopan gitu. Pakdhe tau kamu nggak lancar jawanya," jawab Pakdhe Anas, "Aksara to iki?" [aksara kan ini?]

"Iya pakdhe,"

"Kok udah gede gini. Masih inget pakdhe dulu kamu nangis gara-gara kalah main gundu sama Arra,"

Aksara meringis, tidak terlalu mengingat.

"Salam dulu sana sama yang lain. Habis itu makan," ibuk berdiri, merangkul bahu putra bungsunya, "Capek to?"

"Iya capek. Tapi kayanya Mas Yudhis sama Juna paling capek. Mabok tadi mereka,"

"Kok bisa?"

"Mas Abim tadi bawa mobilnya ugal-ugalan. Yaudah muntah mereka tadi di pinggir jalan,"

"Kasian. Yaudah ibuk nemuin Masmu dulu. Kamu salam dulu sama yang lain ya,"

Aksara mengangguk tanpa minat, segera berpamitan sebelum melenggang pergi menuju ruang tengah. Sedikit malas karena demi Arjuna yang sering menggerayangi tubuhnya ketika mereka tidur bersama, saudara abah itu ada 5. Anak pertama Pakdhe Anis, anak kedua Abah, anak ketiga Om Bisma, anak keempat Bulek Jenar, anak kelima Bulek Aya, dan anak terakhir Bulek Rani. Belum lagi sepupu Aksara yang jumlahnya bisa sampai puluhan dan sebagian besar masih balita. Membayangkannya saja sudah membuat kepala Aksara pusing tujuh keliling.

"Wah siapa tuh," Bulek Jenar berseru ketika menyadari Aksara memasuki ruangan, "Orang kota nih udah sampe. Sendirian aja le?"

"Engga bulek. Sama mas juga,"

"Sopo buk?" [siapa buk?]

"Iki lho anake Pakdhe Gumilang, Aksara," jawab Bulek Jenar, "Sa ini anak perawannya bulek namanya Shina. Udah lama nggak ketemu to," [Ini loh anaknya Pakdhe Gumilang, Aksara]

Aksara mengangguk-angguk, "Shina yang katanya sekolah di Jakarta itu bulek?"

"Iya nih,"

"Wah Mas Aksa," salah satu sepupu Aksara menyapa, namanya Riri, anak pertama Om Bisma, seusia dengannya.

Aksara tersenyum, "Riri,"

"Gimana kabarnya Mas?"

"Daman neng," [baik neng]

Riri tersenyum miring, melangkah mendekati Aksara sebelum berbisik, "Lo datengnya lama banget sih. Udah capek ini gue ngurusin delapan bocil,"

"Kok banyak bener?"

"Adek gue satu, Bulek Jenar dua, Bulek Aya dua, Bulek Rani tiga,"

"Mbak Arra nggak bantuin?"

"Dih boro boro. Mbak Arra mah kerjaannya di dalem kamar skincare-an doang," jawab Riri.

Aksara menggeleng maklum, "Yaudah lu tegur aja sih,"

"Mana gue berani. Lu tau sendiri Mbak Arra berkuasa banget. Tapi karena lu cucu kesayangan uti jadi sekarang lu yang berkuasa,"

Aksara tersenyum miring, "Masih belum ada cucu cowok selain gue sama mas?"

"Belum, itu anaknya Bulek Rani tiga cewek semua Bulek Aya juga sama. Bulek Jenar juga anaknya empat cewek semua,"

"Bisa bisanya gitu cewek semua,"

"Hayoloh bukannya salam salaman malah ngegosip," tegur Mas Abim, "Emang dasarnya Sarah sama Riri itu jangan di satuin,"

"Berisik sangkuriang. Udah sono jauh jauh," si bungsu mencebik, "Oh iya si Anna mana? Kok nggak keliatan?" tanyanya sembari celingak celinguk mencari satu lagi sepupu yang seusia dengannya itu. Anna, anak sulung Bulek Aya.

"Si Anna lagi di babuin sama Mbak Arra. Kayanya sih suruh ngutekin kukunya gitu," jawab Riri dengan wajah masamnya, julid.

Aksara membentuk bibirnya menjadi huruf O lalu menunduk untuk berbisik di telinga sepupunya, "Kalo si Shina Shina itu gimana? Seumuran juga kan sama kita?"

"Shina beda sama kakaknya Mbak Alya. Mbak Alya baik tuh suka beliin jajan. Nah si Shina persis sama Mbak Arra. Sok berkuasa banget mentang mentang dia sekolah di Jakarta,"

"Kalo Mbak Sela gimana? Sama kaya Mbak Arra?"

"Beuh sama persis. Udah kaya ratu banget dia mah,"

"Adek adek makan dulu julidnya di lanjut nanti lagi," Mas Abim menatap kedua anak itu malas, "Aduin ibuk nih,"

"Dih ngaduan. Eh Mas, Mbak Sela mana? Yakin nggak kangen?"

Riri tertawa renyah, "Iya loh Mas. Mbak Sela dari kemaren nanyain Mas Abim mulu. Kangen katanya,"

Mas Abim bergidik, mengingat tinkah sepupunya satu itu yang lebih mirip belatung nangka di bandingkan manusia, "Pokoknya jangan sampe gue ketemu sama itu satu ulet keket,"

"Loh cocok padahal Mas Abim sama Mbak Sela," Riri semakin mengompori.

"Nggak. Sama Arjuna aja yang seumuran,"

"Gue kok pusing Ri, Pakdhe Anas anaknya sama istri pertama Mbak Arra, terus sama istri kedua Mbak Sela. Sama istri ketiga nggak tau kan. Om Bisma anaknya lo, sama adek lo Reva. Bulek Jenar anaknya empat Mbak Alya seumuran sama Mas Abim, si Shina Shina itu terus adeknya dua lagi gatau gue namanya. Kalo Bulek Aya anaknya tiga, Anna, Annis, sama Anne. Terakhir bulek Rani anaknya tiga, Mela, Manda, sama Maudi. Bener?"

Gadis itu mengangguk, "Adeknya Mbak Alya sama Dek Shina namanya Raisa sama Vela,"

"Gue pusing. Ayo buruan makan," Mas Abim mendengus, "Malah ngabsenin anak orang,"