webnovel

Mimpi Buruk?

Arielle menanti di atas ranjang milik Ronan dengan pikiran gamang. Pria itu telah meninggalkannya sendirian setelah mengatakan bahwa Arielle membutuhkan istirahat karena tubuhnya mulai kedinginan.

Semua perhatian yang diberikan oleh pria itu membuat Arielle kewalahan. Kadang Arielle sampai berpikir, apa yang sudah ia lakukan sampai harus mendapatkan semua ini?

Ia terlalu terbiasa melakukannya segala sesuatunya seorang diri di Nieverdell, kalaupun ia membutuhkan bantuan, paling hanya ada Tania atau beberapa teman pelayannya. Wajah Arielle kembali terasa panas ketika mengingat betapa canggungnya dirinya setiap disentuh oleh pria itu.

Satu hal yang Arielle yakin, ciuman itu dan semua sentuhan yang Ronan lakukan kepadanya bukan sebuah tindakan yang biasa dilakukan oleh seorang teman. Arielle sering melihat Tania memeluk kerabat laki-lakinya atau teman pelukisnya dulu. Namun semua pelukan mereka terlihat sederhana dan tidak mengandung makna apa-apa.

Sedangkan pelukan Ronan…

Sang raja kembali dengan membawakan sebuah troli makanan.

"Kita akan berangkat esok pagi. Maaf, perjalanan kita harus diundur karena ada keperluan yang lebih penting. Karena besok perjalanan kita membutuhkan waktu dua hari, Aku tidak ingin kau sakit. jadi hari ini aku meminta Chef Michael membuatkan makanan hangat untukmu."

Arielle menyingkirkan selimut hitam itu dan menggeser tubuhnya untuk duduk di pinggir ranjang. Saat ia ingin berdiri, Ronan menahan pundaknya untuk kembali duduk.

Pria itu memasangkan sebuah meja lipat yang terbuat dari kayu kemudian meletakkan piring makanan di atasnya. Ia juga membawakan segelas susu hangat untuk Arielle.

"Yang Mulia… Anda tak perlu melakukan semua ini," ujar Arielle. Gadis itu memperhatikan semua makanan di depannya dengan perasaan tak enak.

"Kenapa? Kau tak suka makanannya?"

"Bukan begitu, hanya saja… aku bisa menyiapkan ini semua seorang diri dan Anda pasti memiliki pekerjaan yang lebih penting, bukan?"

Ronan melepas topengnya yang sempat ia gunakan kembali saat meninggalkan kamarnya tadi. Pria itu mengacak rambutnya hingga beberapa bagian rambutnya jatuh menutupi keningnya. Arielle terpana karena ini adalah pertama kalinya ia melihat Ronan terlihat kasual. Biasanya pria itu selalu memiliki model rambut yang tertata rapi.

"Aku melakukan ini karena kau temanku," jawab Ronan menjentikkan telunjuknya pelan pada hidung Arielle merasa gemas.

Arielle ragu untuk meraih sendoknya. Ia melirik ke arah Ronan yang mengangkat alisnya memberikan isyarat Arielle agar segera mencicipi sup labu di depannya. Aroma sup itu begitu manis membuat perut Arielle berbunyi.

"Makanlah, kau butuh tenaga lebih untuk perjalanan nanti," ujar Ronan menahan tawa melihat betapa merahnya wajah Arielle. Ia mengacak pelan puncak kepala Arielle.

Ruangan begitu hening, hanya terdengar bunyi api meretih membakar kayu dan sesekali denting nyaring saat Arielle tak sengaja menyendok sop lebih dalam hingga sendoknya bertemu mangkok. Gadis itu sama sekali tidak mengangkat wajahnya karena ia begitu gugup diperhatikan demikian lekat oleh sang raja.

Sebelumnya Arielle dan Ronan telah berkali-kali berbagi tatapan panjang, hanya saja sejak hari dimana ciuman itu terjadi, ditambah dua hari tidak bertemu, menjadikan Arielle sangat canggung berada di sekitar pria itu. Apalagi saat mereka bertemu tadi, Ronan kembali menciumnya begitu tiba-tiba seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang biasa.

Ronan juga bersikap begitu kasual. Atau mungkin apakah Arielle terlalu memikirkan hal ini terlalu berlebihan?

"Anda tidak makan, juga?" tanya Arielle setelah menelan potongan labu kecil yang begitu manis.

"Melihatmu saja sudah sangat cukup bagiku."

"Jangan begitu. Apakah Anda ingin aku menyiapkan makan siang untuk Anda, Yang Mulia."

"Tidak, terima kasih. Aku butuh mengistirahatkan perutku setelah perjalanan panjang."

Perjalanan panjang? Tanya Arielle dalam hati.

Ah, Arielle baru teringat jika Ronan telah pergi meninggalkan istana selama dua hari ini. Arielle meletakkan sendoknya. Ia sudah merasa cukup walaupun di mangkoknya masih tersisa setengah porsi lagi. Gadis itu meraih gelas susu hangat dan minum secukupnya.

"Sudah?"

"Aku sarapan cukup banyak tadi," jawab Arielle yang merasa kenyang. Sejujurnya ia belum terlalu kenyang. Hanya saja makan sambil diperhatikan membuat Arielle merasa tak nyaman dan hal itu menghilangkan nafsu makannya.

"Masih ada waktu beberapa jam lagi. Istirahatlah dan hangatkan dirimu."

Arielle meraih kemeja pria itu.

"Yang Mulia, aku bisa istirahat di ruanganku sendiri."

Ronan hanya terkekeh kemudian menyingkirkan meja makan dari pangkuan Arielle. Pria itu ikut merangkak naik ke atas ranjang dan berbaring di sampingnya. Arielle memegangi dadanya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Pria itu melingkarkan tangannya pada tubuh Arielle dan menarik gadis itu perlahan untuk ikut berbaring.

"Aku cukup kelelahan dua hari ini. Aku butuh bantuanmu sebagai seorang teman, izinkan aku memelukmu malam ini."

Arielle tidak yakin harus membalas bagaimana. Matanya mengerjap saat Ronan mengistirahatkan kepalanya di pundaknya. Tak butuh waktu lama bagi Ronan untuk terlelap tidur. Arielle yang sedari merasakan tubuhnya tegang, perlahan bisa mengendurkan ketegangannya. Ia melirik ke arah kanannya melihat kedua mata itu menutup dengan damai.

"Apakah ia selelah itu?" gumam Arielle merasa kasihan.

Mungkin hari ini Arielle bersikap berlebihan dengan terlalu canggung. Pria itu sendiri bahkan terlihat tidak terpengaruh apa-apa oleh cuman itu. Arielle memegangi bibirnya merasa sedih.

(Eh, kenapa aku harus merasa kecewa?)

Arielle menggeleng cepat menghapuskan pertanyaan konyol yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia sekali lagi mencoba meneguhkan pendiriannya. Ronan menganggapnya sebagai teman dan Arielle juga tak boleh canggung kepada sesama teman. Itu hanya akan membuat pria itu merasa sedih. Ia akan beranggapan Arielle tidak benar-benar serius ingin menjadi temannya.

Apa pun yang dikerjakan Ronan pasti berhubungan dengan urusan kerajaan. Pria itu tidur tanpa menggunakan bantal, hanya mendekatkan wajahnya pada lengan Arielle. Arielle seolah melihat sosok seorang anak kecil di wajah damai sang raja ketika tertidur.

Merasa kasihan, Arielle mengangkat kepala pria itu untuk diberi bantal. Namun, belum sempat Arielle Mengambil bantal dari atas kepalanya, Ronan merangsek lebih dekat dan mengistirahatkan kepalanya pada langan Arielle yang terulur. Wajah keduanya menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Tubuh Arielle membeku sesaat.

Ronan kembali tidur dengan damai, tetapi itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba kedua alisnya berkerut dan bibirnya mengerucut. Arielle mencoba meluruskan kerutan di kening pria itu membuat Ronan menggeliat kecil dalam tidurnya.

"Mom…." gumam Ronan pelan.

"Hm? Mom?"

"Ma… jangan… aku berjanji jadi anak yang baik…"

Arielle begitu terkejut melihat bulir air mata turun dari mata yang terpejam di depannya. Ia ragu membangunkan pria itu. Ronan mungkin akan merasa malu jika Arielle membangunkannya karena menangis. Arielle tak ingin membuat kondisinya saat ini menjadi lebih canggung lagi.

Arielle memutuskan untuk membiarkannya. Perlahan ia menghapus satu bulir air mata tersebut.

"Ma…" panggil Ronan begitu halus.

Mengigau? Mimpi buruk?

Arielle teringat bahwa luka di wajah sang raja dibuat oleh ibunya. Yang artinya ada kemungkinan pria itu tengah mengalami mimpi buruk.

Apa yang harus dilakukan saat seorang mengalami mimpi buruk? Arielle mencoba menempatkan dirinya pada posisi Ronan. Jika Arielle mengalami mimpi buruk, maka ia akan berlari ke kamar Tania dan meminta Tania memeluknya erat lalu menyanyikannya lagu pengantar tidur. Tania juga akan memberikan kecupan di keningnya. Kata Tania hal itu bisa menghapus ingatan Arielle akan mimpi buruk yang baru ia lalui.

Arielle perlahan merapikan rambut hitam yang menutupi kening pria itu kemudian mengecupnya pelan.

"Sst… semuanya akan baik-baik saja," ujar Arielle lembut sambil mengusap segala kerutan yang tersisa di kening pria itu.

Arielle pun tak canggung memeluk tubuh Ronan, dan merapatkan wajah pria itu pada dadanya. Tanpa sadar Ronan mengeratkan pelukannya dan Arielle sama sekali tak protes.

Bibirnya mendengungkan sebuah nada lagu pengantar tidur yang selalu Tania nyanyikan untuknya. Sesekali ia menyisir lembut rambut pria itu dengan jemarinya.

Next chapter