webnovel

Seperti Pangeran

"Al, Al, sini Al," Dewi meraih lengan sahabatnya yang tengah mencuci baju di dalam bilik bambu belakang rumah, menyeretnya keluar.

"Aduh, ada apa sih? Aku sedang mencuci nih!"

"Tinggalin dulu cuciannya, kau tahu tidak. Rombongan mahasiswa yang mau KKN ke kampung kita sudah datang!" Dewi Antusias sekali, memang sejak tahu akan ada anak-anak kota yang mau KKN di desa mereka, Dewi sumringah sekali. Dia kan tidak pernah pergi ke kota, sama seperti Alya. Kalau nonton sinetron di televisi kan banyak cowo gantengnya, jadi Dewi berfikir cowo-cowo kota pasti ganteng-ganteng seperti di televisi.

"Terus ... kalau mereka sudah datang mau apa?"

"Kok mau apa?" bibirnya manyun, "Ya kita kenalan, siapa tahu mereka butuh bantuan kita!"

"Kan sudah ada Pak Lurah sama Pak RT," jawab Alya ogah-ogahan. Dia selalu ingat pesan ibunya, 'Jangan pernah percaya pada lelaki kota yang tampan dan kaya. Mereka hanya akan membuatmu sengsara!'

"Ah, kau ini ya ... selalu begitu. Pantesan sampai sekarang tidak punya pacar. Si Dedi anak Pak Lurah saja kau tolak. Kurang apaaaa dia coba!"

"Ya kan aku tidak cinta, makanya aku tolak!" itu juga salah satu alasan yang sebenarnya. Alya belum pernah jatuh cinta. Boro-boro memikirkan cinta, dia kan harus membantu ibunya menjadi tukang cuci baju para tetangga.

"Ayo, jadi ikut tidak?" desak Dewi,

"Ehmm ...,"

"Kau ini banyak berfikir, ayo!" Dewi menariknya,

"Eh, cuci tangan dulu!" tahan Alya, Dewi melepas tangannya agar Alya bisa cuci tangan ke dalam bilik mandi sejenak.

"Ayo," ajak Alya setelah selesai mencuci tangannya.

Mereka pun berjalan cepat menuju kantor Lurah karena rombongan mahasiswa itu akan langsung ke sana dulu.

***

Gara terlelap dengan damai di jok depan. Sebenarnya ia malas sekali untuk acara seperti ini. Di sisinya, Argan menyetir dengan kesal.

"Dasar Boss ya, ngorok terus!" cibirnya,

Suara tawa menggema dari jok belakang, "Kan tadi lo yang nawarin pingin bawa mobil," celetuk Farel yang asyik digelayuti Serra.

"Brengsek lo ah," kesal Argan,

Rombongan mereka ada 4 mobil yang segera menuju kantor lurah.

Argan membuntuti mobil Razaq selaku sebagai pemimpin.

"Mana gue tahu desanya sejauh ini," cicitnya hampir tak terdengar,

Karena jalanan masuk desa lumayan tak rata, goncangan membuat Gara terjaga. Dia menggeliat lalu membenarkan posisi duduk.

"Sudah sampai?" tanyanya entah pada siapa!

"Enak ya lo, ngorok! Gue nih yang pegel nyupir!" sembur Argan,

"Ya entar gue ganti tenaga lo, bawel banget sih?"

Ia melempar pandangan keluar, pemandangannya lumayan juga! Saat mobil memasuki kantor Lurah. Ada beberapa orang berkerumun di sana.

"Ngapain tuh orang-orang?" desis Serra,

"Namanya juga orang kampung, ya pasti norak. Tidak pernah kedatangan anak-anak kece macem kita kali!" sahut Farel,

"Ih," Serra menyikut sisi perut Farel, "Awas ya kalau nanti tebar pesona!" belum apa-apa sudah mengancam. Itu karena Serra tahu sifat Farel yang masih jelalatan.

Dewi nampak girang, "Al, itu mereka. Wah ... mobilnya kinclong-kinclong ya! Pasti orangnya juga!"

"Buat apa muka kinclong kalau hatinya buthek!" celetuk Alya,

"Kau ini, jangan terlalu anti sama laki-laki ganteng. Entar tidak dapat jodoh lo!"

"Biarin!"

"Memangnya kau mau nikah sama si Yanto yang jelek itu, dia kan juga getol sekali mengejarmu!"

"Yanto, dia memang jelek. Tapi bapaknya juragan. Tidak berniat aku!"

"Kau ini aneh ya, diberi yang ganteng ... ditolak, diberi yang kaya ... apalagi!" heran Dewi, "Yang jelek plus kere gitu?"

"Kalau bisa membuat bahagia kenapa tidak!" jawabnya sekenanya,

"Hem ... tak sumpahin ya kau jatuh cinta pada salah satu dari rombongan KKN itu!"

"Sumpahmu Wi, tak bakalan mempan!"

"Eh, lihat!" tunjuk Dewi di antara para gadis desa lainnya. Ya mereka memang norak. Para warga di desa itu kebanyakan hanya lulusan SMA, SMK, atau SMEA. Kalau ada yang kuliah sampai ke kota seperti anak Pak Lurah Imron, si Dedi ... ya karena bapaknya kaya. Juga ada beberapa anak lain yang kuliah. Tapi masih bisa diitung dengan jari.

Kebanyakan orang di desa itu bertani, berkebun dan beternak. Jadi mereka tak terlalu memprioritaskan pendidikkan tinggi. Ibu Alya, Ningsih juga mencari uang tambahan dengan membantu berkebun atau bertani tetangga. Padahal, juga mau dinikahi oleh juragan Karto. Tapi bersikeras menolak menjadi istri ke-4.

Rombongan para mahasiswa itu turun dari mobil, mereka disambut histeris dari pada gadis, para pemuda desa juga terkesima oleh mahasiswi yang ada. Mereka kinclong-kinclong. Kelompok Razaq memang kebanyakan dari kalangan orang kaya. Gara saja, papanya pemilik PT. Adiguna, salah satu perusahaan yang tengah maju di kota.

Pak Imron selaku Lurah menyambut mereka dengan ramah.

Mata Alya terpaku pada salah satu pemuda yang menurutnya paling tampan dari yang lainnya.

Wajah Dewi malah seperti orang yang tengah ngiler makanan kesukaannya tapi tak bisa mendapatkan.

"Mereka seperti Pangeran!" celetuknya lebay.

Gara menyapukan pandangan ke kerumunan orang-orang itu hingga matanya bertemu dengan milik Alya. Ekspresi gadis itu berbeda dari yang lainnya. Justru terkesan dingin. Saat dirinya menatapnya lebih dalam, gadis itu justru membuang muka.

"Hei," Revi menyenggol lengannya, membuatnya menoleh, "Ayo masuk!"

Sekali lagi Gara menoleh gadis itu, namun masih sama. Membuang muka!

'Sok jual mahal sekali itu cewe!'

Gara mengikuti yang kain memasuki kantor Lurah.

Alya membalik tubuh dan mulai melangkah. Dewi menoleh, "Eh, Al. Mau ke mana?"

"Pulang, masih banyak cucian!"

"Mau kenalan tidak!"

"Tidak usah."

"Ya sudah,"

"Eh, Wi. Mereka ganteng-ganteng ya!" puji Wiwin,

"Apalagi yang kaosnya merah itu,"

Alya meraba dadanya, seperti ada ribuan kuda yang tengah berlari di dalam sana. Kenapa bisa begini? Ini tak pernah ia alami sebelumnya.

***

Esoknya, pagi-pagi Dewi sudah datang ke rumah Alya yang sedang menyapu halaman.

"Al, ke balai desa yuk. Kan hari ini ada penyuluhan dari para mahasiswa itu!"

"Tapi kerjaan aku banyak, Wi. Banyak baju belum disetrika,"

"Nanti aku bantuin setrika, biasanya juga gitu!"

"Tapi kata Ibu, harus selesai siang ini!"

"Kamu tidak asyik deh, ini kan kesempatan langka. Tidak setiap tahun lo desa kecil kita ini ada yang KKN!"

Alya mendesah pasrah, Dewi adalah teman yang selalu ada untuknya. Selalu membantunya, tak enak juga kalau membuatnya sedih.

"Ya, tapi sebentar saja ya!"

Dewi pun mengangguk girang. Alya menyelesaikan menyapu lalu mereka segera pergi ke balai desa yang sudah banyak warga. Lagi-lagi mata Alya bertegur sama dengan milik Gara.

Argan juga melebarkan biji matanya melihat Alya yang cantiknya di atas rata-rata itu. Dia pun mendekat ke Gara dan berbisik,

"Lo lihat itu, yang baju kuning? Gue tak menyangka ada cewe secakep itu di desa ini!"

"Biasa aja!"

"Mata lo soak ya, Clarissa saja kalah tahu. Gue sih mau ajah kawin ama perawan kampung. Bisa buat simpenan!"

Gara menoyor kepala Argan menjauh. Pemuda itu malah tertawa, padahal nyaris terjungkal.

Kini mata Gara kembali memerhatikan si gadis. Tapi apa yang dikatakan Argan benar juga. Gadis itu sangat cantik meski dandannya sederhana tanpa make up. Apalagi kalau dipoles, bakal jadi rebutan!

Dan rupanya bukan hanya Gara dan Argan yang memerhatikan Alya, bahkan semua mahasiswa. Alya jadi risih sendiri dipandangi seperti itu. Maka ia pun minta pada Dewi untuk pulang dulu karena takut ibunya mencari. Dewi mengangguk sedikit kesal saat sahabatnya itu mulai meninggalkan tempat itu.

***

Malam itu Alya melamun saat menyetrika baju, Ningsih memperhatikan saat meletakkan masakannya di meja.

"Ada apa Al, kok melamun?"

"Tidak apa-apa, Bu!" ia melanjutkan setrikaannya, "Bu, boleh Alya bertanya sekali lagi?"

"Bertanya apa sih, Nduk?" Ningsih duduk, menyesap segelas air putih.

"Kenapa Ibu tidak pernah mau memberitahu siapa Ayah Alya! Kata Bu Santi, Alya anak haram ya Bu?"

"Hus, kata siapa. Kau itu punya Ayah!" Ningsih sedikit kesal,

"Lalu Ayah di mana?"

"Kan sudah Ibu katakan, jangan tanyakan itu lagi. Anggap saja ayahmu sudah mati, selama ini kita tetap bisa hidup kan meski tanpa ayahmu!"

"Tapi Alya ingin tahu, Bu. Bu Santi selalu berkata Alya anak haram, makanya tak boleh dekat-dekat dengan Dedi!"

"Hah ... memangnya kau suka dengan Dedi?"

Alya menggeleng tanpa ragu.

"Kalau begitu apa masalahnya? Omongan Bu Lurah itu tak perlu didengarkan. Kau tahu sendiri dia seperti apa, untung saja istri Lurah. Pak Imron itu kan orangnya baik!"

Pak Imron memang baik dan bijak, berbeda dengan istrinya yang selalu sok jadi istri pejabat. Padahal cuma Lurah!

Gara melamun di kursi bawah pohon yang rindang di depan rumah pak Lurah. Para mahasiswa menginap di sana, sementara mahasiswi menginap di rumah pak Mardi. Ketua Rt 1, kebetulan anaknya perempuan. Si Wiwin.

Argan, Razaq, Farel, dan Gema menghampiri.

"Woi, ngelamun ajah! Ngelamunin siapa?" Farel menepuk bahunya dan duduk.

Argan tersenyum simpul, "Si cewe kaos kuning itu ya, tadi gue juga bayangin dia sih pas mandi!"

Seketika Gara melotot padanya, hal itu bisa dimengerti Argan dan Farel.

"Wah ... lo suka sama dia?" bisik Farel,

"What!"

*****