webnovel

Putra Sang Penguasa Hutan

Raka Bimantara adalah seorang remaja belas tahun. Kehidupan normalnya menjadi aneh sejak kematian ayahnya dua bulan yang lalu. ketika itu ia bersama ibunya pergi dari kota besar tempat ia hidup selama ini menuju sebuah desa pelosok terpencil yang di kelilingi oleh hutan yang lebat di segala sisi. Desa kelahiran dan tempat dimana ibunya dibesarkan. Ibunya mengatakan jika mereka akan tinggal di sini untuk seterusnya. Raka yang terbiasa hidup di kota awalnya menolak tapi ia tidak memiliki kerabat lain selain mengikuti ibunya. Di satu sisi Raka merasa ada yang tidak beres dengan desa tempat tinggalnya kini. Bahkan sejak awal ia memasuki gerbang desa ia merasakan seolah ada ratusan mata yang memandanginya sepanjang jalan, padahal saat itu tidak ada siapapun yang menyambutnya selain sang paman. Setelah beberapa hari tinggal di sana. Raka semakin yakin jika ada kejanggalan di tempat itu, orang-orang menatapnya dengan ketakutan. Bahkan tak jarang ada yang terang-terangan menghindarinya. Pada suatu hari, ia tidak sengaja mendengar sekelompok orang yang membicarakannya. Raka mendengar jika ia adalah anak monster yang dilahirkan ibunya tujuh belas tahun yang lalu. Apa itu alasannya ia selalu melihat banyakan aneh yang muncul disekililingnya dan jua suara-suara yang ia dengar berbisik disekitarnya. Lalu siapa sosok ayah biologisnya itu? Monster seperti apa yang dihindari ibunya selama ini juga apa alasan ibunya kembali membawanya ke desa penuh misteri ini.

jimin_leopard · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

Bab 4.Sambutan dari Makhluk Lain

"Sudah lama menunggu?"

Seorang laki-laki yang mengenakan payung hitam bertanya pada mereka. Usianya berkisar antara akhir dua puluhan, mungkin awal tiga puluh. Tubuhnya tinggi dengan rambut hitam di balik tudung jaketnya.

Laki-laki itu tersenyum, ia menyerahkan payung lain yang dibawanya.

"Murad." Ratih berseru pelan.

"Mba Ratih, apa kabar."

"Baik. Alhamdulillah baik, kamu sendiri? Istri apa kabar? Aku dengar kau mengadopsi anak?"

"Alhamdulillah baik juga. Ka Ratih tau aja kalau kami mengadopsi anak."

Ratih tertawa halus. Meski ia tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di desa ini sejak tujuh belas tahun yang lalu, tapi mereka masih bertukar kabar sesekali.

"Ini anak Mbak Ratih?" Laki-laki bernama Murad itu menatap Raka dengan penuh tanda tanya.

"Ah, benar. Mbak hampir lupa. Raka ini Pamanmu, paman Murad. Dia sepupu Mama."

"Halo paman. Saya Raka, Raka Bimantara."

Raka menjabat tangan paman Murat saat mengatakannya.

"Ah, halo Raka. Salam kenal dengan paman. Ini pertama kali kita bertemu bukan?"

Raka mengangguk membenarkan. Ia tidak pernah berhubungan dengan keluarga ibunya selama ini. Entah kenapa tapi Raka merasa ibunya menyembunyikan erat-erat tentang keluarganya itu.

Paman Murad tersenyum. Laki-laki itu kembali menatap Ratih seraya membantu membukakan payung tadi.

"Payungnya haya satu. Raka pakai payung paman saja ya."

"Tidak perlu paman. Hujannya tidak lebat. Raka bisa pakai hoodie saja," tolak Raka. Remaja itu memang mengenakan hoodie dengan tudung besar di belakangnya.

"Apa tidak papa?"

"Biarkan saja. Raka itu anak muda. Hujan-hujanan sudah biasa. Beda lagi denganmu." Ratih berseru.

Murad hanya mengangguk paham. Laki-laki itu beralih membawakan barang yang dibawa oleh kakaknya itu. Mereka berjalan beriringan semenatra Raka mengikuti di belakang.

"Weh, anak Mba Ratih ganteng tuh. Murad sampai tidak bisa berkata-kata tadi."

"Ah, kamu bisa saja."

"Benar lo Mbak. Gantengnya gak kalah sama pangeran-pangeran."

Raka mendengus pelan. Sangat pelan, sampai ia sendiri yakin tidak ada yang mendengar dengusan nya tadi.

"Tau dari mana kamu. Memang pernah bertemu pangeran?"

"Itu lo. Pangeran sebelah Mba, itu yang ada di lukisan Mbah Sajen."

Degh...

Ratih menghentikan kegiatannya. Wanita itu berbalik menatap sang putra yang berdiri di belakangnya.

Rambut hitam Raka lepek namun tetap menawan. Wajahnya segar dengan tetesan air yang turun di ujung-ujung rambutnya. Matanya berkedip-kedip polos.

"Kenapa Ma?"

Ratih mengelint dengan cepat. "Bukan apa-apa." ia mengalihkan pandangannya kembali ke depan.

"Benar kan Mba. Raka itu mirip dengan lukisan pangeran yang ada di rumah Mbah Sajen." Paman Murad kembali membuka suara.

Raka mengerutkan alisnya beberapa saat. Sedari tadi ia sama sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan ibu dan pamannya itu.

"Jangan bicara sembarangan Murad. Kira tidak ada hubungannya dengan makhluk sebelah."

Suara Ratih dingin. Wanita itu seolah memperingatkan lagi agar sepupunya itu tidak bicara sembarangan.

Murad berdaham beberapa kali. Ia menoleh ke belakang. Mengamati sosok Raka yang kebingungan.

"Benar-benar mirip."

"Diam Murad!! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas hal itu lagi."

Murad tertawa pelan. "Paham kok Mba. Murad tidak akan menyinggungnya lagi lain waktu."

Setelah mengatakan itu Murad kembali menoleh ke belakang. Laki-laki itu tersenyum.

"Nak Raka, hati-hati langkahnya. Di sini jalannya licin, bercampur tanah pula. Hujan membuat beberapa tempat sedikit berbahaya."

Raka mengangguk paham. Jalan di depannya lebih buruk dari yang di depan. Ditambah lagi dengan tanah curam di beberapa tempat yang lereng.

Tidak ada pembicaraan lagi. Suasana berubah menjadi menyeramkan dan gelap. Paman Murad menyalakan lampu minyak kecil yang dibawanya.

Tidak benar-benar membantu. Setidaknya ia tidak menabrak undakan tanah.

Raka menghela nafas pelan. Matanya sedikit perih. Lensanya gatal akibat air hujan yang mengguyurnya walaupun tidak terlalu besar.

Husssss....

Degg...

Raka menghentikan langkahnya. Remaja itu mengedip kedipkan matanya beberapa kali. Ia yakin merasakan ada yang lewat barusan.

Pandangannya menoleh ke samping. Kabut hujan menutupi pandangannya. Raka tidak yakin apa yang dia lihat.

Bayangan pohon atau bayangan seseorang.

"Kenapa berhenti Raka? Kakimu tersandung?"

Panggilan dari paman murad membuat Raka tersentak kaget.

"Ah, tidak paham. Hanya menghindari undakan tanah yang mencuat," ucap Raka berbohong.

Ia tidak mungkin mengatakan jika ia melihat sosok aneh yang melewatinya tadi. Ibunya akan panik seperti dulu, ketika ia mengadu mendengar suara aneh yang selalu berbisik di telinganya.

"Hati-hati."

"Ya paman."

"Raka, jalan di dekat Mama. Sebentar lagi jalan akan benar-benar gelap." Ratih berseru, suaranya bergetar pelan.

Raka mengangguk setuju. Ia bergegas mendekati sang ibu. Berjalan beriringan. Namun, meski jalan di depannya sedikit terang, sama sekali tidak membantu.

Justru Raka semakin waspada ketika pandangannya tidak sengaja mendongak. Ada makhluk aneh yang duduk di atas ranting, rambut panjang menjulur, yang tengah tersenyum ke arahnya.

Sosok bertubuh besar berbulu yang bersembunyi dibalik pohon. Memiliki taring dan kuku yang panjang. Mata merahnya menyala di balik kegelapan.

Semenatra di balik semak, kelaur makhluk kecil bersayap. Bercahaya dengan rupa bercampur aduk, cantik dan mengerikan.

Bayang-bayang transparan yang ikut menari-nari di udara. Tertawa nyaring seolah sedang bernyanyi.

Raka menunduk. Di bawah kakinya ada binatang merayap. Sangat banyak, nyaris menyerupai ular-ular hitam namun berkepala dua.

Raka bergidik ngeri. Remaja itu berusaha memejamkan matanya sepanjang jalan.

Selama ini ia hanya mendengar suara-suara tanpa wujud. Tapi kali ini ia melihat penampakan kecil di beberapa tempat.

'Benar-benar mengerikan.'

Sementara itu tidak jauh dari mereka berjalan. Sosok yang melayang-layang transparan itu menghentikan tawanya. Tersenyum mengerikan sampai mulutnya robek, terbuka lebar.

"Kita menemukannya, hihihi.. "

"Apa itu orangnya?"

"Aromanya manis sangat manis. Lebih manis wanita itu di masa lalu."

"Dia orang yang sama bukan? Si bayi itu."

"Jangan mengganggunya." Si mahluk kecil berseru sambil mengepakkan sayapnya. "Dia bukan anak sembarangan."

"Aromanya harum, mirip dengan pangeran. Menurutmu dia orangnya?"

"Jangan ganggu dia. Kita akan diadili penghuni hutan."

"Benar bukan. Dia orangnya. Si anak wanita itu?"

"Apa kali ini kita harus memakannya?"

Bukkk...

Sosok transparan itu menghilang ketika di pukul oleh sosok lain yang tiba-tiba muncul di balik hutan.

Sosok dengan mata merah yang sama dan lidah bercabang. Bagian bawahnya menyerupai ekor ular besar yang melingkar.

"Jangan coba-coba menyentuhnya. Kita akan terbakar sia-sia. Bocah itu milikku, hanya aku yang akan memakannya."

"T-tuan... "

Makhluk transparan yang lainnya menyingkir. Memberi jalan pada sosok yang disebut tuan itu.

"Aku belum melihatnya. Aromanya manis, bahkan menempel di tetesan hujan yang turun. Seperti apa rupanya, apa dia mirip ayahnya atau mirip kakeknya? Ah mungkin mirip manusia yang mengandungnya itu."

Sosok itu tertawa. Bibirnya tersungging tipis. "Mirip siapapun bocah itu akan musnah di tanganku. Hutan dan gunung ini akan jatuh ke tanganku segera."

Bersambung....