webnovel

Putra Sang Penguasa Hutan

Raka Bimantara adalah seorang remaja belas tahun. Kehidupan normalnya menjadi aneh sejak kematian ayahnya dua bulan yang lalu. ketika itu ia bersama ibunya pergi dari kota besar tempat ia hidup selama ini menuju sebuah desa pelosok terpencil yang di kelilingi oleh hutan yang lebat di segala sisi. Desa kelahiran dan tempat dimana ibunya dibesarkan. Ibunya mengatakan jika mereka akan tinggal di sini untuk seterusnya. Raka yang terbiasa hidup di kota awalnya menolak tapi ia tidak memiliki kerabat lain selain mengikuti ibunya. Di satu sisi Raka merasa ada yang tidak beres dengan desa tempat tinggalnya kini. Bahkan sejak awal ia memasuki gerbang desa ia merasakan seolah ada ratusan mata yang memandanginya sepanjang jalan, padahal saat itu tidak ada siapapun yang menyambutnya selain sang paman. Setelah beberapa hari tinggal di sana. Raka semakin yakin jika ada kejanggalan di tempat itu, orang-orang menatapnya dengan ketakutan. Bahkan tak jarang ada yang terang-terangan menghindarinya. Pada suatu hari, ia tidak sengaja mendengar sekelompok orang yang membicarakannya. Raka mendengar jika ia adalah anak monster yang dilahirkan ibunya tujuh belas tahun yang lalu. Apa itu alasannya ia selalu melihat banyakan aneh yang muncul disekililingnya dan jua suara-suara yang ia dengar berbisik disekitarnya. Lalu siapa sosok ayah biologisnya itu? Monster seperti apa yang dihindari ibunya selama ini juga apa alasan ibunya kembali membawanya ke desa penuh misteri ini.

jimin_leopard · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

Bab 2.Kembang Desa

Senja itu jauh lebih gelap dibandingkan biasanya. Langit kembali mendung dengan tetesan rintik hujan seperti malam sebelumnya.

Jalanan berbatu tampak licin dan gelap. Nyaris tidak ada penerangan sama sekali di sepanjang jalan selain ubur kecil yang dibawa Bahrudin.

Sesampainya di depan rumah, Bahrudin beserta sang istri kebingungan ketika mendapati rumah mereka ramai. Ada lima pemuda yang masing-masing membawa ubur.

Bahrudin mengenali beberapa pemuda yang sering nongkrong di pos depan perbatasan desa mereka. Mereka juga selalu menyapa Ratih, keponakannya yang menjadi kembang desa.

"Ada apa ini?" tanyanya seraya mendekat. Bahrudin meletakkan ubur kecilnya di samping pintu.

"Bapak! Ibu!"

Bocah itu, putra mereka yang bernama Murad berlari dengan langkah cepat.

"Ba-bapak, ka... Ka Ratih tidak ada." Bocah itu terisak pelan sambil mengusap matanya.

"Apa maksudnya Nak?"

"Begini Pak Bahrudin. Murad tadi berteriak, dia bilang Kakaknya Ratih dibawa oleh makhluk besar dan hitam," ujar laki-laki bermata sipit itu. Usianya nyaris dua puluh tahun.

Murad langsung mengangguk membenarkan penjelasan pemuda itu.

"Bagaimana ini Pak." Ratih yang mendengar semuanya langsung berubah panik. Ketakutannya kembali menyerang. Terlebih lagi Tetua desa sudah mengingatkan jika keponakannya itu tengah diincar makhluk dedemit penunggu hutan.

"Jika di izinkan kami berencana mencari Ratih ke dalam hutan Pak," seru salah satu pemuda dan diangguki oleh yang lainnya.

Bahrudin terdiam beberapa saat. Masuk ke dalam hutan adalah larangan terbesar desa mereka. Apalagi dikala senja seperti saat ini.

Pamali...

Tapi saat ini nyawa keponakannya menjadi taruhan.

"Kami tidak melihat makhluk yang dikatakan Murad. Tapi ketika kami datang, hutan di sekitar rumah Pak Muhidin banyak yang roboh, seperti ada yang besar baru saja melewatinya."

Setelah mendengar penjelasan pemuda itu Bahrudin langsung setuju dan ikut mencari keponakannya masuk ke dalam hutan.

****

Ratih ditemukan tiga hari kemudian. Tubuhnya dingin dan pucat. Para pemuda yang menemukannya mengatakan jika Ratih berada di bawah pohon beringin besar di tengah hutan. Tertutup dengan sulur-sulurnya yang menjuntai dan beberapa kulit ular yang berserakan.

Kabar tentang keadaan Ratih yang mengerikan membuat desa heboh seketika. Di tambah lagi sehari setelah Ratih di bawa ke rumah, keadaan desa nyaris sama mencekamnya seperti berada di dalam hutan.

Tiga hari berturut-turut desa mereka seperti tidak mengalami siang sama sekali. Nyaris sepanjang waktu ditutupi awan hitam, petir yang menggelegar dan hujan gerimis yang mengerikan.

Para penduduk desa ketakutan. Mereka menyalahkan semua pada sosok Ratih yang melanggar pantangan dan masuk ke dalam hutan. Di tambah lagi ketika mereka mengetahui keadaan Ratih yang tengah hamil entah oleh siapa.

Mereka mengatakan anak itu adalah anak siluman penjaga hutan. Anak monster, anak dedemit yang membawa petaka buruk bagi desa mereka.

Tepat hari ke empat, keadaan semakin mencekam. Warga desa yang dilanda ketakutan dan juga kemarahan tidak bisa berpikir jernih.

Mereka mendatangi rumah Bahrudin. Meminta laki-laki paruh baya itu untuk menyerahkan Ratih. Ada yang memengaruhi penduduk jika para dedemit menginginkan bayi Ratih agar mereka bertambah kuat. Kedamaian tidak akan terjadi jika mereka belum menyerahkan Ratih.

Sementara dari dalam hutan suara auman dan teriakan menyengat telinga, terdengar semakin dekat, seperti berjalan ke arah desa.

Pohon-pohon tampak bergoyang, suara ranting terdengar patah beberapa kali, diselingi dengan suara pohon besar yang roboh dan juga suara sesuatu yang diseret dengan cepat. Seolah ada sesuatu yang besar telah melewatinya.

Malam itu benar-benar mimpi buruk untuk semua penduduk desa. Banyak korban dan juga ketakutan, jeritan dan juga kegilaan.

Mereka yang masih waras mengatakan ada banyak dedemit yang muncul. Mengincar rumah Bahrudin.

Sayangnya penghuni di dalam hanya ada sang kepala keluarga yang tewas dengan mata melotot.

Di lain tempat. Rahmi berlari dengan cepat dengan menyeret putra juga keponakan perempuannya ke tempat lain.

Wanita paruh baya itu berhenti tepat di depan gerbang perbatasan desa. Ia sudah di waktu-waktu untuk membawa Ratih jika keadaan semakin memburuk.

Karana Bayi yang dikandung keponakannya itu menjadi sumber peperangan. Banyak dedemit yang mengincar untuk dijadikan makanan.

"Ratih dengar kata Bibi. Apapun yang terjadi jangan menoleh ke belakang." serunya.

Ratih yang keheranan menggenggam tangan bibinya. "B-bibi... " ucapnya pelan.

Tubuh wanita itu bergetar hebat. Ia jelas mengetahui apa yang terjadi. Di dalam desa kekacauan benar-benar nyata. Teriakan, api dan ubur benar-benar membakar mereka semua.

"Tetua desa mengatakan tidak ada cara lain selain kabur dari desa ini." Ia mengembalikan kalung yang diberikan oleh tetua desa beberapa hari sebelumnya.

"Kenakan ini. Jangan dilepas apapun yang terjadi. Sebentar lagi akan ada yang menjemputmu. Pergilah sejauh mungkin dari desa ini, maka kau akan selamat Nak."

"B-bibi... sebenarnya apa yang terjadi?"

Rahmi terdiam beberapa saat. Wanita itu menatap keponakannya dengan tatapan sedih.

"Mereka menginginkanmu Nak. Para dedemit dan juga para penduduk. Mereka mengincar bayimu dan para penduduk mengincar nyawamu. Ada sebuah sakte dari desa sebelah yang mengincar bayimu juga."

"Jangan melihat kebelakang. Pergi selamatkan dirimu. Bibi akan baik-baik saja bersama Murad."

****

Kota Daha, Desember 2015.

Seorang laki-laki remaja menghela napas panjang ketika menumpuk kembali kotak besar yang berisi beberapa komik kesayangannya.

Semua itu akan disumbangkan ke beberapa tempat bacaan umum di kotanya.

"Raka, apa semua sudah dikemas Nak?"

Wanita lain muncul di balik pintu kamarnya. Laki-laki remaja bernama Raka itu mengangguk seraya bangkit menghampiri.

"Apa kita harus pindah Ma?" tanyanya pelan.

Dua bulan setelah kematian ayahnya. Sang ibu memutuskan untuk pindah, meninggalkan kota besar yang selama ini mereka tinggali.

Raka yang sudah terbiasa dengan kehidupan kota besar tentu saja menolak mentah-mentah ketika ibunya mengatakan mereka akan pindah ke sebuah desa pelosok tempat kelahiran sang ibu.

Namun remaja tampan yang masih belum genap berusia tujuh belas tahun itu tidak bisa membuat sang ibu kecewa.

Toh di kota ini mereka memang tidak memiliki kerabat lain yang akan melindungi mereka. Nyaris semua keluarga sang ayah tidak pernah mengakui mereka sebagai bagian dari keluarga besar.

"Raka, Mama sudah katakan sebelum ini bukan."

Raka mengangguk. "Raka tau Ma. Raka hanya ingin memastikan."

Sang ibu hanya diam beberapa saat. Mengamati raut sang putra yang tampak kecewa. Meninggalkan kehidupan di kota besar tidak semudah yang dipikirkan. Apalagi sang putra lahir dan dibesarkan di sini. Tempat lain secara otomatis akan terasa asing nantinya.

"Disana kita akan tinggal bersama paman dan bibimu, mereka saudara sepupu Mama yang tersisa. Percayalah kehidupan di desa tidak sesulit yang dipikirkan. Semua akan baik-baik saja, Mama janji."

'Kali ini tidak akan ada lagi yang akan membahayakanmu Nak. Semua tidak akan sama lagi dengan tujuhbelas tahun yang lalu,' pikirnya dalam hati.

Bersambung.....