webnovel

Putra Sang Penguasa Hutan

Raka Bimantara adalah seorang remaja belas tahun. Kehidupan normalnya menjadi aneh sejak kematian ayahnya dua bulan yang lalu. ketika itu ia bersama ibunya pergi dari kota besar tempat ia hidup selama ini menuju sebuah desa pelosok terpencil yang di kelilingi oleh hutan yang lebat di segala sisi. Desa kelahiran dan tempat dimana ibunya dibesarkan. Ibunya mengatakan jika mereka akan tinggal di sini untuk seterusnya. Raka yang terbiasa hidup di kota awalnya menolak tapi ia tidak memiliki kerabat lain selain mengikuti ibunya. Di satu sisi Raka merasa ada yang tidak beres dengan desa tempat tinggalnya kini. Bahkan sejak awal ia memasuki gerbang desa ia merasakan seolah ada ratusan mata yang memandanginya sepanjang jalan, padahal saat itu tidak ada siapapun yang menyambutnya selain sang paman. Setelah beberapa hari tinggal di sana. Raka semakin yakin jika ada kejanggalan di tempat itu, orang-orang menatapnya dengan ketakutan. Bahkan tak jarang ada yang terang-terangan menghindarinya. Pada suatu hari, ia tidak sengaja mendengar sekelompok orang yang membicarakannya. Raka mendengar jika ia adalah anak monster yang dilahirkan ibunya tujuh belas tahun yang lalu. Apa itu alasannya ia selalu melihat banyakan aneh yang muncul disekililingnya dan jua suara-suara yang ia dengar berbisik disekitarnya. Lalu siapa sosok ayah biologisnya itu? Monster seperti apa yang dihindari ibunya selama ini juga apa alasan ibunya kembali membawanya ke desa penuh misteri ini.

jimin_leopard · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

Bab 13.Interaksi Pertama

Seperti yang dikatakan mamanya tadi malam. Pagi-pagi sekali, Paman Murad membangunkannya. Saat itu Raka bahkan belum sepenuhnya tersadar.

"Dingin Nak Raka?" Paman Murad berseru seraya menoleh ke samping. Laki-laki itu berjalan beriringan dengannya.

Ibunya Ratih, memilih tidak ikut serta. Wanita itu menunggu di rumah. Raka ingin sekali bertanya apa alasannya, namun ia urungkan.

"Jika subuh-subuh, suhu di sini memang turun, sangat dingin. Maklum di kaki gunung."

"Tidak Paman. Raka tidak masalah dengan suhu dinginnya."

"Baguslah, Nak. Anak muda itu memang harus tahan suhu dingin."

Raka hanya tersenyum kecil. Baginya tidak masalah dengan suhu dingin tempat ini. Justru yang menjadi masalah adalah makhluk-makhluk yang mengikutinya di belakang, samping dan bahkan ada yang di depan.

Melayang-layang di udara seperti asap dan beberapa lagi merayap di tanah. Padahal hampir diantara makhluk itu memiliki kaki dan tangan.

'Mengerikan.'

Raka menghela nafas panjang untuk yang sekian kalinya. Remaja itu mengamati keadaan sekitarnya yang masih gelap.

Jalan yang mereka lewati tidak berbeda dengan jalan utama yang hanya berupa jalan berbatu kecil dan tanah yang penuh genangan air hujan.

Pohon-pohon besar nyaris berjajar di samping kiri dan kanannya. Daunnya yang rimbun terlihat mengerikan di dalam kegelapan.

"Tempatnya tidak jauh lagi." Paman Murad memecahkan keheningan. "Nak Raka liat ada asap yang membumbung di dekat pohon akasia di depan?"

Raka menatap ke depan. Meyipitkan matanya, mencari tau bagunan yang Paman Murad maksudkan.

Remaja itu menaikkan sebelah alisnya. Dilihat dari manapun hanya ada kegelapan dan daun rimbun di depan. Tidak ada bangunan yang dimaksud pamannya itu.

"Nampak Raka?"

Raka menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak Paman, semuanya terlihat gelap." Ia menghentikan ucapannya beberapa saat. Mendongak ke depan sekali lagi untuk memastikan.

Ia tidak salah. Tidak ada bangunan apapun sejauh ia memandang. Hanya kegelapan subuh dan rimbunnya dedaunan, juga pohon besar.

"Raka tidak melihat bangunan apapun Paman."

"Hah? Masa toh?"

"Apa jaraknya jauh Paman?"

Paman Murad menoleh ke samping. Dahinya mengkerut kecil sebelum ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak.. Err, maksud Paman bagunannya tidak jauh," serunya. "Ah, mungkin Nak Raka belum terbiasa dengan keadaan disini. Apalagi subuh-subuh ini memang gelap."

Raka hanya mengangguk setuju. Waktu subuh di tempatnya tidak segelap ini.

Paman Murad tidak mengatakan apapun lagi sampai mereka tiba di depan sebuah rumah kayu yang terlihat sederhana namun kokoh. Seperti bangunan peninggalan zaman dulu yang masih dirawat.

Raka sangat kebingungan. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka bicara tadi. Tapi kenapa ia tidak melihat bangunan ini seperti pamannya?

"Kita masuk lewat samping saja. Mbah Sajen biasanya subuh-subuh ini lagi shalat, doanya panjang." Paman murad berseru.

Raka yang tengah melamun langsung tersendak keget. Tanpa bertanya lagi remaja itu mengikuti pamannya berjalan di belakang.

Tidak ada gambaran yang lebih aneh daripada ini. Raka merasakannya. Sejak ia datang ke desa ini ia bahkan disambut oleh puluhan makhluk tak kasat mata yang terus mengikutinya sepanjang hari.

Namun disini ia tidak menemukan bayang-bayang itu sedikitpun. Bahkan suara halus yang biasa muncul pun juga tidak tampak.

'Apa mereka berhenti mengikuti?'

"Raka, masuklah. Paman perkenalkan sama Mbah Sajen, tetua kampung sini."

Raka menoleh. Remaja itu mengangguk. Membuang pikiran konyolnya dan mengikuti Paman Murad yang sudah masuk ke dalam rumah kayu itu.

"Mbah Sajen. Ini keponakan saya Raka, yang saya ceritakan itu Mbah. Raka beri salam sama Mbah Sajen."

Raka mengangguk dan memberi salam, suaranya bergetar ketika mengucapkannya. Ia terdiam beberapa saat, tubuhnya terasa aneh saat menginjakkan kaki di rumah ini.

Laki-laki tua yang duduk bersila kaki di atas kain yang mirip dengan sejadah itu menatapnya sekilas. Mengangguk kecil dan mempersilahkan Raka untuk duduk juga di depannya.

Raka mendongak, laki-laki tua itu terlihat baru saja selesai shalat subuh. Tasbih kecil masih ada di jarinya.

"Ibumu dan Murad sudah sering cerita tentang kamu." Mbah Sajen berseru tenang. Suaranya tertata meski usianya terlihat sudah tua.

"Bagaimana kesan pertama saat datang ke desa ini Nak Raka?"

"Ba-baik Mbah," ucap Raka gugup.

Ia sedari tadi mengepalkan kedua tangannya. Bertumpu di atas kaki saat mencium aroma aneh yang membuat kepalanya berputar, sakit.

Aroma menyengat yang nyaris membuatnya tidak bisa bernapas. Sesak dan mencekik.

"Nak Raka? Ada yang salah?"

Raka mengeling. "T-tidak Mbah, tapi apa Mbah sedang membakar sesuatu? Baunya tidak enak."

Mbah Sajen terdiam. Ia meletakkan tasbihnya di samping. Kemudian menatap Murad dan Raka bergantian.

"Itu cuma kayu Gaharu Nak, biasanya buat mengusir para jin yang mengganggu."

Degh...

"Sepertinya Nak Raka keluar dulu, hirup udara pagi di luar, supaya kepalanya mendedingan kembali."

****

Raka yang puas duduk di teras. Kini bangkit, ia melangkah masuk ke dalam rumah Mbah Sajen.

Kepalanya sudah sedikit ringan. Selama ia menghirup udara segar di luar, aroma kayu Gaharu itu mungkin tidak akan membuat kepalanya sakit lagi.

Raka menghela nafas pelan. Manik emasnya yang bersembunyi di balik lensa melirik ke arah ruang depan.

Saat datang tadi, ia tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Tapi kini terlihat jelas, cahaya matahari masuk dari sela-sela dinding kayu dan anyaman bambu.

Ada beberapa guci besar yang terlihat antik. Semuanya tersusun rapi di sudut ruangan.

Sementara dindingnya, dihiasi beberapa lukisan. yang berjejer disana. Hampir seluruhnya menampilkan pemandangan hutan dan beberapa potret beberapa orang dengan pakaian jaman dulu.

"Mereka anggota kerajaan."

"Jaman dulu?" tanya Raka.

"Tidak, kerajaan itu masih ada sekarang. Hanya saja mereka tidak berada di dunia ini."

"Yang benar saja."

Raka langsung menoleh. Remaja itu langsung tersentak kaget. Tubuhnya terjungkal ke belakang, terkejut ketika berusaha menghindari makhluk tanpa kepala yang berdiri di sampingnya.

Raka melototkan matanya. Remaja itu langsung tersadar jika yang baru saja berinteraksi dengan makhluk halus.

Padahal biasanya ia menghindar sejauh mungkin. Bukan hanya karena ia merasa takut, tapi juga menghindari masalah.

"Kenapa kaget, Kau bisa melihatku bukan? Shivanya berkata benar." Makhluk itu tertawa mengerikan. Kepalanya di bawa di salah satu tangannya.

Raka bangkit. Ia berlari cepat, meninggalkan si makhluk tanpa kepala yang masih tertawa seraya memanggil teman-temannya yang lain.

"Mengerikan. Bagaimana bisa makhluk itu membawa kepalanya sendiri."

Raka bergidik ngeri. Mungkin setelah ini kehidupannya benar-benar tidak sama lagi.

Tidak..

Bahkan kehidupannya sudah aneh sejak ia kecil, ditambah lagi dengan kematian ayahnya dua bulan yang lalu. Puncaknya ketika ia menginjakkan kaki di desa ini.

Raka menghentikan langkahnya. Ia tidak ingat pernah melewati ruangan ini ketika ia datang tadi.

Lorongnya gelap, tanpa penerangan dari lampu minyak sedikitpun.

Raka meneguk ludahnya sendiri. Kali ini ia benar-benar tersesat. Beruntung tidak ada makhluk aneh yang mengikutinya seperti di luar tadi.

"Itu akan terjadi Murad. Kita tidak bisa menghindarinya."

Degh...

Raka langsung terdiam ketika sayup-sayup mendengar suara Mbah Sajen yang tadi sempat bicara singkat dengannya.

'Apa dia bicara dengan Paman Murad?' pikir Raka. Ia melangkah mendekat.

"Ta-tapi Mbah, Kak Ratih tidak akan menyukai ini."

"Kita tidak bisa menghalangi takdir, dan takdir bocah itu akan dimulai ketika ia berusia tujuhbelas tahun. Tidak akan lama lagi."

Bersambung...