3 Chapter 03

Ditatapnya langit-langit ruangan. Tanpa dapat tertepis pikirannya melayang jauh berpusat pada kejadian buruk di masa lalu. Rasa kehilangan akan Putra kesayangan kembali menyayat jiwa.

--

Entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam pikiran sendiri, yang jelas terdengar suara langkah kaki mendekat. Dengan segera menolehkan wajahnya sehingga bertatapan secara langsung dengan putri tercinta. "Mau ke mana?" Tanyanya dengan tatapan menelisik.

"Pertanyaan macam apa itu, Dad? Tentu saja ke kantor."

"Ke kantor?" Ulangnya lagi selimut rasa tak percaya.

Purple mengangguk.

Sebelah mata memicing hingga keningnya berkerut. "Bukankah tadi kau bilang sama Dad, bahwa kau ingin libur hari ini?"

"Tadinya iya tapi, sekarang aku berubah pikiran."

Ternyata yang dikatakan oleh Mommy-mu benar bahwa kau membutuhkan menyembuhkan diri untuk membunuh kenangan buruk tersebut, Purple. Batin Martin.

"Purple, berangkat dulu ya, Dad." Mencium sekilas pipi Martin. "Hm, hati-hati." Berpadukan dengan tatapan meremang pada punggung ringkih yang semakin lama semakin hilang dari pandangan.

Tidak mau melihat putri tercinta mengendarai mobil dalam kondisi yang tidak stabil dia pun bergegas menyusul. "Purple, tunggu!"

Yang dipanggil langsung menghentikan langkah kemudian memutar tubuh dengan segera sehingga bertatapan kembali dengan Martin. "Iya, Dad."

Langkah tegas mendekat. "Jangan bawa mobil sendiri! Lebih baik berangkat dengan diantar oleh-"

"Tapi, Dad. Hari ini Purple sedang ingin membawa mobil sendiri." Potong Purple cepat.

"Dasar Anak keras kepala! Ayo!" Melingkarkan jemari lentik di antara lengan kekar.

Purple tersentak sehingga langsung membeliakkan matanya. "Dad, mau ke mana?"

Ditatapnya Purple sembari menjitak kening putrinya tersebut. "Tentu saja ke kantor."

Manik hazel tampak memutar. "Bukankah hari ini Dad tidak ke kantor?"

"Tadinya iya tapi, Dad berubah pikiran. Jangan banyak bertanya lagi, ayo!" Setengah menyentak lengan ramping.

"Masuk!" Pintanya dengan setengah mendorong pundak Purple. Setelahnya, dia memutari badan mobil kemudian mendudukkan bokongnya pada kursi kemudi. Sebelum menjalankan mobil di liriknya sekilas putri tercinta. "Pakai self belt mu!"

"Inilah yang paling Purple tidak suka. Kenapa juga harus memakai self belt?" Toh, memakai self belt tetap saja merenggut nyawa Carlos dengan cara paling keji. Lanjutnya dalam hati.

Jemari kekar terulur mengusap lembut puncak kepala sehingga membawa kesadaran Purple kembali, bersamaan dengan itu ia pun langsung menolehkan wajahnya kearah Martin berpadukan dengan seulas senyum yang terkesan dipaksakan.

"Apa yang kau pikirkan?" Martin bertanya dengan suara lembut.

"Tidak ada, Daddy. Untuk saat ini Purple sedang tidak memikirkan apa pun."

Tidak mau mendesak putri tercinta. Akhirnya dia memilih melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju De Martin Company.

Setelah sekian lama membelah jalanan akhirnya mobil yang membawanya pergi telah sampai pada gedung menjulang tinggi. Sebuah gedung bertuliskan De Martin Company yang menjadi incaran para lulusan dari Universitas terbaik untuk menjadi tim sukses dari perusahaan paling berpengaruh tersebut.

"Turunlah dulu!"

"Dad, mau ke mana? Apa Dad tidak ikut masuk?"

"Dad, ada urusan sebentar di luar kantor." Diusapnya puncak kepala dengan penuh kelembutan sesekali mengecupnya dengan penuh rasa sayang. "Selamat bekerja. Ingat, jangan terlalu diforsir."

Purple mengangguk.

"Hati-hati, Dad. Jangan kebut-kebutan di jalanan. Ingat, Dad ini sudah tidak muda."

"Oh My God, haruskah kau mengatakan ini, Purple. Ini terdengar sangat menyedihkan." Desisnya.

Purple terkekeh kecil sembari mengecup pipi Martin. "Jangan marah. Kenyataan sebenarnya tidak bisa disembunyikan. Sekarang ini Dad sudah menjadi seorang Grandpa. Ingat, sudah ada - Clark De Martin - Cucu Daddy." Mengerling genit sebelum turun mobil.

Sebelum melenggang masuk memasuki gedung pencakar langit tersebut. Purple tampak melambaikan tangan. "Hati-hati, Daddy."

Martin tidak menjawab. Dia pun langsung mengemudikan mobil sembari bergumam. "Dasar Anak nakal. Dia itu persis seperti mendiang Kakak nya. Oh My God, kenapa aku memiliki Putra-Putri yang super jahil." Keluhnya.

🍁🍁🍁

DE MARTIN COMPANY

Berlin, Jerman

11.15

Kedatangan Purple ke kantor langsung disambut oleh para bodyguard yang berjaga di depan pintu utama. "Selamat pagi, Ms. Purple." Sapa mereka sembari membungkukkan badan. Purple tidak menanggapinya, ia pun langsung melenggang masuk menuju lift pribadi yang akan membawanya naik pada lantai dimana ruangan kebesaran CEO berada.

"Selamat datang, Ms. Purple." Sapa wanita muda seusianya yang menjabat sebagai sekretaris CEO. Yang disapa sama sekali tidak menjawab atau pun melemparkan lirikan sekilas.

"Huh, cantik tapi sombong. Sangat berbeda sekali dengan Mr. Martin, dan juga mendiang, Mr. Carlos." Kesal Grace.

Saat ini Purple terlihat sedang fokus pada beberapa dokumen di depannya. Hembusan nafas lelah tampak mengiringi deru nafasnya. "Seharusnya aku tidak menenggelamkan diriku ke dalam pekerjaan-pekerjaan seperti ini. Pekerjaan ini sama sekali bukan bidangku. Keahlianku di bidang fashion. Seharusnya sekarang ini aku sedang bergelut dengan tarian pena mendesain gaun paling indah."

Saat ini pun Purple sedang menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan menatap langit-langit ruangan. Jika saja mendiang kakak nya masih hidup maka, dia bisa menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan. Sayangnya, kepergian Carlos telah memaksanya terjun ke dalam dunia bisnis dengan menjabat posisi penting sebagai CEO.

Sebagai pewaris tunggal dari seluruh kekayaan Martin mau tidak mau dia pun harus mengesampingkan ego demi memenuhi keinginan kedua orang tuanya dan tentunya keinginan Carlos sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Jujur, dipisahkan dari dunia fashion yang sudah melekat kuat di dalam diri terasa menyakitkan, sesakit penghianatan yang telah Douglas lakukan. Bagi Purple dunia fashion adalah jiwanya, nafasnya, dan juga semangat hidupnya.

Entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam lamunan, yang jelas suara deheman telah membawa kesadarannya kembali. Dengan segera menegakkan duduknya sehingga disuguhkan pada siluet sang ayah yang sedang menghujaninya dengan tatapan yang sama sekali tidak terbaca.

"Dad, kau sudah kembali?"

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Purple menggeram. "Daddy, pertanyaan tidak dibalas dengan pertanyaan!"

"Dan hanya pertanyaan bodoh yang tidak memerlukan jawaban."

Bibir ranum langsung mengerucut seketika itu juga. "Tega sekali Dad bicara seperti ini padaku. Kasar sekali." Lirihnya pada kata terakhir.

Sedih, itulah satu kata yang menggambarkan bagaimana perasaan Purple saat ini. Jujur, sedari kecil dia tidak pernah diperlakukan secara kasar, dibentak, atau pun disuguhkan pada kata-kata yang sama sekali tidak pantas. Purple diperlakukan layaknya Puteri kerajaan.

Akan tetapi, semenjak kepergian sang kakak. Dia tidak lagi merasakan hal itu. Kehangatan keluarga Martin tidak sehangat dulu. Bahkan seringkali tersulut ke dalam lautan emosi.

Seolah paham dengan yang dirasakan oleh putri tercinta telah memaksa langkah kaki mendekat. "Sorry, Dad tidak bermaksud membentak mu." Sembari mengecup singkat puncak kepala.

"Purple, tidak suka dibentak, Dad."

"Untuk itulah Daddy meminta maaf." Kembali dikecupinya puncak kepala dengan kecupan dalam dan lama berpadukan dengan sebelah tangan bergerak naik turun pada punggung ringkih. "Bagaimana kalau malam ini kita makan malam di luar? Sudah sangat lama sekali kita tidak pernah melakukannya semenjak kepergian, Carlos."

Purple mendongakkan wajahnya dengan tatapan meremang. "Malam ini Purple sudah ada janji."

Martin langsung memicingkan ekor matanya. "Janji dengan siapa?"

"Haruskan Purple mengatakannya? Dengarkan Purple, Dad. Tidak semua hal harus dikatakan!" Nada suaranya terdengar tajam setajam tatapan yang dilemparkan ke arah Martin.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

avataravatar
Next chapter