webnovel

33

 "Saya bisa memahami situasi ibu. Saya hanya minta ibu untuk tetap berpikiran positif. Saya yakin, semua yang ibu khawatirkan itu tidak akan terjadi."

"Kalo sampe terjadi gimana Pram? Ibu takut."

"Kalo sampe terjadi, saya akan berusaha semampu saya untuk membantu ibu."

"Tapi saya sangat yakin, hal itu tidak akan terjadi." Pram sedang berusaha menghilangkan kekhawatiranku.

Dengan lembut ia mengecup keningku, lantas membimbing kepalaku untuk kembali rebah di dadanya.

Aku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiranku karena hal ini sangat penting bagiku.

Aku merasa tak enak hati pada Pram, yang sepertinya ikut terimbas dalam pusaran kekacauan pikiranku.

Hampir satu jam berlalu, dan aku masih saja belum bisa memejamkan mataku, begitu juga dengan Pram. Ia masih setia menemaniku, memelukku dengan erat dibalik selimut.

"Pram."

"Iya bu."

"Kamu udah ngantuk?" tanyaku sambil menatapnya.

"Belum ngantuk kok bu."

Aku berusaha tersenyum padanya, namun aku yakin ia bisa melihat bahwa senyum itu adalah sebuah senyum keterpaksaan. Aku sedang berusaha melawan kegundahan hatiku, berusaha melupakannya, namun sepertinya sia-sia. Pram telah mengenalku dengan sangat baik, ia memahamiku.

"Bu.."

"Iya.."

"Dari tadi ibu gelisah, gak bisa tidur. Ibu mau saya buatkan teh panas?"

Aku kembali menatap wajahnya seraya menganggukan kepala.

"Ya udah, ibu tunggu disini ya. Saya buatkan dulu sebentar."

"Jangan lama-lama." Pesanku, karena aku sedang tak ingin sendirian.

Belum sampai satu menit Pram meninggalkan kamar tidurku, aku langsung menyusulnya. Pram sedang menuangkan sedikit air kedalam cerek untuk dipanaskan.

Lagi-lagi aku langsung memeluk tubuhnya, dari arah belakang. Aku butuh seseorang untuk bersandar, aku ingin selalu dipeluk dalam situasi seperti ini, aku tak ingin sendirian walau hanya sedetik.

Pram membiarkan pelukanku, sambil meletakkan cerek itu diatas kompor. Setelah itu, ia memutar tubuhnya, lantas mendekapku dengan sangat erat.

Hal inilah yang aku butuhkan, perhatian dan sosok yang selalu menemaniku, terutama disaat seperti ini.

"Sekarang ibu istirahat dikamar ya. Nanti saya bawakan tehnya kesana."bujuknya.

Aku hanya menggelengkan kepala seraya mempererat pelukanku.

Kudengar Pram menghela nafas panjang. Ia bingung menghadapi aku, bingung memikirkan apa yang harus ia lakukan agar aku bisa kembali ceria. Berkali-kali kurasakan kecupannya dikepalaku, Seraya mengusap punggungku.

Kulepaskan pelukanku setelah beberapa saat karena air yang direbusnya mendidih. Dan setelah selesai membuat segelas teh panas untukku, kami kembali ke kamar.

Pram kembali berbaring diatas ranjang, dan aku segera menyusul, menindih tubuhnya dengan kedua lutut tertekuk disisi pinggangnya. Daster yang membalut tubuhku terangkat keatas, hingga ke bagian pinggang. Aku hanya ingin merasakan dekapan, merasakan hangat peluk tubuhnya.

Bermenit-menit terlewati hanya dengan diam. Kepalaku dengan nyaman rebah diatas dadanya. Pram bisa melihat setengah bagian tubuhku karena dasterku tersingkap, ditambah dengan posisi kepalanya yang sedikit lebih tinggi karena 2 buah bantal menyangga kepalanya.

Tak sekalipun ia menyentuh bagian tubuhku itu. Hanya usapan dikepala, dan pelukan yang ia berikan.

"Pram lagi pengen?" tanyaku karena kurasakan kemaluannya mengeras. Posisinya tepat berada dibawah kemaluanku, sambil menyelipkan tangan diantara himpitan tubuh kami dan menyentuhnya.

"Enggak bu.." jawabnya singkat disertai kecupan di kepalaku.

"Kalo pengen, bilang aja ya, ibu siap kok."

Tak ada jawabn darinya. Ia hanya menatapku dalam-dalam. Sebuah tatapan yang tak bisa kumaknai dengan jelas.

Perlahan aku beralih, tidur disisinya dengan kepala beralaskan perutnya. Wajahku tepat berada didepan kemaluannya yang telah mengeras.

Segera saja kuusap dan sesekali meremasnya dengan lembut. Setelah beberapa saat, kusingkapakn celana pendek yang ia kenakan dan mengeluarkan pentungannya.

Aku hendak mengulum pentungan yang hanya berjarak beberapa senti dari mulutku, namun dengan cepat, Pram menahan kepalaku.

Sekali lagi ia menatapku sembari menggelengkan kepala. Ia menuntunku untuk kembali berbaring disisinya, lantas menutupi tubuh kami dengan selimut.

"Sayang beneran gak pengen..?" tanyaku berusaha seromantis mungkin, agar ia tak terlalu mengkhawatirkanku. Aku ingin menyenangkannya, menghiburnya yang nampak gundah karena keadaanku.

Lama ia menatapku, tanpa menjawab pertanyaan yang kuberi.

"Ibu pengen?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

"Ya udah.. sekarang tehnya diminum ya bu, trus kita tidur." Jawabnya sambil tersenyum, lalu mengambil segelas teh yang ia letakkan diatas meja rias.

Hanya setengah gelas yang akhirnya kuminum karena teh itu telah dingin. Aku tidak begitu menyukai teh dingin.

Aku terlelap dalam pelukan Pram hingga subuh. Aku tertidur begitu lelap sehingga tak menyadari jika Pram telah lebih dahulu bangun.

"Bu..bangun yuk." Sambil mengusap pipiku. Tangannya terasa dingin.

Perlahan kubuka mata dan mendapati Pram telah mandi.

"ini jam berapa?" tanyaku sambil menumpangkan tangan tangan diatas tangannya yang sedang mengusap pipiku.

"Jam setengah empat bu."

"Sebentar lagi." Jawabku sambil menarik lengannya, agar kembali tidur bersamaku.

Pram memenuhi keinginanku, lantas kembali memelukku dibalik selimut. Ia berbaring disampingku, namun aku segera memutar tubuh, membelakanginya. Aku ingin ia memelukku dari belakang. Dan entah mengapa, pagi ini aku bangun dengan perasaan yang sedikit tenang. Rasa khawatir yang menghantui beberapa jam belakangan berkurang, walaupun masih menyisakan sedikit cemas dihatiku.

Tanpa banyak bicara, hanya sekedar pelukan hangat dan perhatian penuh, Lelaki yang kini sedang memelukku berhasil meredakan kegundahanku.

"Pram, tadi bangun jam berapa?"

"Kayaknya jam tiga bu."

"Kok cepet banget sih Pram?"

"Iya bu, biar bisa berangkat awal. Kita kan mau pulang."

Kuusap tangannya yang sedang melingkar tepat dibawah daguku.

"Bentar lagi ya Pram. Masih pengen tiduran."

"Iya bu."

Menit-menit berikutnya kali lewati hanya dengan diam, menikmati kesunyian dibalik hangat selimut.

"Kamu udah mandi?"

"Udah bu."

"Kok ibu gak denger ya?"

"Iya, tadi saya mandi dikamar saya bu."

"Oooo… kok kamu gak bangunin ibu sih?"

"Biar ibu istirahat dulu, kalo bangunnya awal seperti saya, nanti ibu ngantuk."

"Emang gak dingin mandi jam segini?"

"Ya dingin sih bu, tapi kalo gak mandi bisa-bisa ngantuk lagi."

Aku lantas mengubah posisi tubuhku, menghadap ke arahnya. Kutatap wajah Pram yang nampak segar karena telah mandi.

"Sekarang masih dingin?"

"Iya bu, dikit."

"Ya udah, ibu angetin ya." Tanpa meminta persetujuannya, kupeluk erat tubuhnya dan memposisikan kepalanya didadaku.

"Pram, masih dingin?" tanyaku setelah beberapa menit kemudian.

"Udah enggak bu. Anget. Enak."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sebuah jawaban yang jujur dan polos.

"Pram.."

"Iya bu."