webnovel

23

Sejak permainan panas dirumahku tempo hari, tak pernah sekalipun Pram menyinggung hal tersebut, tak pernah sekalipun kami membicarakannya. Ia pun tak pernah merayuku, atau sekedar mencandaiku dengan hal-hal yang berbau seks. Ia sangat menghormatiku.

Dan kini, didepan cermin dikamar tidurku, aku terjebak kebingungan untuk menemukan cara agar malam ini aku bisa bercinta dengannya.

Sambil memilih pakaian yang akan kukenakan, aku terus terus memikirkan caranya.

Dan..

Mataku tertuju pada selembar daster yang telah lama tak kugunakan karena ukurannya yang kecil, sangat sesak jika kupakai. Hanya seperempat bagian pahaku yang bisa tertutupi olehnya. Itulah pilihanku. Aku akan mencoba menggoda Pram dengan penampilanku. Kuharap aku berhasil.

"Pram, mau masak apa?" tanyaku. Aku berdiri disampingnya.

"Mau masak sayur bening. Ibu suka sayur bening?"

"Iya, ibu suka kok."

Sementara mempersiapkan masakannya, Pram telah merebus air dan telah mendidih.

"Sini.." Pram menarik lenganku, kemudian memaksaku untuk duduk dikursi.

"Kok disuruh duduk sih, ibu kan mau bantu kamu memasak."

Pram hanya menggengkan kepala, tanda ketidaksetujuannya.

"Sekarang ibu duduk. Istirahat. Saya yang masak."

Ia lantas mengambil sebuah ember, mengisinya dengan air. Lalu menuangkan sejumlah garam kedalamnya. Ia meletakkan ember itu tepat didepan kakiku. Sejurus kemudian, ia menuangkan air panas kedalam ember tadi, mengaduknya, lalu mencelupkan jarinya kesana untuk sekedar merasakan suhunya.

"Udah pas."

"Sekarang ibu rendam kakinya dalam ember ini." Perintahnya.

"Ini cara tradisional untuk mengurangi pegel dikaki, bu. Saya diajarin sama orang tua saya." Sambungnya lagi.

Akupun menuruti permintaannya. Peluangku untuk menggoda dirinya tertutup sudah. Pram kembali ke meja dimana bahan masakannya berada. Ia larut dalam kesibukannya sementara aku menikmati waktuku dengan merendamkan kaki didalam seember air hangat. Mati kutu, mati gaya, aku hanya berdiam diri melihat dia sibuk memasak.

Melihat Pram sibuk memasak membuatku sadar, aku terlalu egois hanya untuk kesenangku. Aku memanfaatkan kebaikannya untuk memuaskan hasratku, padahal belum tentu Pram menginginkan hal tersebut.

Tiba-tiba aku malu pada diriku sendiri, pada prilaku yang seakan menjadi wanita murahan, menggoda lelaki hanya demi seks.

"Sudah selesai, saatnya kita makan" serunya, memecah keheningan.

"Kok ibu melamun sih?" tanyanya saat melihatku hanya diam.

"Makasih ya Pram, kamu udah baik banget sama ibu." Aku lantas memeluk pinggangnya saat ia berdiri disampingku.

"Saya hanya membantu semampu saya bu, sebisa saya." Jawabnya.

"Ibu gak tau harus baimana membalas kebaikanmu."

"Cukup doakan biar saya sehat selalu, kuliahnya lancar, dan bisa cepet lulus."

Aku terharu mendengar jawabannya yang cukup sederhana.

Kuueratkan pelukanku dipinggangnya dan tak terasa, sebutir air mata mengalir melalui sudut mataku.

"Kita makan yuk." Gumannya.

Kulepaskan pelukanku dan ia pun melihat jejak air mata dipipiku. Dengan lembut disekanya pipiku, kemudian mengecup keningku.

Tak banyak yang kami bicarakan selagi menikmati makanan hasil masakan Pram karena aku masih dalam situasi merasa bersalah. Berbeda dengan Pram, ia nampak lahap menyantap makanan yang ada di piringnya.

"Pram, ini rendam kaki sampai berapa jam?"

"Sampai airnya terasa dingin bu. Nanti airnya diganti lagi dengan air hangat."

Ia benar-benar memintaku untuk mengistirahatkan tubuh. Ia menolak ketika aku hendak membereskan piring-piring bekas yang kami gunakan.

"Sekarang ibu nonton tv aja. Saya bereskan dapur dulu." Perintahnya.

Kuturuti perkataannya dan menunggu diruang tengah sambil menonton tv. Hampir 15 menit kemudian, ia datang dengan menenteng ember berisi air hangat.

"Nah, sekarang direndam sambil dipijetin kakinya, biar besok pagi pegelnya hilang. Biar bisa siap kerja lagi."

"Eh…, gk usah Pram. Direndam aja cukup kok, uda lumayan enakan kok."

"Udah.. ibu rileks aja ya.. ibu santai aja." Balasnya sembari memasukan kedua tangannya kedalam ember yang berisi kakiku dan mulai memijatnya.

Pijetannya pada kakiku benar-benar membuatku rileks. Posisinya membelakangi televisi, berbeda denganku yang duduk disofa menghadap ke arahnya. Daster yang kukenakan hanya mampu menutupi sedikit bagian pahaku, dan ketika aku duduk, praktis daster itu akan tertarik keatas, hingga hampir sampai di pangkal pahaku. Beberapa kali kucoba menariknya turun agar menutupi bagian intimku, namun sia-sia saja karena beberpa saat kemudian daster itu akan kembali tertarik keatas.

"Ibu sih, pakai bajunya pendek banget." Gumannya sambil menunduk. Tak sekalipun ia menengok kedepan.

"Iya Pram.. maaf ya. Kamu risih ya? Kamu gak suka ya?" tanyaku sambil kembali berusaha menutupi selangkanganku. Namun usahaku sia-sia karena ujung dasterku segera kembali ke posisinya semula.

"Eh, enggak kok bu. Beneran.. biasa aja kok."

Jika saja Pram memandang kedepan, kearahku, aku yakin ia akan melihat celana dalamku. Dan ia pasti akan melihat samar bayangan kemaluanku, karena berbahan kain tipis dan sangat transparan. Namun Pram pernah mengangkat wajahnya. Pandangannya hanya berfokus pada tangannya yang sedang memijat kakiku.

Pijatannya benar-benar enak, dan rasa capek di sekitar betisku mulai berkurang.

"Nah.. udah selesai. Airnya udah dingin bu." Serunya.

"Iyaa, makasih ya Pram.. ini kaki ibu beneran udah enakan. Kamu pinter mijetnya."

Pram masih saja menundukkan wajahnya, kemudian berdiri dan membawa ember itu kembali kedapur, tanpa sedikitpun melirik kearahku. Ia menghindari menatap ke arah pangkal pahaku.

Ia kembali dengan sehelai kain lap bersih. Lalu meletakkanya didepan kakiku. Dengan lembut ia menuntun kakiku untuk berpijak diatas kain tersebut, agar lantainya tidak basah.

"Sudah hampir jam 10 bu, saatnya ibu istirahat."

"Iya, pijetan kamu enak, ibu jadi ngantuk."

"Besok Pagi sarapan disini ya Pram." Kataku sambil mengantarkan Pram ke pintu.

Kehadirannya disekitarku sangat berdampak. Setidaknya aku tidak merasa kesepian, walaupun ia bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Kebersamaan kami lebih banyak diisi dengan diam, atau sekedar obrolan ringan yang tidak penting. Dibalik sikap pendiamnya, aku merasakan kepeduliannya, merasakan perhatiannya begitu besar dan dalam terhadapku.

Tentang permainan panas kami beberapa waktu lalu, mungkin hal itu terjadi karena kami sama-sama terbawa oleh suasana, dan hal itu mengalir begitu saja, terjadi secara alami. Aku yakin akan hal itu karena setelah kejadian itu, sikapnya padaku pun tak berubah, tak pernah mencari kesempatan atau celah untuk mengulanginya lagi.

*

Aku tidur dengan sangat pulas berkat pijatan Pram. Aku sudah siap untuk bekerja di hari kedua. Pagi buta aku sudah terjaga. Setelah mandi, aku siapkan sarapan untuk kami berdua, seperti janjiku semalam padanya. Tubuhku hanya berbalut selembar kimono handuk, tanpa mengenakan pakaian dalam karena aku sendirian didalam rumah.

Hampir jam lima pagi, sarapan kami telah siap yaitu nasi goreng dan telur mata sapi. Aku sedang merasakan suasana pagi seperti yang pernah diajarkan Pram padaku ketika Pram mengetuk pintu.

"Kok pagi-pagi udah bangun sih Pram?" kataku, saat membuka pintu untuknya.

Ia hanya tersenyum. Wajahnya terlihat segar karena sudah mandi, walaupun pakaian yang dikenakannya masih belum berganti.

"Mau sarapan sekarang?" tanyaku lagi saat kami berada didapur.