1 Pulang

"Kau beneran nih tidak ikut pulang sekarang?" tanya Ica pada kembarannya.

"Tidak Ca, aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu, mungkin aku akan menyusul bulan depan setelah semuanya clear," ucap Rissa dingin sambil membantu Ica mengemas barang barangnya.

"Ya sudah deh, Elle kemana ya? Kok belum datang-datang."

Rissa hanya mengedikkan bahunya, Ica menelpon Elle, sahabatnya.

"Halo Ell, kau masih di mana?"

"Ini, aku di loby, aku tunggu di sini saja ah, kau cepat turun."

"Iya iya aku segera ke sana."

Tut.

Hari ini dia dan Elle akan pulang ke Indonesia, setelah 6 tahun tinggal di London untuk kuliah, mereka memilih kembali ke negara kelahirannya.

"Kak, Elle sudah di bawah, dia menunggu di loby katanya."

"Ya sudah, kau sudah semuanya, kan? Ada yang ketinggalan?" tanya Rissa dingin.

"Tidak Kak, aku sudah siap semuanya."

Rissa mengangguk lalu membantu membawa koper adik kembarnya ini, Ica juga menggeret koper yang satunya lagi.

Ica dan Rissa memasuki lift dan memencet tombol angka 1.

"Kau jangan membuat masalah di sana, aku tidak bisa membantumu dari sini," peringat Rissa tapi dengan nada dinginnya.

"Iya iya, lagian, kan di sana juga ada Ria, tidak usah khawatir."

"Hm ... Iya deh."

๐Ÿ”—๐Ÿ”—๐Ÿ”’๐Ÿ”—๐Ÿ”—

"Ell, coba kau telepon Ria, lama sekali ya dia menjemput kita," ucap Ica.

"Kau saja ah, aku tidak punya pulsa," Ica menoyor kepala Elle, Elle tuh bukan tidak punya pulsa, tapi dia irit, hemat, alias pelit.

Mereka berdua sudah tiba di Indonesia 30 menit yang lalu, mereka menunggu jemputan dari sahabat mereka, Ria. Ica dan Elle menunggu di salah satu restoran di sini, Ica mencoba menelepon Ria dan di angkat.

"Hal-"

"Kau ini di mana sih Ri? Aku sudah menunggumu di bandara hampir setengah jam, dan kenapa di sana terdengar ramai sekali," omel Ica.

"Haduh... Sorry ya, Ca, sepertinya aku tidak bisa menjemputmu, kalian naik taksi saja ya, aku sedang sibuk nih," ucap Ria di sebrang sana.

"Huh! Iya iya deh, harusnya aku juga mengerti, kau kan anggota FBI, jadi pasti kau banyak tugas."

"Sudah mantan, Ca, aku tidak bekerja lagi dengan mereka."

"Lah kenapa? Bukannya kau baru setahun masuk FBI, ada masalah?"

"Iya, Ca, nanti aku ceritakan setelah kau sampai di apartemenku, aku akan mengirimkan alamatnya padamu, kau datang saja ya, aku tutup ya. Sorry sekali lagi."

"Iya iya deh."

Tut.

"Bagaimana?" tanya Elle.

"Ria sedang sibuk, katanya dia tidak bisa menjemput kita. Kita naik taksi saja."

"Oke deh, yuk ah kita berangkat," aja Elle.

Ica menganggukย  dan ikut berdiri, mereka berjalan sambil menggeret kopernya.

๐Ÿ”—๐Ÿ”—๐Ÿ”“๐Ÿ”—๐Ÿ”—

Ica melongo saat membuka pintu apartemen sahabatnya, Ria. Ica melihat banyak anak kecil di dalam apartemen Ria.

"Ell, ini beneran apartemen Ria, kan? Kok seperti panti asuhan?" ucap Ica pada Elle.

Elle mengedikkan bahunya lalu masuk dan langsung menghampiri anak-anak yang ada di sini, anak-anak terlihat ketakutan saat Elle menghampirinya, mungkin karena penampilan Elle yang seperti brandalan dan rock.

Ica memilih menghampiri Ria yang sedang fokus pada komputernya yang ada di ruang keluarga.

"Ri, ada apa sih? Kok banyak anak-anak di sini, apa kau menjadikan apartemen ini menjadi panti asuhan?"

Ria berbalik. "Eh, Ca? Kau sudah sampai, Elle mana?"

"Biasalah, Elle kalau melihat anak kecil langsung saja di ajak main, padahal mereka terlihat ketakutan melihat penampilan Elle."

"Oh...."

"Ah iya, ini ada apa sih? Kenapa banyak anak kecil?" tanya Ica lalu duduk di sofa.

Ria ikut duduk di sofa dan menghela nafas. "Mereka anak-anak yang aku selamatkan saat aku bertugas, aku juga di keluarkan dari FBI karena tidak menuruti perintah ketua untuk mengejar musuh dan malah menyelamatkan anak-anak." Jelas Ria

"Lagi? Kau nya juga sih suka sekali membangkang perintah, jadi kau di keluarkan, anak-anak kan bisa di selamatkan oleh anggota lain, mereka juga tidak akan apa-apa jika di tinggal sebentar olehmu untuk mengejar musuh," ucap Ica.

Ria berdecak. "Tidak semudah itu, Ca ... Semua anggota mengejar penjahat yang melarikan diri, dan tinggal aku dan ketua di gedung itu. Ketua menyuruhku untuk mengejar penjahat itu, karena ketua yakin aku bisa menangkap penjahat itu dengan keahlianku, tapi aku bersikeras untuk menyelamatkan anak-anak, karena di gedung itu terpasang bom, Ca," ucap Ria menggebu gebu.

"BOM?"

"Iya Ca, sedangkan anak-anak masih di sekap saat penjahat itu kabur, aku memilih mengeluarkan anak-anak dari gedung itu sebelum bom itu meledak. Ketuaku juga lebih ikut mengejar penjahat itu daripada ikut menyelamatkan anak-anak, anak-anak itu yang telah di culik oleh penjahat yang menjadi buronan FBI."

"Kalau begitu kejadiannya sih, aku mengerti, kau sudah mengambil keputusan yang tepat." Ica menepuk pundak Ria bangga.

"Lagian, mereka sampai segitunya mengejar musuh, dan anehnya membuat markas di Indonesia, hanya untuk mengejar penjahat, memangnya penjahat internasional bisa masuk ke negara ini ya?" tanya Ica heran.

"Yaaaah kalau soal penjahat, mereka banyak yang tinggal di negara ini, mereka bersembunyi dan menyamar sebagai orang-orang biasa, mereka berbaur dan ada juga yang bersembunyi di tempat yang terpencil," jelas Ria.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Kau lupa ya aku ini siapa?"

"Hehe, iya iya aku tahu, jika saja kau menjadi polisi atau tentara atau masuk ke oraganisasi BIN (Badan Intelejen Negara) mungkin saja negara kita ini bakal aman, damai tentram, dan semua penjahat dan tukang korupsi masuk penjara semua," ucap Ica menggebu gebu.

Ria menghela nafas dan ikut duduk di sebelah Ica. "Kau tahu sendiri kan, Ca? Dulu aku sudah pernah mencoba masuk menjadi polisi, tapi aku gagal karena masalah-"

"Berat badan dan tinggi badan," sambung Ica.

"Nah itu kau tahu, kau kan tahu, aku tidak bisa menjaga pola makanku."

"Tapi meski tidak bisa menjaga pola makan, tubuhmu masih ideal, sama sepertiku."

"Diiiih aku tidak sama denganmu, kalau aku sih ideal, lah? Kalau kau? Makan saja banyak, tapi tubuhmu masih tetap cebol, tidak besar-besar, hahahahaha."

"Iiiih... Jahat! Aku ini bukan cebol, tapi imut," ucap Ica membuat Ria semakin tertawa.

"Hahahahaha, iya iya deh imut."

"Ah iya, kenapa kau tidak mencoba untuk masuk menjadi tentara? Fisikmu kuat, IQ mu tinggi, kau juga bisa menghack, apalagi kau jago dalam hal persenjataan, pasti akan di terima."

"Aku sudah pernah mencobanya," ucap Ria pendek, ada nada tidak enak yang Ica dengar.

"Lah? Terus? Kenapa kau sekarang tidak jadi tentara?"

"Aku sudah lulus dalam segala bidang saat tes, tapi tes terakhir yang membuatku mengundurkan diri,"

"Memangnya tes apa sampai kau menyerah?"

"Tes keperawanan," ucap Ria pelan.

"APA? Aku baru tahu ada tes begitu, bagaimana cara mengetesnya coba?" tanya Ica semakin heran.

"Aku dengar dari senior, caranya dengan memasukkan dua jari ke dalam alat kelamin untuk memastikan selaput dara utuh."

"What the? Pantas saja kau menyerah begitu, kenapa tak pernah cerita?"

"Aku malu untuk menceritakan hal seperti itu, jadi aku lebih baik diam, makannya aku saat itu lebih baik menyerah dari pada milikku di obok obok oleh orang, iuuuh... Menjijikkan, aku tidak mau di sentuh seintim itu!"

"Kau memilih pilihan yang tepat, kau sendirikan tidak suka di sentuh oleh sembarang orang, mana mungkin kau bisa di sentuh seintim itu, mungkin saja orang itu akan masuk rumah sakit duluan, atau langsung masuk kuburan,"

"Nah itu kau tahu, sudah ah sana, aku mau melanjutkan pencarianku lagi," usir Ria.

"Tunggu, satu lagi, kenapa kau tidak masuk BIN? Kau kan super cerdas, punya fisik kuat, bisa jaga rahasia,"

Ria berdiri dan menghela nafas. "Justru aku sedang menjaga rahasia diriku sendiri dari sahabat dan keluargaku sendiri yang kepo dan bawelnya minta ampun...."

"Hah? Maksudmu ... Jadi kau ...."

"Silahkan simpulkan saja sendiri, aku tidak bisa mengungkapkan pekerjaanku pada siapaun, sekali pun pada sahabat atau keluargaku."

Ria kembali duduk di depan komputer, Ica melongo, apa benar yang ada di pikirannya, bahwa Ria adalah salah satu agen rahasia di BIN? Apa mungkin?

"Ta-tapi jika kau agen BIN, untuk apa lagi kau masuk ke FBI?" tanya ica penasaran.

"Sorry Ca, aku tidak bisa menceritakannya padamu, itu salah satu misi rahasiaku."

"Yaaaah... Aku kan penasaran..." ucap Ica kecewa

"Sudah ah, kau anggap saja rumah sendiri, kalau mau makan masak saja sendiri, aku harus melanjutkan pencarian tentang keluarga anak-anak itu, aku rada kesusahan karena mereka lumayan banyak," ucap Ria.

Ica mengangguk dan menggeret kopernya, mencari kamar Ria.

๐Ÿ”—๐Ÿ”—๐Ÿ”’๐Ÿ”—๐Ÿ”—

Sudah 3 hari Ica tinggal di apartemen Ria, dia juga sudah mendapatkan pekerjaan sebagai chef di restoran yang lumayan terkenal, hari ini dia berencana datang ke kantor kekasihnya, Kevin.

Kekasihnya ini belum tahu kalau dia sudah pulang ke Indonesia, Ica akan memberikan kejutan pada Kevin, sudah 5 tahun mereka tidak bertemu, mereka hanya berkomunikasi lewat telepon dan video call saja selama 5 tahun ini. Tapi kadang dua bertemu dengan Kevin saat di London saat Kevin sedang berada di sana karena pekerjaan.

Dia dan Kevin sudah berpacaran sejak SMA, Ica bertemu dengan Kevin saat dia melakukan pertukaran pelajar di kota bersama para sahabatnya, Kevin lah satu-satunya pria yang dapat meluluhkan hatinya saat SMA sampai sekarang.

Sekarang ini Ica sedang membujuk Ria agar meminjamkan motornya padanya, dia belum punya kendaraan di sini, rencananya dia akan membeli motor, tapi nanti bareng dengan Elle dan Rissa.

"Ayolah, Ri ... Aku pinjam motornya, lagian kan, kau tidak akan ke mana-mana."

Ica terus mengikuti Ria ke manapun, ke dapur, ke kamar, ke ruang tamu, bahkan mengganggu pekerjaan Ria.

Ria menggeram. "Ica ... Oke oke, kau pakai saja motorku dan berhenti merecokiku!"

Ica bersorak senang, dia menerima kunci yang di berikan Ria lalu pergi dari apartemen Ria.

๐Ÿ”—๐Ÿ”—๐Ÿ”’๐Ÿ”—๐Ÿ”—

Tbc....

Inget ya... Cerita ini cuma fiksi dan imajinasi author, jadi jangan terlalu di anggap serius ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜Š. Oh iya, tentang syarat-syarat masuk ke kepolisian tentara dan BIN aku udah searching di mbah google.

avataravatar
Next chapter