webnovel

1. Diktator

Jangan jadi matahari jika tak adil menyinari. Jangan egois jika tak ingin kekurangan peduli. Semua punya hati, tapi bukan berarti tidak diselimuti benci.

-Kaia-

 

Aku hidup dianggap tak ada. Kubicara dirimu enggan bersuara. Kudiam sosokmu berkata-kata. Keadaan ini memang menyesakkan, karena kita tak bisa saling memahaminya.

-Gabriella-

 

 

***

 

"Beresin dandanan lo! Jangan kek banci!"

"Lo! Name tag lo mana?! Atribut tuh yang lengkap!" tunjuknya.

"Ini juga! Rok lo kependekkan! Mau cari laki lo!"

"Rambut lo yang bener! Jangan kek ayam!"

"Lipstik lo tebel! Abis disedot ikan lo!"

Teriakan sang ketua OSIS pun hampir memenuhi lapangan. Terlihat wajahnya memerah, dan kacamata mulai oleng karena sibuk menaik-turunkan kepala. Diiringi terik matahari namun tak mengganggu dirinya.

"Idiih ... si Os, marah mulu lo. Ntar cepet tua baru tau rasa lo," celetuk Alen begitu sosok itu berdiri di depan.

"Nyumpahin gue lo! Benerin dasi lo bego!"

"Anjir! Gue dikatain bego!"

"Rasain lo!" Edgar tampak puas karena Alen sang sahabat dimarahi. Tapi tiba-tiba, "anying! Sakit bangs—"

"Apa?!" tantang Oscar sambil melepaskan cengkeraman yang menarik rambut temannya. "Lo cowok apa cewek! Benerin rambut lo sekarang kalau gak gue cincang!" dengan tangan meraih gunting yang dibawa salah satu anggota OSIS.

"Eh! Eh! Mau apa lo!" syok Edgar lalu bersembunyi di belakang Alen. "Jangan gila bego!"

"Lo yang gila! Sekolah rambut panjang. Lo pikir lo cantik, potong!" kesalnya dan melempar benda itu. Dengan sigap Alen pun menangkapnya. Padahal masih pagi, tapi ketua OSIS itu sudah dibuat emosi.

Dan entah kenapa dirinya tak terlihat telah kehabisan tenaga setelah upacara tadi. Membuat beberapa siswa yang akan dihukum diam-diam memasang tampang mencibir. Walaupun dominan siswa laki-laki pelakunya.

"Rasain! Makan tuh! Makan!" Alen yang mengangkat gunting itu ke atas bahu pun terkekeh.

Tapi lain halnya Edgar. Ia malah memanyunkan bibir, lalu menoleh pada seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka. "Bos," gumamnya sambil memainkan mata melirik Oscar. Tapi sosok yang dikode hanya tersenyum dan mengangkat bahu sekilas. "Anjir! Si bos gak berguna banget!"

"Rasain lo! Cincang aja tuh rambut! Cincang!" Alen pun tertawa puas melihatnya. Ia begitu senang karena bisa meledek Edgar. Tapi lagi-lagi ocehan ketua OSIS mengalihkan perhatian mereka.

"Ngapain lo di sini? Atribut lo kan lengkap!"

Roma yang ditanya hanya menatap datar ke arahnya. "Topi."

"Eh, ah. Lo gak ada topi. Baru sadar gue," suara Oscar melunak sambil memerhatikan kepala sang pemuda. "Eh, bukan itu! Topi lo mana bego!"

"Ketinggalan."

Singkat, padat, dan jelas. Begitulah Roma kalau berbicara. Wajahnya juga memamerkan ekspresi menyebalkan saking datarnya. Padahal ia tampan, hidung bangir, bibir tak terlalu tebal namun terlihat sangat sehat untuk digoda. Potongan rambut coklat gelap yang tak begitu pendek, juga tatapan bak elang mengantuk selalu menghiasi diri.

Dan jangan lupakan dada bidang serta parfum beraroma klasik untuk memanjakan khayalan para penikmat yang ingin memeluknya.

"Ah ..." jengkel pimpinan OSIS itu sambil mengusap kasar rambut. Sungguh ia frustrasi, karena teman-temannya selalu bermasalah. Ingat, selalu! Bahkan dalam sehari di sekolah ada-ada saja jenis pelanggaran mereka dan dirinya harus siaga menghukumnya. "Gue gak mau tahu, sekarang kalian lari lima putaran. Cepat!"

"Anjir! Diktator bener nih bocah! Lo mau bikin kita keringatan, masih pagi nih!" gerutu Edgar tak terima.

"Iya nih! Udah tadi panas-panasan pas upacara, emang gak punya hati lo jadi temen," Alen ikut menimpali.

"Temen-temen, lo pikir gue peduli? Jangan banyak bacot, lari! Atau hukumannya mau gue tambahin lagi?!" ancamnya dengan mata melotot penuh emosi. Sontak beberapa siswa pun menatap takut ke arahnya.

"Eh! Jangan, Ketua. Siap! Kami lari!" salah seorang anggota OSIS yang juga lupa membawa topi pun langsung kabur dari sana. Menuruti hukuman atau mereka akan semakin menderita jika terus buang-buang waktu di hadapan sang pimpinan.

Oscar Fujioka. Blasteran Jepang dari nenek pihak ayah. Pecinta anime dan game namun absurd aslinya. Entah apa yang dilihat para guru sampai-sampai begitu menyanjung sang pemuda.

Tipe keras di luar lunak di dalam. Murid teladan penuh kehormatan, aslinya nista tak tertahankan. Begitulah tampilan penuh tipu muslihat yang hanya bisa diketahui para sahabat. Sungguh sosoknya tipe polos-polos bangsat jika dilihat ukiran rupanya.

"Sialan! Mentang-mentang Ketos! Penyalahgunaan kekuasaan nih!" gerutu Edgar.

"Iya tuh! Gue bogem juga tuh anak!" Alen ikut menyetujui. Dengan mata masih mencuri-curi pandang pada Oscar. Tapi tiba-tiba Roma menyelonong melewati mereka.

"Eh, Jangkung! Main dulu-dulu aja lo!" sosok yang disela pun menoleh ke belakang.

"Berisik," ucapnya datar dan meninggalkan keduanya.

"Idiih! Sok ganteng lo!" cibir Edgar dengan sudut bibir terangkat.

"Emang dia ganteng," Alen yang bersuara malah mendapat tatapan sinis. Entah kenapa hati Edgar menjadi jengkel mendengarnya.

"Suka lo sama dia!"

"Anying! Lo kira gue homo!" pemuda itu pun melotot.

"Ya kali, lo kan jomblo!"

"Sialan lo!" tiba-tiba tangan Alen pun menjambak rambut Edgar. Membuat sang pemuda terpekik kesakitan dan menorehkan tatapan tajam. 

"Sakit bego!"

Mendengar hal itu, Alen malah memamerkan muka tak berdosa. Dan akhirnya pertengkaran mereka pun tak dapat dielakkan. Ben yang melihat ulah dua anggota gengnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Maksud hati ingin menunggu sebagai teman yang baik dan benar. Nyatanya semua sia-sia.

Sementara Ellio yang berdiri di sebelah tidak bisa berhenti tertawa, apalagi setelah tahu kalau Oscar kembali menghukum keduanya.

Jujur Ben yang mendengar tawa mirip spesies horor itu serasa ingin pusing sekarang. Langsung ditutupnya kuping berharap sang gendang telinga tak berdenging akibat penyusupan bising Ellio si gila.

Sedangkan Edgar tampak berusaha keras mengeluarkan rayuan tak bergunanya, berharap bisa meluluhkan hati kotor ketua OSIS SMA Astoris Panama setelah pertengkarannya barusan.

"Os, lo kok gitu sih. Gak kasian lo sama gue, kita temen seperjuangan lho. Masa iya lo suruh gue bersihin toilet. Apa kata dunia?! Luntur nih kegantengan gue!"

"Iya nih! Apa gunanya punya temen Ketos tapi tega?! Kasih keringanan kek! Lo gak berguna banget!" cerca Alen tanpa peduli tatapan jengah orang-orang di sekitar.

Sang ketua OSIS yang dirundung ocehan tak berbobot itu pun mulai memijat pelipis.

"Nah, pusing kan lo. Marah-marah mulu sih! Udah sana, masuk kelas. Belajar yang baik dan benar. Oke!" bujuk Edgar sambil mengusap-usap bahu Oscar.

Tapi yang ada pemuda itu malah kembali melotot padanya. "Win!" panggilnya tiba-tiba.

"Ya, Os!" Cewek yang berkedudukan sebagai sekretaris OSIS itu pun berdiri di sebelahnya. "Ada apa?"

"Mana buku hukuman? Suruh mereka isi sekarang."

"Lho, buat apaan?" kaget Edgar.

"Ya lo tulislah nama lo bego! Biar gua tau udah berapa banyak pelanggaran yang lo buat!"

Anak-anak yang sudah menyelesaikan hukuman pun menatap miris pada mereka. Karena kalau sampai nama para siswa sering bermunculan dalam buku menyebalkan itu, siap-siap saja dengan neraka sang ketua OSIS yang terkenal keji.

Hukumannya bukan sekadar membersihkan sampah-sampah di sekolah. Tapi jadi babu OSIS berminggu-minggu pun akan dilakukan. Terlebih parahnya lagi, para guru setuju saja pada keputusannya. Memang bocah bermodal silat lidah, entah bagaimana caranya mencuci otak para pembimbing di sana sampai-sampai penangguhan nilai rapor juga nasib kelulusan pun akan terkena dampaknya.

Uang jajan melayang mental terkadang juga ikutan mengambang.

Begitulah tingkat kedisiplinan SMA Astoris Panama. Dan semua karena ulah ketua OSIS laknatnya. Seolah-olah dia punya tahta tinggi untuk menghakimi mental dan fisik murid selain guru BK.

"Salut deh sama Oscar. Gak pernah beda-bedain temen, semua kena hukuman sama dia."

Gabriella pun menoleh pada sosok yang berbicara. Tampak di mata rupa paling menyebalkan dalam hidupnya. "Cih!" decihnya tiba-tiba dan beranjak dari sana.

"Kamu masih marah karena yang tadi."

"Diem lo anak pungut!"

Irena pun tersentak karenanya. "Gue bukan anak pungut ya, jaga bicara lo!"

"Nyenyenye," cibirnya. "Berisik lo dasar miskin!"

Tapi sosok itu malah mencengkeram lengannya. "Jaga bicara lo! Lo mau gue aduin ke papa! Asal lo tau ya, gue itu anak kandung. Ingat itu!" tunjuknya dengan tampang geram.

Sayangnya Gabriella tak mengindahkan peringatan Irena. Sontak saja ia dorong gadis itu sehingga mundur beberapa langkah.

"Agh! Lo apa-apaan sih!" kesalnya tak terima.

"Halah lebay! Dorong dikit teriak, jatuh aja sekalian ke bawah biar lo cepetan mati!" selesai mengatakan itu sosoknya pun pergi dari sana, mengabaikan tatapan serta bisik-bisik murid di sekitarnya.

Jangan lupa mampir juga di 'Pesona Wanita Terkutuk' dijamin dag dig dug serrr lho!

Isqacreators' thoughts
Next chapter