webnovel

Project (-1): From The Underrated - Memory 0 [Indonesia Version]

Menceritakan seorang Kreator yang terjebak di sebuah dunia, yang sebenarnya ia mengenal dunia tersebut. Dunia itu adalah dunia fiksi buatannya, namun dunia itu berantakan karena mengalami korupsi yang membuat memori-memori di dunia tersebut terganggu. Kreator yang baru saja terdampar di dunia tersebut tidak tahu apa yang terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan segalanya tentang keberadaan Kreator, begitu pula dengan keberandaan dunia tersebut masih dipertanyakan. Salah satu masalah yang Kreator temui adalah hubungan antara dia sendiri dan karakter-karakter di dunia tersebut. Hingga selang beberapa waktu setelah Kreator tiba di dunia itu, tercipta beberapa kubu yang terutama ada 2 kubu utama yang saling bertentangan karena gangguan memori yang lebih menjadi-jadi, bahkan di antara mereka kehilangan memori mengenai siapa Kreator yang sesungguhnya, menjadikan rumor besar bahwa adanya Kreator yang asli dan yang palsu. Dipercaya kunci masalah di dunia tersebut memang hanyalah dari Kreator, namun solusi-solusi yang ada masih dipertanyakan untuk menuntaskan masalah tersebut. Ada pun kubu ke-3 yang netral, tidak mendukung keduanya namun mereka mengikuti apa yang seharusnya dari bayang-bayang kedua kubu tersebut. Selanjutnya, bagaimana sang kreator akan menyelesaikan masalah pada dunia ciptaannya sendiri? Dalam satu kesadaran terdapat berbagai kesadaran lainnya yang tercipta, membuat berbagai pikiran saling bertentangan satu sama lain. Ini lah cerita tentang satu orang yang harus menghadapi dirinya sendiri. "Dunia fiksi tercipta karena kita tidak bisa menerima realita. Ini bukan soal lemah atau kuatnya kita menerima realita, namun ini soal bagaimana jiwa seseorang bisa hidup nyaman walau di dunia yang sangat menyakitkan ini. Namun… apa jadinya jika dunia fiksi yang kita ciptakan malah menjadi musuh terbesar dan menentang keberadaan kita sendiri?”

Zyon7x · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

Memory 0 “Pertanda di Dunia Fiksi”

Malam hari yang tenang... tapi tidak juga, masih terdengar suara kendaraan lalu lalang di depan rumahnya. Walau begitu, hari-hari ini sudah seperti biasa baginya. Setidaknya tidak ada gempa bumi hari ini, itu lah yang dia pikirkan.

Seorang laki-laki berumur 20 tahun, anak kuliahan, berjenggot dan berkumis—oh dia baru saja mencukur kumisnya tadi pagi, ya itu membuatnya terlihat lebih muda, setidaknya. Rambut hitam cukup berponi, mata hitam, berwajah Asia-Indo. Mengenakan kaus putih dan celana abu panjang.

Orang ini mencoba mencari jam dinding di dalam kamarnya, namun tidak ada. Dia sadar kalau dia tidak memerlukan jam dinding, karena dia bisa melihat jam yang ditampilakan di monitor komputernya tepat di depan matanya.

"Oh… jam 10 malam. Aku harus tidur." Gunamnya.

Tapi dia ingat ada sesuatu yang penting—setidaknya penting bagi dirinya sebelum dia benar-benar boleh tidur. Yah, tidak lain adalah…

"Ahh… aku harus daily dulu, aku belum menyelesaikan 4 komisi di game gacha RPG ini. Demi karakter yang wangy wangy, ku kumpulkan gem-gem ini untuk bisa pull untukmu!"

Ya, aktifitas rutin semenjak satu tahun lalu. Semenjak game itu rilis, orang ini selalu memainkan gamenya setiap hari. Benar-benar tipikal orang yang… begitulah.

Tidak perlu banyak informasi mengenai orang yang satu ini, dia hanyalah seorang yang mengklaim dirinya seorang artist atau bisa juga disebut illustrator. Tentu saja dia menggambar, hanya saja hari ini…

"Buset misi ngancurin muatan lagi? Aku lebih suka misi ngancurin 2 tower musuh itu terus lari, itu lebih gampang."

Ah.. hahaha… mungkin dia sedang lelah dan menurunkan stress dengan bermain game. Tenang saja, pasti dia akan melanjutkan gambarny—

"Oh ya, aku baru ingat. Aku punya WIP dari 5 hari yang lalu… eh bukan, seminggu keknya? Au ah, lanjut besok."

O-ok, harus diakui bahwa… dia malas. YA! Tapi kemalasannya ini tentu saja bukan dari faktor-faktor kecil, namun karena dia sadar akan terbebaninya dia dengan kehidupannya sekarang.

Kenyataannya, dia adalah seorang guru—Yes, dia adalah guru les matematika dan bahasa Inggris. Orang yang kalian lihat, ya benar! Orang yang sedang bermain game dengan gachanya itu adalah seorang guru les untuk anak-anak SD.

Senin sampai sabtu, jam 9 pagi hingga jam 11 kadang sampai jam 12 siang. Itu cukup membuatnya ambruk, apa lagi dia pernah mengajari anak-anak kecil yang yah… nakal bin ajaib, cukup membuat kepalanya terbakar.

Yeah~ moodnya tidak akan bertahan lama untuk melanjutkan gambar setelah mengajar. Dan kita belum sampai di sana, masih ada jam mengajar pada sore hari selama 1 jam. Dari jam 4 hingga jam 5 sore, setiap selasa, kamis, jumat dan sabtu.

Bayangkan, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan moodnya, sangat sedikit. Setidaknya dia perlu 2-3 jam untuk memulihkan moodnya, tentu saja salah satunya dengan bermain game dan kadang menonton video di internet. Namun karena jam mengajar sore otomatis moodnya turun lagi setelah mengajar.

Boom—mood hilang. Mungkin dia memiliki skill… maksudku, skill yang cukup. Tidak terlalu pro juga namun juga tidak amatiran, setidaknya dia mempercayai hal itu. Gambar tanpa mood hanya membuatnya semakin gila. Maksudku, bukan gila sampai banting-banting alat gambarnya, GAK, BUKAN GITU.

Maksudku, gilanya dalam hal lain, seperti dia terus berteriak hal yang tidak jelas saat menggambar, a-atau dia mulai mencoba menggambar, namun gambarnya seperti corat-coret ala pisikopat—itu membuatku berpikir dua kali bahwa orang ini benar-benar gila beneran, dalam hal mental.

Ah, sudah lah tidak usah membicarakan hal-hal lebih dalam mengenai ini. Pokoknya kita sudah tahu bahwa Kreator satu ini tidak bisa menggambar karena faktor yang telah disebutkan.

Namun ada juga faktor lain yang sebenarnya lebih jelas mengapa dia malas menggambar—bahkan bukan hanya menggambar sebenarnya, ada cerita yang harus dia tulis. Impiannya bukan hanya menggambar sebuah gambar untuk hidup, namun juga menulis cerita dari karakter-karakter yang ia gambar selama ini.

Yah… bahkan dia bisa lebih egois lagi mengenai mimpinya, jika dia bisa, dia ingin membuat animasi atau bahkan game yang bisa dinikmati banyak orang. Setidaknya dia bisa bermimpi, namun yang menjadi pertanyaan adalah…

"Apakah aku sudah berjuang cukup keras?"

Sembari menutup aplikasi gamenya. Melihat Pen Tablet miliknya. Dia menyadari kalau dia tidak bisa seperti ini terus. Tapi juga dia merasa sudah cukup terbebani oleh semua ini. Mungkin di masa lalu saat gambarnya masih tidak bagus, dia sangat rajin dan menggambar juga menulis cerita hampir setiap hari. Tapi karena dia menyadari saat dewasa semua yang dia kerjakan tidak terlalu menghasilkan hasil yang puas… dia menjadi seperti ini.

Burnout, itu yang dikatakan orang-orang. Semacam semangat yang sudah habis terbakar, kini sudah hanya ada sisa abu dari pembakaran tersebut. Terlebih lagi saat dia dewasa sekarang, dia mempunyai pekerjaan yang mungkin dia menjadi berpikir kalau dia tidak perlu berkarya setiap hari.

Menjadi guru les, salah satu faktor yang membuatnya lelah. Dan juga faktor lainnya adalah…

"Huh… yang react cuman tiga puluhan lagi. Tidak bisa lebih dari ini. Yang komen… ahaha, orang itu lagi dong." Sembari melihat media sosial di ponsel yang ia genggam.

Yah… seperti yang dikatakan sebelumnya, ketidakpuasan itu adalah seperti ini. Walau dia sudah berusaha menunjukkan karyanya kepada dunia, namun hanya sedikit yang mendukungnya. Di sisi lain dia juga sadar, ada kelemahan bagi dirinya sendiri.

"Uhh… a-aku harus balas komennya gimana yah. Ugh… aku—aku hanya akan memberi react pada komennya saja lah…"

Dia tidak pandai bersosialisasi, bahkan di media sosial sekali pun di mana identitasnya lebih tertutup. Dia punya teman, tapi hanya sedikit. Dia tidak pandai bicara, atau lebih tepatnya—takut. Hal ini karena di masa lalu, dia pernah mengomentari suatu postingan milik temannya… namun komen tersebut menjadi perdebatan hingga pertemanan di sosial mereka menjadi canggung dan akhirnya dia tidak pernah berinteraksi dengannya lagi. Atau mungkin… dia mengira temannya itu sudah membuang pertemanan di media sosialnya.

Dari kejadian itu, dia menjadi lebih pasif. Dia hanya akan berinteraksi jika dia pikir aman untuk melakukannya di suatu postingan milik teman-temannya di media sosial.

Huh… bahkan orang-orang di jaman sekarang sangat mudah memasukan perasaan walau hanya di media digital. Ada pula yang ia rasakan… sebaliknya saat dia mengagumi seseorang.

"Ah… benar-benar deh aku dikacangin. Ampas bener akunku."

Dia bisa menjadi seperti itu… karena juga dulunya dia sering memberi komentar di postingan yang dibuat oleh orang yang dikaguminya, katakanlah orang itu memposting gambar yang sangat bagus. Namun, komentar miliknya tidak dibalas sama sekali, walau sudah beberapa kali memberi komentar di postingan milik orang yang ia kagumi.

Dia merasa sedih, namun juga sadar diri kalau dia bukan siapa-siapa bagi mereka yang ada di atas sana. Di saat bersamaan, dia berpikir orang-orang seperti itu juga mirip seperti dirinya. Di saat teman-temannya berkomentar, dia tidak membalas komentar mereka. Bukan karena tidak peduli, tapi bingung harus membalas apa agar tidak menyakiti perasaan temannya lewat komentar yang ia berikan. Pada akhirnya, dia tidak sama sekali membalasnya, sama halnya seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang dia kagumi.

"Ah… tapi mereka wajar kalau tidak mempedulikanku karena mereka sudah jelas mempunyai nama yang besar. Tapi bagi diriku yang bukan apa-apa… apakah aku pantas tidak mempedulikan dukungan mereka?"

Yah, itu lah yang dia pikirkan. Lantas orang-orang itu wajar tidak mempedulikan beberapa komentarnya karena saking banyaknya pengikut dan penggamarnya. Namun bagi dia, mendapatkan interaksi juga sudah sangat sulit, untuk komentar yang jelas dapat dihitung jumlahnya, apakah dia pantas untuk membiarkannya begitu saja?

"Aku tahu kalau aku harus berusaha… tapi—"

Hanya karena dia tidak bisa bersosialisasi, dia tidak dapat banyak dukungan. Hanya karena dia mempunyai ketakutan akan masa lalu, dia menghindari orang-orang… bukan karena kemauannya tapi dia tidak ingin kehilangan temannya seperti waktu itu.

Bahkan dia sering kesal saat melihat postingan milik orang lain yang lebih banyak mendapatkan interaksi, namun dia sadar bahwa gambar milik orang itu lebih jelek dibandingkan milik dia sendiri. Dia tidak bisa menerima hal itu, di saat yang sama dia sadar akan reputasinya.

Walaupun gambar dia lebih bagus, tanpa reputasi itu bukan lah apa-apa. Dia tahu akan hal itu, kadang marah akan ketidakadilan tersebut. Jika dia punya reputasi, aku punya skill, seharusnya kita seimbang, begitu yang ia pikirkan.

Tapi nyatanya tidak. Dia selalu kesal setiap melihat gambar-gambar milik orang lain yang lebih jelek darinya, namun lebih ramai dibandingkan gambar miliknya.

Siapa yang harus disalahkan? Dirinya? Atau masa lalunya? Dia bisa saja berinteraksi, mungkin itu yang dipikirkan orang-orang. Namun dia tahu sendiri mempunyai trauma di masa lalu yang membuatnya kehilangan temannya karena interaksinya, sementara orang tidak tahu.

"Gambarku lebih bagus, kenapa kalian tidak melihatku—"

Dia bergunam, tapi sadar sesaat kemudian. Itu bukanlah pikiran yang positif, itu hal yang egois untuk dikatakan jika seseorang mendengarnya. Untung saja, tidak ada siapa pun di kamar itu.

"Hah… yah. Aku tidak bisa memaksa kehendak orang lain. Hahaha… aku tidak pantas berkata begitu di kala aku tidak punya bakat menggambar sejak dulu."

Tidak punya bakat, namun kenapa dia menyukai menggambar?

"Aku… suka menggambar, karena aku bisa lebih merealisasikan dunia fiksi yang aku inginkan. Lalu, aku menulis cerita-cerita karakter yang keren dan cantik, seakan-akan aku bisa hidup di sana menyaksikan kehidupan yang aku inginkan."

Dia hidup di realita, di mana juga dia mencoba menciptakan dunia fiksinya sendiri agar setidaknya dia bisa hidup nyaman. Di sisi lain juga, dia ingin cerita-cerita yang ia tulis bisa dibaca oleh orang lain.

"Jika orang-orang terus membaca cerita dan menyukai gambarku, memori-memori kehidupkan dunia fiksi ini akan terus hidup di masa depan walau suatu saat nanti aku akan hilang di dunia ini."

Sembari menundukkan kepalanya di hadapan monitor komputer yang perlahan mati. Dia mencabut kabel listrik komputernya, lalu menuju kasurnya untuk tidur. Tak lupa mematikan lampu kamarnya.

Kini kamarnya gelap, dan dia berbaring, menutupi badannya dengan selimut. Menghadap atap yang sebenarnya tidak terlihat karena kegelapan.

"Seharusnya… aku lebih berjuang lagi. Hei… OC-OCku, jika aku hilang, apakah kalian akan membenciku karena tidak bisa mewujudkan mimpiku? Jika aku tidak bisa membuat memori tentang kalian di memori orang lain, maka kalian juga akan hilang bersamaku. Selamanya."

Dia pun menutup matanya untuk tidur. Ini lah keseharian seorang kreator, kurang lebih. Selalu dihantui oleh pertanyaan tentang masa depan dia. Apakah dia sudah terlalu tua untuk mewujudkan mimpinya? Apakah dia sudah terlalu terlambat untuk mewujudkan mimpinya?

Tapi dia percaya… jika dia menanggapinya seperti itu, baginya itu bukan lah bagaimana harapan bekerja. Dia percaya, walau di usia sekarang mimpinya masih mempunyai kesempatan untuk terwujud. Memori-memori tentang cerita dan karakter yang dia buat, bukan lah hanya sekedar cerita dan karakter semata, namun teman imajinasi untuk menempuh realita yang cukup pahit baginya.

Jadi selama ini, dia hanya ingin memori-memori ini akan terus hidup walaupun nanti dia tahu dia akan berhenti bernafas di dunia ini. Cerita ini akan hidup di memori-memori orang lain, berharap bisa diambil pelajaran yang baik dan mencegah hal buruk yang terjadi dari cerita yang dia tulis.

Ini lah… harapan dari seorang kreator satu ini. Maka dari itu—

Pada malam ini, adalah malam yang spesial, yang mungkin… bisa merubah kehidupannya yang bisa dipelajari dari perjalanan dunia fiksi. Mari kita buang dulu rasa pahit di dunia realita dan nikmati petualangan fiksi—yang mungkin di dalamnya juga ada sama-sama rasa pahit dan penderitaan. Bukan untuk menjadi pelampiasan, namun untuk dipelajari.

Angin meniup sangat kencang, dia merasa ini hanya angin malam yang menembus jendela kamarnya. Namun anehnya, dia mulai menyadari bahwa dari balik kulit matanya yang tertutup terasa terang. Dia kira, ayahnya menyalakan lampu kamarnya, seperti kadang-kadang ayahnya membangunkan dia.

"Ahh… papah, lampunya matiin lagi kalau udah abis dari kamar dong…"

Selimut yang dia rasakan sekarang hilang. Dia mulai merasa kedinginan, namun juga dinginnya terasa bukan seperti di malam hari. Dingin ini terasa seperti dari angin yang menghembus, dan ada terlebih lagi ada hawa hangat seperti di siang hari. Matanya mulai merasa ini bukan dari cahaya lampu, namun—

"Uhh…? Kok rasanya aneh ya, kasur gak kerasa, selimut kek hilang… ini pasti dah mimpi—kan?" sambil mengusap mata, dan membukanya perlahan.

Dia mendapati kalau dia sedang terbang.

"Wow… mataharinya kek deket sekali. Dan aku terjun?"

Dia melihat ke bawah, dan ternyata dugaannya benar.

"Woah… mimpi terjun, pasti bakal kaget nih terus tiba-tiba bangun."

Dengan santainya berkata seperti itu—tapi sepertinya belum ada yang memberi tahunya kalau sebenarnya… ini berbeda dari mimpi. Dan juga, kenapa dia bisa berbicara seperti itu?

Lama kelamaan, dia mulai merasa aneh. NAH GITU DONG. Akhirnya sadar juga dia, bahwa ada sesuatu yang aneh dari apa yang dia rasakan.

Dia sudah terjun terlalu lama, namun dia juga baru sadar bahwa kesadarannya itu terasa nyata, biasanya mimpi yang dia rasakan sangat ringan sekaligus berat. Dia sedikit bingung juga memikirkan hal itu.

"Oh wait… tadi aku bilang apa? Seharusnya aku tidak bilang sebuah mimpi dalam mimpi, karena biasanya seingatku aku tidak bisa menyebutnya mimpi karena aku tidak sadar bahwa aku sedang di dalam mimpi… namun sekarang berbeda. Kenapa aku bisa menyebut ini mimpi? Dan juga aku bisa sadar aku menyebutnya mimpi???"

Hal ini… tidak bisa menyelesaikan masalah apa pun. Dia sedang terjun ke permukaan, dan sebentar lagi dia akan menghantamnya. Dan keputusan yang dia ambil adalah—

Slap!

Dia menampar dirinya sendiri, dan merasa sakit.

"What the f… kok???"

Dia bingung. Dia merasa sakit karena tamparannya dan sakitnya benar-benar terasa seperti nyata. Juga, dia berharap langsung berada di atas kasur dengan ruangan gelap. Namun langit terang ini masih terlihat. Melihat sekitar, dia sudah hampir mencapai permukaan, dataran luas terlihat jelas sekarang.

"Ok—waktunya untuk teriak."

Lalu dia mengambil nafas.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼‼"

Teriakannya terdengar sangat bodoh, seperti tidak percaya bahwa ini adalah mimpi namun juga dia berharap semua ini mimpi.

Di saat yang sama juga, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari langit selain dirinya. Seperti bintang jatuh berwarna hitam, namun sesuatu itu lebih cepat jatuh ke permukaan lalu melewatinya tepat beberapa meter dari dia, sekejab sudah lebih dahulu mendarat.

"Njir!? Apa itu?"

Lalu tiba-tiba udara sekitar terasa aneh. Perlahan tekanan udara lebih ringan, lalu muncul pusaran yang hampir kasat mata muncul di bawahnya. Seperti gelombang yang menekan balik udara ke atas, dengan begini dia turun menjadi lebih lambat.

"Eh? Kok tiba-tiba jadi lambat?"

Dia terus kebingungan. Saking bingungnya, bokongnya sudah mendarat di permukaan tanah.

"Aduh—!"

Benturan kecil di bokongnya, tapi hal itu masih belum mengalihkan pikirannya tentang apa yang terjadi sekarang. Dia masih bingung, JELAS SANGAT BINGUNG.

Dia sadar kalau ada sesuatu yang jatuh tadi, dan melihat ke sekitar. Dia mulai memutari pandangannya, melihat dunia yang belum dia pernah lihat secara nyata bagi matanya.

"Dimana ini…???"

Mulai dari padang rumput yang luas, gunung dan bukit yang bentuknya sangat unik dengan benda-benda aneh terbang di langit. Hutan bahkan terlihat seperti sebuah gedung-gedung kota dengan cahaya-cahaya biru yang memikat. Lalu menara dengan kubah—yang sedikit familiar dengannya.

"Menara itu… rasanya, aku pernah lihat. Menara yang besar dan tinggi… dengan kubah yang aneh."

Dia terpukau akan dunia yang dia lihat saat ini. Saking terpukaunya, dia tidak sadar ada yang mendekatinya dari depan. Lalu muncul telapak tangan di pandangannya.

"Oi~"

"Eh… apa?" sembari melihat ke bawah.

Dia mendapati sesosok seperti anak kecil yang mengenakan baju atau jubah panjang berwarna hitam. Semuanya serba hitam, mulai dari rambutnya dan matanya kecuali kulitnya yang berwana putih.

Sesosok itu memandangi dia dari atas hingga ke bawah, lalu dia terlihat seperti berpikir.

"Hmmm… apakah kamu yang asli, atau yang palsu ya?"

Sementara dia kebingungan tentang apa yang sedang dia lakukan, dan apa yang sedang terjadi.

"Uhh… hai?" dia menyapanya.

Sosok itu meliriknya ketika disapa. Namun dia sekarang menjaga jarak.

"Hai… kamu yang asli, atau yang palsu?"

Sosok itu mengulang pertanyaan yang dia sebutkan sebelumnya. Sementara dia bingung apa yang dimaksud asli dan palsu dari sosok itu. Dengan polosnya, dia menjawab pertanyaan yang asal yang baru saja muncul di otaknya.

"Ya… aku juga gak tau aku asli atau ngak. Aku baru aja nyampe di dunia… apa ini? Au gak tau, pokoknya sama sekali gak tau."

Mata sesosok itu terbuka lebar. Dia seperti menemukan apa yang dia cari dari ekspresinya. Rasanya sangat familiar mendengar hal itu.

"Kamu… asli!" sambil menunjuk dia.

"Heh…? Kok bisa gitu?" sembari menggaruk kepala.

"Aku juga tidak tahu… namun aku merasakan kalau kamu adalah asli. Mungkin, ini adalah sebagian dari memori yang hilang itu…"

"Lah kok…? Eh, tadi apa katamu, memori hilang?"

Di antara kebingungan dan penasaran, dia mengamati sesosok itu dan bertanya-tanya tentang memori yang dia bicarakan. Di sisi lain, penampilan sosok itu cukup familiar juga baginya, hanya saja dia merasa deja vu atau semacamnya.

"Kamu… pakaianmu, aneh tapi tidak juga aneh bagiku—maksudku aku pernah lihat sebelumnya. Apa cosplay? Jubah hitam, rambut hitam, mata hitam. Jika muncul dalam mimpi, seharusnya aku pernah melihatnya di dunia nyata, kan?"

Sesosok itu memiringkan kepalanya dengan tatapan penasaran.

"Mimpi? Jadi Kreator menganggap ini mimpi ya?"

"Entahlah… tapi seharusnya ini mimpi karena sebelumnya aku baru saja tidu—tunggu… Kreator?"

Sekejab, dia berpikir. Kenapa dia memanggil dirinya Kreator. Karena dia merasa cukup informasi sekarang, kenapa dia memanggilnya Kreator, dia dengan percaya diri memperkenalkan dirinya.

"Tentu saja! Aku adalah—"

"Tidak, tidak… jangan bilang kamu adalah Kreator ampas dan menganggapku klienmu yang akan memesan komisimu yang tidak pernah laku." Sosok itu memotong perkataannya.

"Eh—!?" dia bingung.

"Hah…?" sosok ini pun bingung.

"…"

"…"

Keduanya bingung.

"Ti—bukan! Itu bukan yang aku bakal ngomongin." Ungkapnya.

"Lah… terus apa? Biasanya karakter utama dalam cerita setelah dibuang ke dunia lain, atau mereka menyebutnya Isekai, akan seperti orang bodoh bertanya-tanya ada apa yang terjadi di dunia ini, dan dengan polosnya tidak tahu kalau kamu sedang masalah besar, dan berkata WAH AKU ADA DI DUNIA LAIN, DAN AKU AKAN MEMBUNUH NAGA DAN DEWA UNTUK MENYELAMATKAN DUNIA, begitu kira-kira. Dan tambahan, dia berencana untuk nge-harem"

Dia menatap sosok itu, dengan seribu keheningan, lalu diikuti dengan suara tawa.

"Pfffffftttttttttt......‼‼‼‼‼"

"???" sosok itu kebingungan.

"BAHWAHAHAHAHAHAH‼‼ ANJIR KOK—KACO‼!"

"Ehhhh…??? K-kenapa ketawa?"

"Kamu bisa nge-joke juga rupanya… ah, tapi aku ingat membuat karaktermu sangat polos sekaligus jenius di saat yang sama."

"Aku tidak mengerti apa maksudmu—Kreator, apa yang kamu katakan tadi? Karakter…ku"

Sosok itu akhirnya sadar kalau seharusnya dia sadar akan dirinya. Sementara dia, Kreator—mengusap air mata tawanya dan mencoba bernafas.

"Ahahaha… tentu saja aku sadar diri toh. Kamu adalah karakterku—OCku, Zero."

Sosok itu, Zero, matanya terbuka lebar, di saat bersamaan terpukau dan senang akan kedatangan Kreatornya.

"Kreator… jadi kamu benar-benar asli?"

"Hah… aku tadi mau bilang, tentu saja aku adalah Kreatormu. Aku sangat kenal denganmu… yah walaupun sekarang tampangmu lebih nyata dibandingkan lewat ilustrasi yang aku gambar dengan style anime."

Kreator tersenyum lebar, sembari menelaah sosok Zero sekali lagi. Dia benar-benar tidak percaya telah berbicara dengan karakter yang dia buat sendiri dalam mimpinya—setidaknya itu yang dia percayai.

"Yah… walaupun tadi kata-katamu benar dan menyakitkan, ahahaha… aku masih menjadi Kreator yang ampas. TENTU SAJA—komisiku sepi." Sembari memalingkan kepalanya dari Zero.

Mendengar hal itu, Zero langsung menundukkan kepalanya dan meminta maaf.

"Ahh…! A-aku sungguh minta maaf mengenai hal itu. Ku kira Kreator akan lebih polos seperti MC yang ada di plot anime."

"Hei! Jangan samakan aku dengan MC anime Isekai yang ampas itu, aku sadar diri kok—walaupun aku tahu mungkin aku akan lebih ampas dalam suatu hal seperti itu."

Kreator menundukkan kepalanya dengan badannya yang bungkuk, sadar bahwa dia tidak akan mencapai sesuatu yang tinggi, sama halnya di dunia nyata, komisinya sangat sepi.

Mereka pun tertawa bersama. Layaknya teman melepas rindu, dunia yang tidak nyata terasa nyata. Momen berharga bagi Kreator, walau pun mungkin terbangun dari mimpi ini dia tidak akan ingat sepenuhnya.

Setelah beberapa saat mereka tertawa, akhirnya Kreator menanyai inti masalah yang terjadi.

"Sebenarnya Zero, kenapa aku bisa ada di sini, dan tempat apa ini? Mimpi ini terasa sangat nyata, mungkin Lucid Dream, aku tidak akan menyia-nyiakan momen-momen ini."

Zero masih terhirau soal Kreator menanggapi apa yang terjadi adalah mimpi, namun bukan sepenuhnya salah. Zero melangkah mundur, dengan menjulurkan tangannya menunjukkan dunia di belakangnya yang terdapat menara yang berdiri.

"Benar… mungkin ini mimpi bagimu, Kreator. Namun Kita semua percaya bahwa ini adalah Limbomu. Selamat datang, di Dunia Fiksimu."