webnovel

Part 9

KANYA

Naren menjemputku tepat pukul tujuh malam. Dan aku? belum bersiap apapun saat dia datang. Selain ada serial kartun kesayangan, sebenarnya aku sendiri ogah-ogahan ke rumah Naren. Kalau bukan karena menghormati tante Wanda mungkin lebih baik aku bergelung dengan selimutku lebih awal. Tentu saja aku juga enggan berdebat dengan ayah karena disebut anak bengal yang tidak menghargai orangtua. Biar bagaimanapun perusahaan papa Naren adalah klien yang lumayan sering menggunakan biro milik ayah. Beberapa kali ayah memenangkan tender dari proyek perusahaan Om Damian, papa Naren.

Lihat saja,  sekarang Naren dan ayah juga Mas Bagas sedang bercengkrama di ruang tamu. Mereka terlihat sangat akrab. Dan yang selama ini aku tangkap, ayah seolah memberikan sinyal harapan padaku agar selalu bersikap baik terhadap Naren dan mungkin saja ayah juga mengharap sesuatu yang lebih dari hanya sekedar berpacaran. Maaf ayah, rasanya yang satu itu belum bisa aku kabulkan.

"__Harvard bagus itu." Sepenggal kalimat yang keluar dari mulut ayah membuatku berhenti melangkah menuju ruang tamu. Aku berdiri di belakang sekat yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu. Dari sini percakapan mereka terdengar cukup jelas.

"Jadi lo kapan berangkatnya?" Itu suara Mas Bagas yang bertanya.

"Minggu depan."

"Gue pernah mimpi ambil S2 disana,  sampe sekarang belum terwujud. Tapi gue cukup puas dengan mengambil S2 di Indonesia sih."

Harvard? Apa Naren akan melanjutkan study di sana? Dan apa tadi? Minggu depan? Naren bahkan tidak pernah membahas soal itu denganku. Aku yakin tidak secara mendadak dia memutuskan pergi ke sana. Ada banyak yang perlu diurus pastinya. Dan dalam rentang waktu itu, Naren sama sekali tidak pernah menyinggung sedikitpun. Apa dia akan menjadikanku orang terakhir yang tahu kalau dia akan pergi?

Tanganku refleks mengepal. Aku semakin merasa salah dalam hubungan ini. Mungkin aku tidak sepenting yang dia katakan. Dia yang meminta padaku untuk jangan pergi meninggalkannya,  sekarang dia sendiri yang akan pergi jauh dariku.

Kanya, ada apa denganmu? Dia pergi untuk belajar bukan untuk memutuskan hubungan seperti yang kamu inginkan.

Kepalaku mendadak berdenyut. Aku terlalu berlebihan. Lalu apa? Kalau Naren memang mau pergi ke luar negeri ya pergi saja. Bukannya jalan untuk lepas dari laki-laki itu malah menjadi mudah? Aku mengganguk mantap sebelum keluar.

"Kamu sudah siap Kanya?" ayah yang menangkap kedatanganku pertama kali bertanya. Aku hanya mengangkat bahu.

"Kita berangkat sekarang saja ya, takutnya nanti kamu pulang kemalaman," ujar Naren berdiri diikuti yang lain. "Om kami berangkat dulu yah."

Naren sempat menjabat tangan ayah dan Mas Bagas sebelum keluar rumah. Aku mengekor di belakangnya.

"Kamu beda, malam ini kamu cantik banget," kata Naren saat kami sudah berada di dalam mobil. Aku melotot padanya yang dari tadi menatapku lekat.

"Kamu dandan yah?"

"Apa?"

Aku dandan? Yang benar saja! Tadi aku cuma pakai bedak tipis dan lipgloss. Tunggu! Benarkah aku dandan? Seketika aku meraba pipiku yang menghangat. Sial. Naren masih saja terus melihatku.

"Apa yang kamu lihat?! Ada yang aneh?" tanyaku was-was.

Naren menggeleng. "Kamu cantik, aku senang kamu melakukan ini buatku."

Apa? Orang ini tingkat kepedeannya tinggi sekali. Aku akan bertemu orang tuanya, dan hanya sedikit dandan agar tidak malu-maluin di depan mama dan papanya. Siapa juga yang dandan untuknya?

"Lebih baik cepat jalan, waktu terus berjalan."

"Oke manis."

Aku memutar bola mata jengah. Perlahan mobil Naren melaju meninggalkan pelataran rumahku.

"Jadi beneran kamu lulus?" tanyaku memecah keheningan.

"Kamu meragukan kecerdasan pacarmu?"

Hah! See? Sifat narsisnya muncul lagi. Biarkan saja, mungkin dia mendapatkan kepuasan tersendiri dengan sifatnya itu.

"Jadi tante merayakan kelulusanmu sekarang?"

"Nggak sih,  mama cuma bilang ingin mengundangmu makan malam. Katanya sudah lama sekali kamu nggak ke rumah."

Huft! Ini akan sulit. Aku harus berbasi basi dengan tante Wanda.

"Di rumah ada siapa aja?"

"Papa, mama, dan Arsen."

Arsen itu adik Naren. Dia masih sekolah menengah kejuruan.

Tiba di rumah Naren,  tante Wanda menyambutku antusias. Pelukan hangatnya langsung menyerangku.

"Sayang,  apa kabarmu? Kenapa sekarang nggak pernah datang kesini lagi? Kalian baik-baik aja kan?"

Aku tersenyum canggung. Tidak sebaik yang tante harap. Tentu saja itu cuma aku katakan dalam hati.

"Kanya, agak sedikit sibuk di kampus tante."

"Liburan kalian menyenangkan kan?"

"Iya tante." Aku melirik Naren yang masih berjalan di belakangku. Dia menunduk memainkan kunci mobilnya. Entah hanya perasaanku,  tapi aku melihat ada raut sedih dari wajahnya.

"Tante masak spesial buat kamu dan Naren. Ayo kita makan sekarang. Papa dan Arsen bentar lagi turun."

Di meja makan sudah tertata rapi hidangan istimewa. Ada cumi saos padang kesukaanku. Ternyata tante Wanda masih ingat. Dan juga ada ayam penyet makanan favorit Naren. Serta lauk pauk lain juga sayur.

Tak lama Om Damian dan Arsen datang. Setelah berbasa basi sebentar, kami langsung duduk di depan meja makan. Tante Wanda dengan antusias menawarkan macam-macam menu yang tersaji. Aku jadi merasa tidak enak. Mereka, orang tua Naren menerimaku dari pertama kali aku datang. Disaat aku minder dengan diriku sendiri, meraka malah bilang aku sangat cantik dan manis. Aku tahu kok,  itu hanya untuk menghiburku. Kenyataannya bahkan tante Wanda masih lebih cantik jika dibandingkan denganku.

"Kamu harus sering mengunjungi kakekmu nanti di Brooklyn," Om Damian menatap Naren yang duduk di sampingku.

"Kakekmu pasti sangat senang kamu akan melanjutkan mastermu di Cambridge,"

Naren menoleh ke arahku. Aku pura-pura tidak tahu saja dengan terus menekuri isi piringku.

"Yes, Pah," jawab Naren singkat.

"Jadi, nggak apa-apa kan sementara kalian berdua long distance?" Itu suara tante Wanda. Wanita yang masih terlihat sangat cantik diusianya yang menginjak setengah abad itu memandangku dan Naren bergantian.

"Sebenarnya aku nggak suka berjauhan dengan Kanya Mah."

"Belajar yang baik Nak. Mama yakin tak sampai dua tahun pasti kamu bisa lulus."

Tante Wanda benar. Biar bagaimanapun aku harus mengakui kecerdasan Naren. Di sekolah dulu, dia kerap menjuarai berbagai macam olympiade. Akademisnya bagus sangat timpang denganku yang malah menyukai seni dan petualangan. Di saat anak-anak lain memilih klub sains,  aku malah memilih klub seni rupa dan wall climbing. Aku sudah cukup kesulitan belajar fisika dan tetek bengeknya,  tidak mungkin sekali aku harus menceburkan diri ke klub sains, dengan taruhan kepalaku akan retak jika dijejali rumus-rumus yang membuat aku harus memutar otak dengan keras. Itu namanya bunuh diri.

Dan sekali lagi pertanyaan itu muncul. Bagaimana bisa seorang Naren yang cerdas bisa menyukai gadis tomboy, bodoh, dan dekil sepertiku? Setiap hari di sekolah dulu, aku kenyang dengan segala perundungan. Tapi karena aku bukan orang lemah, sebisa mungkin aku lawan. Atau kalau aku lagi malas meladeni mereka, ocehan mereka hanya aku anggap angin lalu.

Next chapter