webnovel

Part 23

KANYA

Aku menggeliat, merasakan kenyamanan di setiap bagian tubuhku. Ah! Rasanya tidak pernah aku tidur sepuas ini. Mataku mengerjap, dan perlaha membuka.

hal pertama yang aku lihat adalah, wajah Naren yang tengah tersenyum begitu teramat dekat di depan mataku.

"Apa tidurmu nyenyak?"

Aku hanya mengangguk. Sedetik kemudian Naren menarik kepalaku dan mengecup bibirku.

"Bangun dan mandi,  sarapanmu sudah siap."

Aku menahan tangannya saat dia hendak bangun.

"Tadi malam... " aku berpikir keras untuk menanyakan ini. "apa terjadi sesuatu?"

Naren kembali mendekat. Menarik selimutku agar rapat menutupi tubuhku sampai ke leher. Tiba-tiba wajahku memanas. Aku tadi beneran tidak sadar, kalau selimutku melorot.

"Semalam nggak terjadi apa-apa. Aku minta maaf,  udah bertindak terlalu jauh."

Aku mengangguk. Hanya memastikan saja. Kalau ingatanku tidak salah.

"Tapi Kanya... "

Aku menatapnya lurus, menanti kelanjutannya.

"Kita harus secepatnya menikah."

"Apa?"

"Tadi malam mungkin aku bisa mengendalikan diriku. Tapi aku nggak yakin kalo besok-besok."

What the hell.

Dia berdiri, berkacak pinggang menatapku. Dengan sebuah seringai yang terlihat mengerikan.

"Kamu itu ...  Benar-benar indah dan seksi."

Aku mencengkeram selimutku erat-erat. Detak jantungku kembali berdebar kencang. Seperti kena siraman air panas rasanya. Aku tidak pernah merasakan salting seperti ini di depan Naren. Namun kali ini,  laki-laki itu sukses membuatku malu dan ...  Entah ini apa, tapi aku merasa melayang juga.

***

Aku berjalan ringan memasuki kantor milik Nadine. Menemui assistennya yang kelihatan sedang sibuk di depan layar monitor.

"Pagi, Mbak Sari," sapaku begitu sampai di mejanya. Pemilik sepasang alis tebal itu mendongak dan tersenyum ramah.

"Eh Mbak Kanya, udah ditunggu Mbak Nadine di ruangannya."

Aku memang sudah membuat janji bertemu.

"Tapi Mbak, ada tamu juga sih di dalam," beritahu Sari.

"Aku tunggu aja kali ya."

"Tapi Mbak Nadine pesan kalo Mbak Kanya datang suruh langsung masuk aja."

"Oke deh, aku juga nggak bisa lama. Soalnya masih ada janji temu dengan klien."

"Langsung kesana aja Mbak."

"Okeh. Aku ke sana dulu ya."

Sari mengangguk dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Pintu ruangan Nadine agak terbuka sedikit. Aku hendak mendorongnya, saat telingaku menangkap sebuah suara yang rasanya tidak asing.

"Nadine nggak tahu Om, semua Naren yang memutuskan," samar aku dengar Nadine bersuara.

Sebenarnya ini tidak sopan, tapi entah kenapa aku ingin tahu obrolan itu. Aku sedikit mengintip celah di dalam sana. Seseorang yang sangat aku kenal duduk berhadapan dengan Nadine. Pria seusia ayah dengan garis wajah yang masih terlihat menawan itu menampilkan senyum yang tidak jauh berbeda dengan Naren. Om Damian. Jadi Nadine juga sudah mengenal keluarga Naren?

"Om sangat berharap hubungan kalian segera diresmikan, minimal tunangan dulu lah. Ingat umur dong."

"Tapi Om, Nadine dan Naren nggak punya hubungan sejauh itu."

"Ayolah, hanya kamu yang paling dekat dengan anak itu. Om dan tante juga setuju kalo Naren bisa menikah sama kamu."

"Sepertinya itu nggak mungkin Om. Naren sudah bertemu kembali dengan seseorang yang sangat dia cintai."

"Maksud kamu Kanya?"

"Iya Om,  mereka bertemu kembali."

"Benarkah? Om nggak tahu soal ini."

"Jadi,Om. Sudah pasti Naren akan memilih Kanya daripada aku. Meskipun Nadine mencintai Naren, tapi percuma kalo Naren nggak bisa sebaliknya mencintai Nadine."

Aku bisa mendengar Om Damian menghela napas berat. Mendengar percakapan mereka, membuat detak jantungku berpacu cepat. Aku tidak sampi berpikir sejauh ini. Om Damian  ternyata sangat mengharapkan Nadine. Bukannya aku akan mengecewakan mereka jika aku memutuskan kembali pada Naren?

Ada sedikit nyeri mengetahui kenyataan ini. Mungkin saja, jika aku tidak bertemu kembali dengan Naren, Nadine bisa bersatu dengan laki-laki itu. Di sini aku merasa menjadi sebuah batu penghalang. Langkahku mundur perlahan. Tidak jadi masuk ke dalam. Terlebih aku belum siap bertemu kembali dengan Om Damian. Mungkin saja Om Damian memandangku lain,  karena dulu sudah meninggalkan Naren.

Aku menuju meja Sari kembali,  dan menitip berkas yang tadinya mau aku diskusikan dengan Nadine. Mungkin aku akan ke sini lagi besok.

***

Kenan berdiri di depanku dengan wajah sumringah. Setelah pendakian yang dia lakukan waktu itu menjadikannya semakin terlihat keren dan laki banget. Yaa ampun...  Aku memujinya. Bukannya apa, Kenan memang keren tidak ada yang menyangkal. Tapi sekeren apapun dia, belum bisa menggantikan posisi Naren di hatiku. Ah! Menyebalkan.

Setelah kejadian malam di hotel rasa rumah itu, Naren sudah bersikap seperti dulu lagi, makin secure. Dan terus membujukku agar mau cepat menikah.

"Pengalaman Semeru kemarin sangat menyenangkan. Sayang kamu nggak ikut," kelakarnya mengambil tempat duduk di teras depan rumah kontrakanku.

"Aku iri sebenarnya. Tapi kerjaan menumpuk. Banyak yang belum beres. Apa semua ada?"

Yang aku tanyain adalah rombongan medaki kami. Biasanya ada sekitar tujuh orang yang ikut rombongan pendakian termasuk Kenan dan aku.

"Minus kamu doang."

Jawaban Kenan membuatku tambah iri.

"Sebentar lagi musim hujan, nggak mungkin musim hujan ada pendakian. Musim hujan itu enaknya liburan di villa ajah."

Aku menoleh. Tumben,  tidak biasanya Kenan mengusulkan villa. Dia itu tipe outdoor. Lebih suka membuat tenda daripada menginap di villa.

"Bulan depan aku ingin mengajak kamu liburan ke villa di kota Batu. Aku bilangnya sekarang soalnya biar kamu bisa longgarin jadwal jauh-jauh hari. Gimana?"

"Kita berdua aja?" tanyaku ragu.

"Iya, nggak pa-pa kan? Atau kamu mau ajak teman juga boleh."

Aku meringis. Ke villa berdua dengan Kenan. Aku tidak yakin mengingat ada Naren yang sekarang sudah kembali mengekoriku.

"Itu, aku sepertinya belum bisa ambil keputusan. Nggak tau  boleh apa nggak aku ambil cuti sama Tara."

"Urusan Tara biar aku yang handle."

Aku melupakan ini. Tara yang notabene sepupu Kenan, kebetulan dia boss tempatku bekerja sekarang. Mereka dekat dan itu mudah bagi Kenan. Sama halnya saat dia menawarkan pekerjaan ini buatku. Urusan Tara memang dia bisa menangani, tapi Naren?

"Aku nggak janji Kenan. Kalopun aku bisa ambil cuti. Mungkin lebih baik aku gunakan buat pulang ke Jakarta."

"Ah kamu benar. Tapi aku ingin liburan bareng kamu. Kayaknya udah lama kita nggak liburan bersama."

Selain mendaki, Kenan memang kadang mengajakku liburan ke suatu tempat. Kalau sedang dalam mood berantakan,  aku selalu mengiyakan ajakkannya. Kenan itu teman liburan yang seru.

"Juga tentang... " aku masih ingin mendengar kelanjutan ucapan Kenan saat suara mobil mengalihkan perhatian kami. Itu Naren yang datang.

Naren turun dari mobil dengan sebuah tentengan di tangannya. Kaca mata hitamnya melekat sempurna di atas hidungnya yang bangir. Mendadak aku ingat percakapan Om Damian dan Nadine pagi tadi.

PS. Yang Review di sampul depan baru 15 biji hiks hiks.... mudah-mudahan yang komen di sini berkenan meriview di halaman sampul yaa....

jangn lupa kasih kekuatan batu buat NAREN dan Kanya hehe

Next chapter