webnovel

Prince Charming Vs Gula Jawa

Memiliki kekasih ganteng, pintar, dan populer sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Kanya. ⁣ ⁣ Tapi siapa sangka dirinya yang hanya gadis biasa-biasa saja, bisa digilai seorang laki-laki tampan, bergelar Prince Charming di Kampusnya, bernama Naren. ⁣ ⁣ Tentu saja, hubungan itu tak semulus harapan. Karena banyak gadis yang menginginkan Si Prince untuk bisa jadi kekasih mereka. ⁣ ⁣ Akhirnya, karena suatu sebab hubungan mereka kandas. Tapi kemudian, Kanya bertemu dengan Naren kembali setelah lima tahun. ⁣ ⁣ Apakah Kanya akan kembali pada Naren? Atau dia akan berpaling pada Kenan, teman laki-laki yang selalu menemaninya selama Naren pergi?

Yuli_F_Riyadi · Urban
Not enough ratings
174 Chs

Part 20

Kenan langsung saja berlalu ke belakang begitu aku membuka pintu, membuat Naren melengos. Aku bisa menebak wajah geram setengah mati yang Naren coba tahan. Aku tidak peduli sih. Aku hendak menyusul Kenan ke belakang saat Naren bersuara.

"Apa dia seperti itu kalo ke sini?"

"Maksudmu? Kenan?"

"Ya, dia bertingkah seolah dia tuan rumahnya saja."

"Nggak usah dipermasalahkan itu udah biasa. Dia cuma mau mengambil peralatan pendakian."

"Kamu mau mendaki?"

"Bukan aku, Kenan."

"Kanya! Semuanya masih oke kan?!" teriak Kenan dari arah dalam.

"Sepertinya aku harus ke sana."

"Aku ikut."

Naren mengekor di belakangku. Dia sudah seperti pengawal saja. Padahal ini rumahku sendiri. Dan orang yang dia khawatirkan hanya Kenan. Selama dia tidak ada, Kenan telah menjadi teman yang baik buatku.

Aku baru akan melihatnya ke kamar tamu saat Kenan sudah menyeret sebuah ransel gunung kebanggaanku. Sudah hampir satu tahun aku tidak ikut rombongan mendaki. Alasannya tentu saja karena pekerjaan. Nyaris semua pekerjaan yang aku tangani memintaku agar bekerja lebih cepat. Syukur-syukur Tata masih ingat memberiku libur di hari sabtu-minggu. Kalau tidak, aku akan terpenjara dalam studionya setiap hari.

"Aku tau kamu nggak akan ikut pendakian lagi. Jadi aku nggak perlu repot membawa peralatan pendakiku. Semua masih oke 'kan?" tanya Kenan lagi.

"Semua benda-benda yang aku sayangi akan selalu oke. Kamu nggak perlu meragukan itu."

"Aku tau itu."

"Jadi kapan lo mau mendaki?" itu Naren yang bertanya. Dari tadi dia hanya melihat bagaimana Kenan menata ulang kembali barang-barang yang dia pinjam dariku.

"Lusa. Kenapa? Lo tertarik ikutan?"

"Gue bukan orang gunung. Jadi ya, maaf saja."

"Beda lagi kalo Kanya ikut. Lo pasti akan mendadak berubah jadi orang gunung."

Naren mendengus. Dia terlihat tidak menyukai apa yang Kenan katakan. Setelah beres dengan semuanya,  Kenan membawa ransel itu ke pundaknya untuk digendong.

"Kanya, aku pergi dulu ya. Masih ada keperluan lain yang harus aku beli. Tadinya aku mau ngajak kamu. Berhubung sekarang kamu ada tamu ya terpaksa aku pergi sendiri."

"Kamu yakin nggak mau aku temeni?" tanyaku membuat Naren di sampingku berdecak.

"Dia sudah dewasa Kanya. Timbang gitu doang masa minta temen."

Kenan tertawa, apa ada yang lucu dari ucapan Naren tadi?

"Lo masih sama aja kaya dulu. Posesif, padahal lo bukan siapa-siapa Kanya lagi."

Aku melirik Naren sekilas. Dia mengarahkan tatapan membunuh ke wajah Kenan yang masih saja tetap santai. Entah sejak kapan Kenan punya hobi memancing emosi orang. Dulu yang sering melakukan itu Ramon. Anak itu suka mencari perkara dengan Naren. Ah, mengingat Ramon aku jadi teringat Alisya.

"Ya udah aku cabut yah."

Kenan melangkah keluar rumah diikuti aku dan Naren. Aku sangat iri saat Kenan menyimpan ransel pendakian itu di tempat duduk bagian belakang mobilnya. Iri sekali,  karena sebenarnya aku sangat rindu mendaki.

Kenan memundurkan mobil lantas mulai berbelok meninggalkan latar rumah kontrakanku.

Kini yang ada hanya aku dan Naren. Mendadak suasana hening. Naren memutar badan ke arah ku, menatapku lurus. Hari menjelang senja. Semburat cahaya jingga menerpa wajahnya, semilir angin berhembus mengibarkan helaian rambutnya yang hitam. Melihatnya di hadapanku sekarang seperti oase di musim kemarau panjang.

"Kanya," suara beratnya menyebut namaku. Ada getar aneh yang menyelinap pelan di relung dadaku. Aku bisa melihat dengan jelas tatapan teduhnya. Tatapan penuh harapan dan cinta yang hampir lima tahun tidak pernah aku lihat lagi.

"Apa kamu mau ikut denganku? Ada, sesuatu yang ingin aku tunjukkan."

Aku belum bereaksi apapun saat tiba-tiba saja gerakkan tangan Naren membuatku menahan napas. Dia menyelipkan anak rambutku yang menjuntai ke balik telingaku.  Kakiku melangkah mundur,  aku tidak mau ambil resiko Naren menangkap kegugupanku.

***

Naren mengajakku ke salah satu  residen hotel termewah di Surabaya. Sebenarnya ada tanda tanya besar di kepalaku. Mau apa dia mengajakku ke sini? Apa selama di Surabaya dia menginap di salah satu kamar hotel ini? Atau dia berniat mengajakku makan malam di restoran mewah yang ada di sini? Bukannya apa, dulu Naren sering melakukan itu. Tempat-tempat yang sering dia kunjungi semua berkelas 'wah'  menurutku.

Aku masih belum bersuara saat Naren menghampiri salah satu resepsionis cantik yang ada di front lobbi hotel. Aku memang sudah dua tahun di sini,  tapi belum sekali pun datang ke hotel ini. Dan penampakkan dari depannya saja sudah sangat membuatku berdecak kagum. Mengusung gaya arsitektur jawa tapi kesan modern tidak ketinggalan. Aku lebih memilih duduk di salah satu sofa, yang berjejer rapi di area lobbi. Membiarkan Naren yang terlihat berbicara serius dengan resepsionis itu. Menikmati view dari sini lumayan bisa memanjakan mata.

"Kanya, ayo ikut aku. Sebelum kita ke restoran aku mau kamu melihat-lihat sekeliling hotel ini."

"Tapi kenapa?"

Naren hanya tersenyum, lalu gestur tubuhnya mengajakku untuk segera bangkit mengikutinya.

Naren mengajakku berkeliling area outdoor hotel. Lampu-lampu terpancar indah di sepanjang jalan kami menyusuri tiap jengkal pelataran hotel yang sangat asri.

"Sebagian besar baru selesei renovasi. Biasanya aku sebulan sekali meninjau. Karena di Jakarta sudah ada Arsen,  aku bisa leluasa pergi ke sini untuk beberapa lama. Dan bisa jadi mungkin aku akan di sini seterusnya."

"Maksud kamu apa?"

"Sudah hampir satu tahun  residen hotel ini diambil alih oleh papa."

Benarkah? Aku tidak terlalu memperhatikan tadi. Apa namanya juga sama dengan nama hotel-hotel milik keluarga Naren lainnya?

"Tidak mudah untuk penggantian nama, tapi kasusnya sudah terselesaikan sih. Jadi, sebentar lagi nama barunya akan segera di pasang," terang Naren kembali.

Selain apartemen, keluarga Naren juga memiliki bisnis perhotelan. Aku tahu, Mas Bagas dulu yang pegang proyek pembangunannya di Bandung dan Cirebon. Tapi rasanya janggal, jika Naren hanya mau mengurus hotel ini,  karena jelas dibandingkan yang ada di Jakarta,  ini belum ada apa-apanya.

"Apa yang membuatmu tetap di sini? Aku tau hotel dan apartemen keluarga kamu berpusat di Jakarta. Sebagai anak pertama,  bukannya seharusnya kamu yang mengelola di sana?"

"Aku atau Arsen itu sama aja Kanya. Tidak ada anak pertama atau kedua. Dan lagi pula, ada alasan kuat kenapa aku memutuskan untuk mengelola hotel ini secara langsung."

Aku mengerutkan kening. Alasan kuat? Aku tidak mau berpikir macam-macam. Tapi saat ini tatapan Naren menghunus sempurna ke manik mataku dengan senyum yang sedikit mencurigakan.

"Alasanku adalah kamu, Kanya."

Aku ingin sekali terkejut. Tapi nyatanya tidak. Karena alasan Naren sama seperti yang aku pikir. Aku menghembuskan napas panjang.

"Naren dengar..." langkah kami terhenti tepat di tepi kolam renang. Tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pegawai hotel dan mungkin beberapa tamu yang hilir mudik.

"Tolong jangan libatkan aku dalam hal ini. Keluargamu lebih membutuhkan tenaga dan pikiran kamu. Nggak ada yang lebih penting dari itu. Kalo kamu memang tetap ingin di sini,  tolong kamu cari alasan lain yang lebih kuat. Yang jelas alasan itu bukan karena aku."

"Kanya, kamu itu penting buat aku. Aku beneran nggak paham akan situasi ini bahkan lima tahun yang lalu. Kamu ninggalin aku, Kanya. Padahal kamu tau, aku sangat mencintai kamu."

Harusnya aku lega mendengar ini. Tapi entah kenapa dadaku malah memanas. Bahkan sampai sekarang aku masih ingat bagaimana cara dia membuatku kecewa.

"Tidak ada pengkhianatan dalam cinta, Naren." Aku berusaha tetap menjaga intonasi suaraku agar tidak meninggi.

"Aku bahkan sudah minta maaf untuk hal itu. Apa kamu nggak bisa lupain itu dan membuka lembaran baru bersamaku?"