webnovel

Bab 1 – First meet

Seorang gadis terlihat tengah membuka jendela lebar-lebar. Dihirupnya udara khas pagi hari yang membuat wajah gadis itu tampak lebih segar. Tangannya terulur ke luar jendela, setetes air kemudian jatuh di telapak tangannya.

Gadis itu mendongak ke atas, tepat di mana sebuah dahan pohon yang terlihat basah karena hujan deras tadi malam. Setetes air kembali terjun bebas, membuat gadis itu cepat-cepat menarik tangannya.

"Kak Alise, Bunda sudah menunggu di meja makan." Seorang bocah laki-laki mengetuk pintu berwarna putih polos itu sambil meneriakkan nama Alise.

Alise menoleh, dia kemudian membuka pintu dan menyunggingkan senyum manisnya saat melihat seorang bocah laki-laki berambut cokelat.

"Ayo." Alise menggandeng tangan bocah laki-laki itu lalu berjalan berdampingan menuju meja makan di mana semua penghuni rumah berkumpul.

"Selamat pagi, Bunda. Selamat pagi juga semua," sapa Alise ketika mereka sudah sampai di meja makan.

Meja makan berbentuk persegi panjang berwarna cokelat tua itu di kelilingi puluhan kursi yang masing-masing sudah diduduki oleh penghuni rumah tersebut dan menyisakan dua kursi kosong––tempat duduk Alise dan bocah laki-laki itu.

"Kak Alise! Cobalah biskuit yang aku buat," kata seorang bocah perempuan berambut ikal panjang.

Alise kemudian menerima biskuit yang disodorkan bocah itu. Detik selanjutnya gadis itu tersenyum manis. "Ini sangat enak, Ren!" pujinya tulus.

Bocah perempuan yang dipanggil Ren itu tersenyum lebar saat mendengar Alise memuji biskuit buatannya. "Kapan-kapan aku akan membuat lagi dan memberikannya untuk Kak Alise," ujarnya.

"Kak Alise pasti berbohong, biskuit buatanmu rasanya asin," ucap Ran, bocah laki-laki yang tadi memanggil Alise di kamarnya.

Ren menggembungkan kedua pipinya. "Ran jahat!" ketusnya sambil menatap Ran dengan kesal. Ran yang merupakan kembaran Ren hanya mengedikkan bahunya acuh.

"Ran, Ren, kenapa kalian malah bertengkar? Ayo cepat makan," ujar seorang wanita paruh baya yang memakai apron berwarna hitam.

"Ran yang mulai, Bunda!" adu Ren kepada wanita paruh baya tersebut. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya pelan. Dia sudah lelah menanggapi kakak beradik kembar itu.

"Sudahlah, lihat, Bunda lelah melihat kalian terus bertengkar. Sekarang ayo berbaikan," nasihat Alise seraya menyatukan tangan Ran dan Ren.

Si kembar itu mendengus kesal. Tak urung mereka akhirnya saling berjabat tangan dan berbaikan. Alise yang melihatnya kemudian tersenyum kecil. Dia merasa senang melihat kedua bocah itu akhirnya berbaikan.

"Apa hari ini kamu akan kembali bekerja, Alise?" tanya wanita paruh baya itu sambil menyodorkon segelas susu pada Alise yang langsung gadis itu terima dengan senang hati.

Alise mengangguk. "Iya, tetapi mungkin lebih baik aku mengundurkan diri dari pekerjaan itu," ujar Alise seraya meminum susunya hingga habis.

Wanita paruh baya yang biasa dipanggil Bunda itu menautkan kedua alisnya. "Kenapa? Apakah mereka memperlakukanmu dengan buruk?"

Melihat Alise yang hanya diam, Bunda tiba-tiba merasa kesal. Wanita itu menyuruh Alise untuk segera mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Tetapi Alise mengatakan jika ada pegawai yang mengundurkan diri akan diberi denda yang senilai dengan 6 bulan gaji mereka.

Peraturan macam apa itu?!

Oh ayolah, Alise mana mungkin mempunyai uang sebanyak itu untuk membayar. Meminta Bunda? Itu tidak mungkin. Bunda bahkan sudah sangat bingung untuk membiayai semua anak-anak di panti asuhan ini.

Alise hanyalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal di panti asuhan sejak bayi. Gadis itu bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana wajah kedua orang tuanya. Alise saat itu ditemukan Bunda di depan pintu gerbang panti asuhan dalam keadaan basah kuyup.

"Tidak apa-apa, gaji di sana cukup besar. Aku tidak mungkin mengundurkan diri." Alise sesungguhnya tidak ingin mengundurkan diri, karena bagaimanapun dia membutuhkan uang untuk membantu meringankan beban Bunda.

Tetapi ketika mengingat dirinya hanya menjadi bahan tertawaan membuatnya tidak ingin kembali bekerja di sana. Namun mencari pekerjaan baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jadi dengan amat terpaksa Alise berusaha untuk mempertahankan pekerjaan itu.

"Alise!!"

Suara teriakan dari balik pintu membuat Bunda berdecak kesal. Wanita itu kemudian berdiri dan membuka pintu sambil berkacak pinggang, menatap seorang pemuda berambut cokelat yang memakai seragam sekolah dengan tajam.

Pemuda itu menampilkan senyum lebarnya ketika Bunda akhirnya mau membuka pintu setelah dua minggu terakhir Bunda tidak pernah mengizinkannya untuk pergi menjemput Alise lagi.

"Selamat pagi, Bunda." Pemuda itu berkata sopan.

"Apa Alise ada?" tanyanya sekadar basa-basi. Tentu saja ia tahu bila Alise ada di rumah besar bertuliskan 'Panti Asuhan Stella' itu.

Bunda menghembuskan napas kasar. Dia sungguh malas berdebat dengan pemuda tengil yang sialnya sangat tampan itu. Mata abu-abunya memancarkan aura dewasa namun berbeda dengan sikapnya yang sangat bertolak belakang.

Dengan terpaksa pun Bunda akhirnya berteriak memanggil nama Alise. Senyum pemuda itu semakin lebar saja saat melihat Alise datang sambil melemparkan senyum kecil padanya.

"Hai, Calvin." Pemuda tampan dengan nama Calvin itu melambaikan tangannya pada Alise.

"Sebentar lagi bel sekolah akan segera berdering, kalian cepatlah pergi," ujar Bunda yang masih memakai apron hitam favoritnya.

"Dan kamu!" Bunda menunjuk Calvin dengan telunjuknya. "Antarkan Alise dengan selamat atau kamu akan kehilangan kepercayaanku lagi."

Calvin menganggguk cepat sambil menyunggingkan senyumnya. Setelah berpamitan dengan Bunda, Alise dan Calvin pun segera berangkat agar tidak terlambat.

"Aku senang Bunda tidak marah lagi dengan kamu." Alise melepaskan helm lantas memberikannya pada Calvin.

"Tentu saja. Memangnya siapa yang bisa marah lama-lama dengan pemuda tampan ini," kata Calvin menyombongkan dirinya. Alise memutar bola matanya jengah. Bosan mendengar Calvin memuji dirinya sendiri.

"Baiklah Yang Mulia Calvin, saya mengalah." Alise mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dengan sikap Calvin.

Sebelum Calvin membalas perkataan Alise, tiba-tiba terdengar suara ribut dari lapangan. Alise dan Calvin yang dibuat penasaran pun langsun berjalan ke lapangan.

"Ada apa di sana?" tanya Alise pada seorang gadis berkacamata tebal dengan rambut dikepang dua. Alise sedari tadi sudah berusaha melihat ke dalam kerumunan, namun karena tubuh mungilnya Alise tidak bisa melihat apapun selain orang-orang yang berdesakan.

"Ada seorang murid baru," jawab gadis berkacamata itu malu-malu.

"Hanya murid baru? Kenapa begitu ramai?" Alise bertanya heran. Apakah murid baru itu seorang aktris?

"Dia cucu pemilik sekolah ini." Alise menganggukan kepalanya tanda bahwa dia mengerti apa yang diucapkan gadis berkacamata itu.

Merasa tidak ada yang menarik, Alise berniat untuk segera masuk ke dalam kelas saja dan mencari Calvin. Pasalnya pemuda itu tiba-tiba menghilang di antara kerumunan, membuat Alise khawatir jika pemuda itu akan terinjak-injak.

Bukankah Alise yang seharusnya khawatir mengingat tubuh mungilnya? Dasar Alise.

Namun sebelum Alise melangkahkan kakinya, dia merasakan tatapan tajam yang menghunus punggungnya. Alise kemudian berbalik dan berusaha mencari siapa yang menatapnya begitu tajam hingga dirinya merinding.

Degg!

Manik biru safir Alise seketika bertabrakan dengan sepasang manik hitam yang terlihat mempesona. Jantung Alise terasa akan berhenti berdetak ketika pandangannya bertemu dengan manik hitam itu.

Tatapan yang dingin.

Kejadian itu berlangsung tidak lebih dari lima detik karena suara bel yang berbunyi nyaring, membuat para murid yang tadinya membuat kerumunan langsung berlari tunggang langgang menuju kelas. Dan sontak saja hal itu membuat pandangan Alise dengan mata mempesona itu terputus begitu saja.

"Siapa orang itu?"

ooOoo