1 Firasat Buruk

Awal musim panas tahun 2013, My Lady Catarine, sebuah kapal pesiar pribadi tampak berlayar membelah lautan menuju kepulauan Caribian. Kapal bercat putih dan berbendera Amerika itu adalah milik Edward Wenworth, seorang taipan real estate sukses dari Jacksonville, Florida. Sementara, pelayaran yang mereka lakukan tersebut merupakan perjalanan wisata air yang diselenggarakan oleh seluruh keluarga besar Wenworth. Mereka, Edward Wenworth beserta Catarine istrinya, dan ketiga anaknya memang sangat mencintai laut. Dan rasa cinta itu tampaknya diturunkan oleh kakek nenek moyang mereka, hingga keseluruh keturunan. Itulah mengapa mereka ciptakan sebuah "liburan air", di mana mereka akan berada di atas air selama berhari-hari, dan hanya akan berlabuh di Caribian, daratan tujuan mereka. Hanya beberapa malam, mereka pun akan kembali berlayar pulang. Alasan lainnya, tentu saja untuk mengisi waktu libur panjang anak-anak serta menghilangkan kepenatan selama setahun penuh bekerja bagi Edward.

Tahun ini, hanya beberapa kerabat beserta teman dekat yang turut serta dalam perjalanan yang sudah menjadi tradisi keluarga konglomerat tersebut. Namun hal itu tak mengurangi keceriaan seluruh penumpang kapal mewah tersebut. Dan malam ini, laut sangat tenang sementara angin malam yang hangat bertiup bagai membelai kulit seluruh penumpang My Lady Catarine yang tengah melakukan aktivitas masing-masing.

"Apa semuanya aman dan terkendali, Tom?" terdengar suara Edward Larn Wenworth menyapa nahkoda kapalnya. Ia melangkah santai memasuki ruang kemudi dan melihat sang Kapten yang sedang memberi pengarahan kepada anak buahnya.

Tom O'Leary menoleh. Saat matanya menangkap sosok si pemilik kapal datang menghampiri, senyumnya langsung mengembang. Wajahnya yang legam terbakar matahari tampak cerah ceria. Ada beberapa guratan bekas luka di sana-sini, menandakan betapa banyak pengalaman yang telah dilaluinya selama seumur hidupnya.

"Aku bahkan tidak pernah melihat ada keadaan sesempurna saat ini, Sir," sahutnya seraya memberi hormat. Nada suaranya terdengar ringan dan santai. Namun sikapnya tak dapat dipungkiri sangat menaruh hormat kepada Edward, yang telah mengeluarkannya dari keterpurukan hidup dan ketergantungan terhadap alkohol.

Aneh memang mengapa Edward lebih memilih seorang pemabuk untuk menjadi nahkoda kapalnya selama berpuluh tahun. Dan Tom O'Leary sebenarnya sudah lima tahun belakangan ini menjalani masa pensiunnya. Namun mantan atasannya masih tetap mengundangnya turut serta dalam perjalanan mereka, untuk menjadi kapten kapal pula. Sebuah penghormatan baginya, mengingat usianya yang sudah lebih tujuh puluh tahun. Ternyata usia tua tidak membuat orang lupa akan kemampuannya. Lagi pula, dia juga masih kuat, sigap, dan pandangannya tetap awas.

Tadi dia sudah mendata seluruh penumpang My Lady Catarine. Ternyata tak banyak yang ikut serta tahun ini. Selain Edward dan Catarine Wenworth beserta Philip anak lelaki tertua Edward dan si kembar Wanda dan Wendy, ada juga Lorine, adik kandung Catarine, beserta suami dan seorang anak perempuannya yang membawa dua orang teman sekolah mereka. Lalu beberapa sepupu keluarga Wenworth, serta tamu undangan dari luar kota, atau yang kebetulan berkunjung. Lainnya adalah beberapa orang pengawal, pelayan, dan koki, serta satu tim teknisi kapal dan juru mudi. Mereka semua hanya berjumlah sekitar tiga puluh orang. Selain itu, dia juga telah mendapat data tentang perbekalan makan dan minuman mereka yang tertata rapi bagaikan sebuah swalayan kecil di salah satu kabin. Tampaknya selain makanan pokok, rak-rak tersebut berisi tumpukan snack dan minuman ringan, mengingat kali ini lebih banyak anak-anak muda yang ikut dibanding para orang tua.

"Bagus, Tom. Aku tak pernah bosan mendapat jawaban seperti itu," Edward mengangguk, lalu tertawa. Baginya sendiri, inti dari perjalanan yang mereka lakukan ini adalah refreshing dari segala macam masalah pekerjaan yang selama ini merongrong waktu dan kesehatan mereka. Rutinitas yang monoton, yang akan hilang total di dalam pelayaran panjang mereka. "Biasanya, kau tahu, hari pertama selalu menjadi bagian tersulit. Apalagi untuk pemula," lanjutnya menghela napas dalam-dalam, sambil memperhatikan langit yang sudah menghitam.

"Benar. Kudengar, ada beberapa penumpang yang mabuk laut."

"Begitulah. Beberapa anak-anak muda masih belum bisa membiasakan diri."

"Kuharap Anda dan keluarga baik-baik saja, Sir," ucap O'Leary yang memang selalu penuh perhatian.

"Terima kasih, Tom. Kami semua baik-baik saja," Edward mengangguk. Lalu dia membayangkan istrinya yang biasanya selama hampir sehari penuh di hari pertama keberangkatan akan mondar-mandir ke kamar kecil karena mengalami mabuk laut. Namun dalam perjalanan kali ini, terlihat lebih tenang. Atau bahkan berusaha menenangkan diri.

"Kenapa, Sir? Apa ada masalah dengan Philip? Atau salah satu dari si Kembar?" O'Leary dapat melihat perubahan pada air muka Edward.

Edward menghela napas berat. "Anak-anak tidak ada masalah, Tom. Hanya Catarine."

"Ah, Nyonya masih saja mengalami mabuk laut seperti tahun-tahun kemarin, rupanya."

"Tidak. Dia baik-baik saja. Tak sekali pun dia mengalami mual atau mabuk."

"Wah, benarkah? Bukankah itu berita bagus?"

"Tetapi dia tampak gelisah."

"Dan itu tidak seperti biasanya, bukan?"

Edward mengangguk. "Caty memang terlihat santai. Tetapi wajahnya tampak tegang. Walau dia bicara atau tertawa, aku seperti bisa merasakan sesuatu mengganggu pikirannya."

"Anda sudah menyampaikan perasaan Anda tersebut kepada Nyonya?"

"Belum. Aku berharap aku salah."

"Sampai saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sir. Jadi Anda perlu menyampaikan perasaan Anda tersebut agar bisa tahu apa sebenarnya yang membuat Nyonya tak tenang."

"Kau benar," Edward mengangguk. "Aku memang berencana untuk bertanya nanti setelah makan malam."

Di pihak lain, Edward sangat bersyukur karena ketiga anak-anaknya memiliki stamina yang kuat. Sama seperti dirinya. Tentu saja, dia dan ketiga anaknya adalah keturunan ayahnya yang seorang pelaut sejati. Tidak ada ombak yang mampu membuat perut mereka bergolak.

"Kuharap Nyonya tidak mengalami situasi buruk itu lama-lama," ucap O'Leary serius. Kemudian dia tersenyum. "Tetapi aku senang tahun ini putra Anda bisa ikut."

"Aku juga senang. Beberapa tahun ini dia menolak ikut dengan alasan sibuk ujian atau apalah!"

"Dia sudah menyelesaikan kuliahnya. Jadi tidak alasan lagi baginya untuk menolak ikut, Sir."

Edward tertawa. "Kau benar, Tom."

"Saya berharap dapat bertukar cerita dengannya nanti."

"Bagus. Bicaralah dengannya nanti. Dia sangat menyukaimu."

"Aku juga sangat mencintainya, Sir. Omong-omong, apa dia sudah punya pacar?"

Edward angkat bahu. "Aku tidak tahu. Anak itu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tulisan-tulisannya. Mungkin dia sengaja membuat para gadis berlomba memburunya."

O'Leary tertawa. Rambut putihnya yang gondrong dikuncir rapi ke belakang. Kumis dan jenggotnya tebal, bergoyang ringan saat pria tua itu tertawa. Saat itu, dia mungkin lebih mirip sebagai Santa Claus daripada seorang kapten. "Pemuda tampan dan mapan seperti Philip tentu saja akan menjadi incaran banyak gadis, Sir!" komentarnya kemudian. "Tetapi kudengar putri pengusaha Jonathan Bane sedang dekat dengannya. Mereka kelihatan cocok."

"Begitulah sifat anak-anak zaman sekarang," keluh Edward, "Mereka dekat. Setelah sekian lama, berpisah. Lalu cari yang baru. Begitu terus, tidak pernah serius. Aku tak mengerti apa sebenarnya yang mereka cari, atau mereka tunggu. Kalau dipikir-pikir, di masa kita dahulu, sekali terpikat, bisa membuatmu hidup bersamanya selama-lamanya."

"Tepat sekali. Aku melihat hal itu pada diri Anda dan Nyonya," O'Leary menepuk pundak Edward. Laki-laki itu tertawa. Saat yang sama, seorang gadis muda berambut lurus keperak-perakan dan bermata biru, masuk dengan satu gebrakan.

"Nah! Sudah kuduga, Papa pasti ada di sini, bersama kapten kapalnya yang setia ini," serunya menyeringai. Diciumnya pipi ayahnya dan tersenyum manis kepada Tom O'Leary. "Halo, Sinbad Tua. Apa kabar? Sehat? Atau sudah batuk-batuk parah?" ditonjoknya bahu orang tua itu.

"Hei, Nona! Sopan sedikit sama orang tua!" tegur Edward melotot.

Namun O'Leary sama sekali tak mempersoalkan sikap nakal tersebut dan juga tidak menghindar. Dia justru menyeringai lebar, karena memang sikap-sikap tersebut sudah lama dirindukannya. Termasuk dipanggil dengan julukan Sinbad Tua. Rasanya sudah lama sekali dia tak mendengar panggilan tersebut. "Kalau boleh kukatakan, batuk-batuk itu dan penyakit lain sebenarnya sangat takut terhadapku, Nona. Hahahah! Hanya ... aku mungkin sudah mulai pikun karena tak dapat menentukan kau adalah Wendy atau Wanda?"

"Oh, aku Wendy, tentu saja," ujar gadis itu cepat.

"Masa?" O'Leary melihat ayah gadis itu tersenyum mencurigakan. "Kau boleh berbohong pada orang tua ini, sayang. Tapi ayahmu ... Aku tahu, kau pasti Wanda yang paling nakal itu."

"Berani taruhan?" tantang gadis itu sambil menggandeng ayahnya, minta dukungan rupanya. Namun belum lagi laki-laki itu bicara, seorang gadis yang rupa dan bentuknya sama, sudah keburu muncul.

"Lagi-lagi aku yang terlambat, ya?" teriaknya menubruk O'Leary. "Awas kalau aku tidak ditunggu!" ancamnya menoleh ke gadis yang sama sekali tak berbeda baik tubuh maupun rupa. "Berapa sih taruhannya?"

"Sebesar uang pensiun. Apa lagi?" Wanda tertawa saat ayahnya lagi-lagi melotot memandangnya.

Wanda dan Wendy Wenworth memang anak kembar identik Edward Wentworth. Dari bentuk wajah, warna rambut, mata, kulit, semua sama. Suara dan cara berjalan kedua gadis itu juga tidak berbeda. bahkan O'Leary yang sempat beberapa tahun mengasuh kedua anak kembar tersebut bisa kebingungan. Apalagi untuk orang yang baru mengenal mereka.

Terkadang hal ini membuat si kembar menjadi suka iseng mempermainkan orang lain. Kemiripan mereka sungguh terkadang membuat orang tua gadis-gadis itu harus berurusan dengan pihak sekolah atau orang-orang lainnya. Tetapi syukurlah, suami istri Wenworth tidak pernah keliru dengan kedua putri mereka. Rahasianya ada pada gigi mereka. Kalau Wanda memiliki gigi gingsul di sebelah kiri, sedang Wendy tidak ada. Jadi hanya bisa diketahui kalau mereka tertawa. Nah, kalau keduanya sama-sama cemberut?

"Bagus. Nanti jam dua belas pas, kita rampok orang tua ini. Tetapi sebelumnya, aku ingin menyampaikan bahwa Mama telah menyiapkan makan malam. Dan Kapten diundang untuk duduk di antara aku dan dia," kata Wendy melirik kakaknya, yang tua lima menit dari dirinya.

O'Leary memandang Edward, yang hanya menggaruk-garuk dagunya sambil tersenyum. "Ini tantangan," katanya meringis. "Baiklah. Apa pun yang akan kalian lakukan, aku tetap nekad untuk datang."

Kedua gadis kembar itu tertawa berderai. Tidak mungkin mereka akan berbuat jahat kepada orang yang sudah seperti kakek buat mereka.

Memang, Tom O'Leary bukanlah orang baru di dalam keluarga besar Wenworth. Lebih tiga puluh tahun dia bekerja dengan keluarga Wentworth dari sebagai awak kapal milik Jed Wenworth, orang tua Edward, sampai akhirnya ditarik ke daratan sebagai tenaga pengamanan di rumah besar Wenworth. Usia yang sudah lebih 70 tahun akhirnya membuatnya memaksa Edward untuk memberinya pensiun. Selama bertugas, O'Leary banyak menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi di Wenworth Place, rumah utama keluarga kaya tersebut. Perkawinan Edward dan Catarine, kelahiran putra-putri mereka, serta penguburan Jed Edward Wenworth, pendiri awal kerajaan Wenworth yang sukses sampai hampir tiga generasi.

Selain Wanda dan Wendy, Edward memiliki putra sulung bernama Philip Edward Wenworth yang mulai dipersiapkan untuk mengambil alih usaha pengembangan pembangunan Wenworth. Usianya hampir tiga puluh dua tahun. Tampan, sukses, namun cuek. Bagai anak sendiri, O'Leary mengasuh anak-anak tersebut hingga dewasa. Tentu di sela-sela waktu luangnya. Dia menyayangi mereka sepenuh hati seperti kepada anak kandung sendiri, yang tidak pernah dimilikinya. Dan begitu banyak yang telah terjadi, sebanyak hari-hari yang dilaluinya. Tiba-tiba waktu terasa cepat berlalu, tanpa seorang pun dapat mencegah.

"Takkan kulewatkan makan malam yang menggoda selera ini," ucapan O'Leary membuat wajah Catarine berseri-seri.

Bukan hanya pria itu, semua awak dan penumpang My Lady Catarine puas dengan hidangan malam yang istimewa tersebut. Sungguh enak, membuat lidah bergoyang. Sampai hidangan penutup, tak seorang pun tampak kecewa. Dan kegembiraan malam itu membuat mereka melupakan mabuk laut siang tadi. Namun seperti yang telah disampaikan oleh Edward beberapa waktu yang lalu, ternyata benar, O'Leary juga bisa melihat keceriaan di wajah wanita yang namanya diabadikan sebagai nama kapal pesiar yang tengah mereka naiki tersebut, tampak sedikit berkabut. Catarine tidak bersikap lepas malam ini. Gerakannya sedikit kaku dan orang-orang tertentu pasti mampu menangkap kegugupan yang berusaha disembunyikanya.

"Anda terlihat sangat baik malam ini, Nyonya," O'Leary merapikan jas kotak-kotak berwarna hitam yang dikenakannya malam itu. "Dan terima kasih atas makan malam yang lezat ini."

Catarine mengangguk sambil tensenyum manis. Kelompok besar itu sudah berpencar usai makan malam. Anak-anak muda mencari tempat mengobrol yang nyaman, terpisah dari para orang tua yang sudah pasti memiliki cara berpikir yang berbeda. "Begitulah, Tom. Sepertinya aku tidak mengalami masalah apa pun dalam perjalanan kita tahun ini. Terima kasih juga karena masih mau menemani kami berlayar," ucap Catarine dengan suaranya yang lembut. Rambutnya yang cokelat disanggul rapi. Di sebelahnya duduk Edward dengan sikap yang santai. Saat itu, mereka memilih duduk di serambi kapal untuk menikmati angin malam yang hangat dan lembut.

"Sayang, Philip melewatkan acara makan malam yang istimewa tadi," komentar kapten tua itu lagi.

"Dia baik-baik saja." Catarine duduk anggun di sebelah Edward. "Anak itu minta izin untuk makan di kamarnya sambil menyelesaikan novel terbarunya, yang hampir setahun ini tidak kelar-kelar."

O'Leary terkekeh. "Aku ingin bertemu dengannya sebelum kembali ke ruang kemudi nanti."

"Kalau kau ke sana, kau harus bisa mengajaknya keluar, Tom!" kali ini Edward yang bicara.

"Pasti, Sir."

Setelah mengobrol beberapa saat dan mengucapkan terima kasih, O'Leary mengundurkan diri. Sementara itu, Edward memandang istrinya.

"Katakan apa yang sedang kau pikirkan!"

Catarine tampak terkejut. "Apa? Aku tak memikirkan apa pun!"

Edward tersenyum lalu menggenggam jemari istrinya. "Kita sudah bersama-sama selama hampir tiga puluh lima tahun. Tidak ada hari yang kulewati tanpa melihatmu. Bahkan ketika aku masih berada di tengah laut, aku bisa melihat wajah cantikmu melalui video call. Jadi kau tidak dapat menyembunyikan sesuatu dariku, sebab wajah dan matamu pasti akan memberitahuku."

"Tapi ... tapi aku benar-benar tidak memikirkan apa pun, Ed." Didesak seperti itu membuat Catarine mulai gugup.

"Caty ...."

"Aku mau ke kamar." Tiba-tiba Catarine bangkit dan melangkah menuju kabin kamarnya. Edward mengikuti dengan perasaan kuatir.

"Caty, aku tak pernah melihatmu seperti ini."

"Memangnya aku seperti apa?"

"Teralu pendiam. Kau gelisah, kan? Apa yang mengganggu pikiranmu?"

Catarine berhenti melangkah. Lalu memandang suaminya. "Tidak ada yang mengganggu pikiranku. Aku hanya ... aku juga tidak tahu. Seperti ada yang mengganjal perasaanku walau sebenarnya tidak ada."

"Apa kau berfirasat buruk terhadap perjalanan kita?"

"Entahlah. Kuharap tidak."

"Kau ingin kita kembali?"

Catarine langsung mencengkeram tangan suaminya. "Jangan! Aduh! Itu jangan sampai terjadi! Aku hanya sedikit merasa tidak tenang. Kurasa ... aku hanya heran mengapa dalam perjalanan kali ini aku tidak mabuk laut. Aku terkejut dan merasa menjadi aneh. Pasti itu saja!"

"Caty ...."

"Tolong, jangan hancurkan liburan yang menyenangkan ini. Okey, Sayang?"

@

avataravatar