webnovel

Bagian Satu: PILOT

"PRANGG!!!"

Terdengar bunyi hantaman keras dari ruang tamu yang membuatku kaget mendengarnya saat malam hari. Aku langsung terbangun dari tidurku lalu keluar dari kamar dan menuruni tangga secepatnya. Aku mendapati suamiku, Brandon sedang membanting gelasnya sambil memelototiku dan berkata, "Apa-apaan nih?" Aku hanya melongo kebingungan melihat reaksinya dan aku menjawab, "Maksud kamu apaan sih, yang?"

Dia langsung melempar ponselku ke sofa di samping. Aku pun lihat galeri foto wanita yang sedang bercumbu dengan wanita lain.

"Denger, Brandon, aku bisa jelasin semuanya."

Dia langsung menyerangku dengan kalimatnya, "Jelasin untuk apa? Udah terbukti kamu itu bukan wanita normal. Selama ini kupikir kamu udah mencintaiku? Ini buktinya kamu masih simpen foto-foto kotor itu di dalem ponsel kamu. Apa yang mau kamu jelasin? Jangan panggil aku suamimu kalau kamu masih senang berhubungan dengan sesama jenis. Kita sudah berkeluarga, bahkan sudah punya anak. Apa kamu gak malu?"

Aku. Hanya. Berdiam diri mendengarkan kata-katanya.

"Maaf, Sabrina, aku udah gak sanggup lagi ngadepin semuanya."

Lalu, Brandon pergi tanpa mengemasi barang-barangnya meninggalkanku di rumah.

Tiga bulan kemudian, setelah kejadian itu, ibuku sering datang ke rumah untuk memeriksa keadaanku serta menjaga anakku, Sally saat aku hendak bekerja dimulai pukul 08:00 hingga 15:00 setiap harinya. Bahkan, ibu juga sempat menginap di rumah karena jarak rumah kami cukup jauh jadi ibu juga tidak keberatan untuk tinggal sementara di rumah sambil menjaga Sally. Kalian pasti bertanya-tanya, ke mana perginya Brandon setelah tiga bulan dia pergi meninggalkanku dan Sally. Kabar burung, dia pindah ke Kanada untuk menjauhiku tanpa berpamitan dengan Sally tapi ada juga yang bilang, Brandon pergi bersama kekasihnya yang baru ke Pulau Bahama. Ke mana pun perginya, aku tidak peduli tapi aku yakin dia akan kembali dan setidaknya dia memberi kabar kepada Sally saja aku sudah senang.

Sepuluh tahun yang lalu, aku hanyalah seorang gadis berusia 19 tahun yang ternyata mengetahui orientasi seksualku adalah seorang biseksual. Saat itu, aku masih kuliah semester tiga dan masih culun. Dengan dandanan tipis, rambut coklat dikepang, memakai kacamata bulat, gigi dipasang behel, sepatu hitam, celana bahan panjang, dan kemeja kasual bermotif bunga. Tasku juga masih terlihat norak dan seperti biasa saat itu juga, aku jadi bahan perundungan (bullying) selama kuliah. Tidak hanya kuliah, saat aku sekolah juga aku tidak memiliki wajah dan tubuh yang begitu indah. Aku pun sempat dijuluki, 'Cacing' oleh teman-temanku karena tubuhku yang sangat kurus kerontang. Sungguh pengalaman yang paling menyeramkan yang pernah kualami. Namun, saat aku lulus dan bekerja, penampilanku berubah drastis layaknya warung makan yang direnovasi menjadi restoran mewah seperti yang ada di dalam mal. Aku mulai menambah berat badanku sedikit demi sedikit dengan melakukan olahraga rutin dan melakukan surplus kalori, aku tidak pernah mengikuti apalagi mendaftar ke tempat fitnes, hanya olahraga kecil yang kulakukan di rumah. Makan pun aku kontrol supaya berat badanku menjadi ideal. Kemudian penampilan juga kini sudah berubah menjadi lebih enak dilihat di bandingkan masa kuliah.

Bahkan saat reuni kampus pun, semua mata tertuju padaku, pria dan wanita. Terdengar aneh tapi nyata. Perjuanganku mengubah penampilanku tidak sedikit, sekiranya aku butuh waktu 3,5 tahun untuk bisa mengubah semuanya. Aku juga tidak mengonsumsi obat-obatan penambah berat badan karena aku tidak tahu formula apa yang ada di dalamnya, aman atau tidak bagi tubuhku untuk menjadi seperti sekarang.

Dalam reuni ini, aku diundang oleh teman dekatku, Tian. Dia sahabatku saat kami duduk di bangku SD, kami dipertemukan kembali saat ospek kuliah. Dia lelaki yang menurutku sangat baik dan toleransinya tinggi serta menaruh perhatian kepadaku dikala aku sedang gamang. Dialah yang terbaik untukku hingga sekarang. Di sana semua orang benar-benar terkejut, pangling, dan bingung melihat transformasiku yang luar biasa. Termasuk Tian.

"Sabrina? Lo Sabrina, 'kan?"

Aku hanya mengangguk saja. Lalu, Tian memelukku dengan senang karena sudah 3,5 tahun kami tidak bertemu. Kami hanya saling mengirim pesan lewat email saja. Saat itu, Tian belum memiliki ponsel pintar seperti sekarang.

"Gimana kabarnya? Ini beneran lo? Ya Tuhan, apa kacamata gue yang buram atau minus di mata gue yang bertambah?"

Aku menjawab, "Christian Simatupang, ini gue sahabat lo, Sabrina Maharani."

Dia menaruh curiga kepadaku. "Kalau emang gitu, apa lo inget makanan favorit gue?" Katanya dengan wajah cengengesan.

"Ah, gampang. Ayam geprek, 'kan?"

Dia tertawa sambil memelukku lagi.

"Gila. Baru tiga tahun kita gak pernah ketemu tapi sekalinya ketemu penampilan lo sekarang hampir kayak Selena Gomez. Kecuali warna rambut lo yang lebih indah dari yang dulu sih."

Aku hanya tersenyum. Dan melihat perubahan yang dilakukan Tian juga jauh lebih baik.

"Lo juga sama. Lo lebih keliatan kayak aktor Korea, siapa tuh namanya? Oh iya, Gong Yoo."

Tian menambahkan, "Dari dulu gue udah terlahir ganteng kayak gini." Katanya dengan sombong. Dan aku hanya memutar bola mataku.

Kami berdua mengobrol sambil menyapa kawan yang lain. Semua orang yang sebelumnya pernah merundungi aku tiba-tiba berubah menjadi baik dan mendekati aku seolah sudah mengenal dekat. Menjijikan sekali. Tidak tahu malu. Aku hanya memasang senyuman palsu kepada mereka. Kebanyakan pertanyaan yang dilontarkan kepadaku hanya seputar penampilanku saja tanpa ada yang menanyakan kabar atau perasaanku. Benar-benar membuatku muak.

Akhirnya, Tian yang dari tadi ada di sampingku mulai merasa risi dan mengalihkan diriku sambil berkata, "Ah, permisi teman-teman. Gue ada urusan bentar sama Sabrina nanti kita lanjut lagi, oke?"

Aku. Bisa. Bernapas. Lega.

"Thank you, my hero."

Tian tersenyum. "Dasar manusia gak tahu diri! Kok bisa lo ladenin orang-orang kayak mereka ngobrol sama lo? Udah jelas-jelas mereka pernah nge-bully lo, Bri."

Aku jawab, "Iya, gue sih tahu tapi gue gak bisa cuek kayak lo. Kalo mereka nanya, ya gue jawab seadanya. Sakit sih, tapi lo juga harus ngerti kesedihan lama tuh gak boleh berlarut, Tian. Hati gue sakit banget pas dulu mereka ngata-ngatain gue. Tapi ibu gue pernah bilang, kalo lo diperlakukan jahat oleh seseorang, lo gak perlu bales dengan kejahatan lagi. Bales aja pake senyuman dan kerja keras lo. Dan lo liat 'kan mereka sekarang tunduk sama gue."

Tian hanya menghela napas, "Lo baik banget, Bri. Kalo gue jadi lo, gue gak bisa kayak lo gitu, tapi yang dibilang sama ibu lo ada benernya juga sih. Ya udahlah, mending kita makan yuk! Lo udah makan belom?"

Aku menggeleng dan kami pun langsung berpamitan dan makan di kedai ayam geprek favorit Tian.

Kembali sebelum penampilanku berubah, aku diperkenalkan dengan Samantha Hailey, seorang transpuan keturunan Kanada-Indonesia berumur 18 tahun yang terlihat antusias saat kami berkenalan. Dia belum sepenuhnya melakukan transisi di usia ini namun dia juga teman masa kecil Tian yang juga beruntung bisa bertemu kembali dengan Tian dan diriku. Samantha adalah orang kedua yang mengisi hari-hariku yang sangat menyenangkan. Sering kali, aku diajak bermain di rumahnya dan terkadang dia juga tak segan mengajakku jalan-jalan keliling kota naik bus tingkat atau tram. Awalnya, aku tidak mengira kalau pertemanan kami hanya biasa saja sampai pada titik tertentu. Sam mengajakku untuk makan malam di rumahnya dengan menelponku.

"Halo, selamat siang, bisa bicara dengan Sabrina?"

"Iya, saya sendiri. Ini siapa?" Jawabku.

"Ini gue, Sam. Teman kuliah lo, Bri." Katanya.

"Oh, Samantha? Ada perlu apa?"

"Malam ini, apa lo mau makan malam di rumah gue? Orang tua gue lagi pergi keluar kota jadi gue sendirian di rumah. Lo mau ke sini gak?"

"Boleh, Sam. Emangnya mau jam berapa? Sekalian aja gue nginep."

Dia menjawab, "Boleh. Datang aja jam 5 sore. Supaya lo bisa bantu siapin makanannya." Sambil tertawa.

"Kalo gitu, oke, gue bakal siap-siap sekalian izin sama ibu dulu. Dah!"

Aku pun mulai mengemasi barang dan pakaianku untuk pergi ke rumah Sam, tak lupa aku meminta izin dari ibuku dan beliau mengiyakan permintaanku. Jarak rumahku dan Sam hanya satu jam saja. Aku hanya perlu menaiki tram satu kali saja dan aku akan turun di stasiun terdekat lalu jalan kaki 10 menit ke rumahnya. Lingkungan rumahnya membuat orang-orang sekitar dibuat nyaman dengan pemandangannya. Saat masuk pun, aku disuguhi kolam ikan koi kecil dan dihiasi air pancuran serta tanaman rambat yang ada di tembok hiasnya yang ada di sebelah kanan pintu depan rumahnya. Ada pula taman mini di dekat kolam itu, sungguh rumah idaman nan modern. Kemudian, Sam mempersilakanku masuk ke rumahnya. Aku meletakkan tas jinjingku di kamar tidurnya sementara Sam berada di dapur, memasak untuk makan malam. Saat aku masuk juga aku mencium aroma yang nikmat sekali. Aku belum pernah menyicipi makanan buatannya. Aku membantunya masuk ke ruang dapur. Aku disuruh menyiapkan piring dan membereskan meja saja, aku menuruti perintahnya.

"Lo masak? Aromanya harum banget. Bikin laper aja. Untung aja, gue belom makan malam. Kayaknya enak."

Sam menjawab, "Lo cicipin aja nanti. Makanan ini gue buatin khusus untuk lo aja. Karena gue mau lihat lo berubah, Bri. Gue cukup khawatir berat badan lo. Tian menceritakan semuanya sama gue."

Aku hanya terdiam sejenak lalu membalas, "Ternyata lo cuma kasihan sama gue? Gue kira lo benar-benar baik."

Sam menimpal sambil berbalik, "Bri, gue benar-benar khawatir dan peduli sama lo. Bukan berarti gue ngehina lo. Gue gak bermaksud buruk sama lo. Gue cuma pengen bantuin lo aja dan gue berjanji bakal selalu merangkul lo, Bri."

Kata-katanya membuatku luluh dan bersemangat.

"Oke deh, kalo gitu mau lo, gue terima tawarannya. Makasih udah mau usaha keras bantuin gue. Kalian berdua sungguh teman yang hebat." Kataku sambil mengunyah sebatang wortel mentah.

"Wah, rupanya lo suka sama wortel mentah, ya? Gue juga apalagi kalau wortelnya dibuat minuman tuh enak banget. Hehe. Terima kasihnya sama Tian aja, kalo bukan karena dia, gue gak bakalan kenal sama lo."

Selang beberapa menit kami berbincang, makanannya sudah matang dan siap dimakan. Ada banyak sekali menu yang dimasak sendiri oleh Sam. Aku mencicipi salah satunya. Mejanya penuh dengan makanan sehat dan bernutrisi. Rasanya sungguh enak dan menggugah selera. Kemudian, Sam memegang tanganku sambil berkata, "Dateng aja tiap seminggu dua kali, gue bakal bikinin makanan yang enak cuma buat lo. Gue udah janji buat beri yang terbaik buat lo. Gue tahu kalo julukan yang dilantunkan oleh para anjing berengsek itu akan sirna. Baik gue dan Tian, kami akan selalu menjaga dan mendukung lo dengan sangat baik. Gue janji di hadapan lo, Bri."

Sungguh manis sekali kata-katanya, membuatku tersipu malu. Dia juga terlihat sangat cantik dengan rambut pirang yang diwarnai dengan warna biru seperti ombre. Indah sekali. Setelah makan malam, Sam mengajakku untuk menonton film di Netflix dengan TV pintarnya di ruang tamu. Ukuran televisinya sangat besar sehingga bisa ditonton dengan puas. Dia menyelimutiku karena aku sedikit kedinginan lalu kami berselimut bersama sambil menonton film. Dia hanya menatapku, tapi aku acuhkan.

Lalu aku bertanya, "Lo ngapain sih?"

"Kok lo bisa cantik banget sih?" Katanya.

"Hah? Apaan sih, Lo tuh lebih cantik daripada gue. Inget, gue ini 'kan si cacing. Lo ngeliatin gue kayak gitu, apa gak jijik?" Kataku sambil mengunyah berondong jagung.

"Gak tuh. Gue gak merasa jijik sama lo. Malahan gue tertarik sama muka lo, Bri. Lo tuh manis banget kalo diliat dari deket gini."

Lalu aku menoleh, "Lo tuh orang pertama yang bilang gue cantik dan manis. Dunia udah gila kali ya? Apa kau sudah gila? Lo barusan ngegodain gue? Eh, Sam. Gue tuh cewek. Harusnya lo suka sama cowok. Gimana sih?"

Dia hanya terus tersenyum melihatku dengan wajah manisnya. "Ngomong apaan sih? Gue bener-bener tulus bilangnya dan memang gue lagi godain lo. Terus kenapa?"

Dengan refleks, aku melompat dari sofa nyaman itu. Dengan wajah ngeri. "Hei, jangan deket-deket. Dasar mak lampir! Bercanda lo jelek banget. Hih!"

Lalu, aku mulai duduk di sofa bersebelahan. Tidak berdekatan. Selama beberapa jam kami hanya diam menatap layar televisi, kecuali Sam. Dia sesekali melihatku. Aku ketakutan tapi senyumannya manis sekali. Ingin kuteriak sekencangnya tapi Tian pernah bilang kalau tembok rumahnya Samantha sangatlah tebal hingga bunyi sekeras apa pun takkan terdengar keluar atau masuk.

Ini membuatku gila. Sungguh gila. "Kok bisa orang kayak Sam suka sama aku?" Hatiku terus bergumam seperti itu. Aku harus tenang. Aku tak boleh panik. Panik hanya membuatmu semakin gila dan kau akan mati. AKAN MATI. Sabrina, kau pasti bisa menghadapi Samantha. Dia hanya seorang gadis cantik, kecuali suaranya masih terdengar seperti pria tapi dia tetap teman wanitaku yang baik. Pikiranku sudah ke mana-mana. Aku ingin pulang tapi hatiku berkata untuk tinggal di sini. Di rumah mak lampir ini.

Setelah filmnya habis, aku mencoba memulai percakapan tapi...

"Bri, maafin gue kalo udah bikin lo takut, gue gak bermaksud apa-apa. Kalo boleh jujur, gue tuh suka sama lo sejak pertama kali kenalan. Gue beneran suka sama lo tapi gue gak berani bilangnya karena takut. Dan gue sadar kalo ini adalah waktu yang tepat untuk gue sampaikan." Katanya dengan nada bicara yang cepat.

"Gue udah tau kok. Gue tau pasti lo suka sama gue. Tapi lain kali kalo mau utarain perasaan lo, jangan ngeliatin gue kek tadi. Gue bingung aja, kok lo bisa suka sama gue sih? Gue juga gak cantik kayak gadis yang lain. Yang cantik justru lo, gue yakin pasti banyak cowok yang mau sama lo. Lo kan transpuan, masa bisa suka sama cewek juga?"

Sam membalas, "Gak ada alasan kenapa gue bisa suka tapi inilah orientasi seksual gue saat ini. Gue juga gak ngerasa diri gue sebagai seorang pria yang dulu, gue merasa kalo diri gue ini adalah seorang wanita. Mungkin beberapa tahun lagi, gue bakal ngelakuin transisi. Jadi, rahasia gue aman kecuali lo. Tian gak tau apa-apa soal orientasi seksual gue. Meskipun gue udah jadi perempuan, gue gak pernah suka sama lawan jenis gue yang seorang pria. Gue juga gak pernah punya trauma sama pria. Cuman, pas gue berada di dekat wanita, hati gue tuh malah berdegup kencang dan gugup. Buat ngomong aja masih gagap. Untung aja, Tian bisa ngenalin lo sama gue, Bri." Sambil duduk mendekatiku.

Kali ini, dia berbicara dengan serius sekali. Seperti akan terjadi ujian nasional. "Gue pengen selalu ada di deket lo, Bri. Gue pengen mendampingi lo. Gue juga mau bantuin lo. Ini gue serius sama lo."

Sungguh kalimat yang belum pernah kudengar langsung dari siapa pun. Bahkan aku pun belum pernah punya kekasih. Dan sekarang aku digoda oleh seorang gadis yang cantik rupanya.

Lalu, aku menjawab, "Jujur ya, gue juga pengen banget bisa terima tapi gue juga harus mikirin hal yang udah lo curahkan ke gue. Gue gak mau nyesel di kemudian hari."

Tidak lama setelah itu, dia mencium bibirku dan dengan refleks aku membalas ciumannya. Ini pertama kalinya. Aku dicium. Seorang gadis. Aku tak ingin bohong tapi bibirnya sangat manis seperti permen gummy bear. Ini benar-benar gila. Aku dicium seorang gadis yang umurnya lebih muda satu tahun dariku. Tidak habis pikir. Pikiranku masih berputar-putar bahkan setelah kami ciuman perasaan itu masih melekat. Aku yang hanya seorang gadis biasa-biasa saja bisa disukai dengan gadis yang parasnya seperti Samantha.

"Hello? Earth to Bri. Anyone there?" Katanya sembari mengipasi tangannya di wajahku yang masih menatap tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.

"Iya, Sam. Sorry, gue terbawa suasana." Dia pun hanya tertawa melihat wajah polosku.

"Tuh kan? Udah terbukti kalo lo juga suka sama gue, 'kan? Hahahahaha... Ayo, filmnya udah habis." Katanya sambil menuntunku ke dalam kamar. Seolah-olah dia melupakan kejadian yang tadi. "Tadi maksudnya apaan?" Pikirku penasaran.

Jika pikiranku bisa berbicara mungkin adegannya akan sama seperti yang ada di film Inside Out rilisan Disney. Semua emosi berbicara dan mencoba menenangkan satu sama lain. Emosiku campur aduk. Tapi kucoba untuk tetap tenang.

Kami hanya berdua di rumah Sam yang agak besar. Orang tuanya sedang berbulan madu (lagi?) katanya, jalan-jalan ke Surabaya selama beberapa minggu. Bulan madu atau liburan? Kamar tidurnya juga besar, kira-kira seukuran ruang tamu di rumahku. Bahkan ada ruang pakaian dan kamar mandi di dalamnya. Benar-benar kamar wanita idaman masa kini. Aku hanya geleng-geleng melihat sekitar kamarnya yang begitu luas.

"Ini kamar lo? Gede banget. Bahkan lebih gede dari ruang tamu di rumah ibu gue. Dan lo nikmatin sendirian?" Kataku sambil menganga melihat indahnya kamar tidur Sam.

"Makanya, gue ngajak lo ke sini. Gue gak mau sendirian. Kan lebih enak kalo lo ada di sini. Lo juga bakal gue beri makanan enak di sini. Fasilitas juga banyak. Besok pagi, kalo lo butuh kesegaran, buka baju lo aja buat berenang."

Aku kaget. "Dibuka semua? Maksud lo, gue harus berenang sambil telanjang gitu? Udah gila lo, Sam."

Sam hanya cengengesan. "Aduh, bukan gitu maksud gue. Tapi kalo lo mau telanjang juga gapapa. Gak bakalan ada yang ngintip kita di sini. Anggep aja rumah sendiri. Lagipula..."

Kalimatnya membuatku penasaran. "Lagipula apa? Awas aja kalo berani macam-macam gue bakal pulang ke rumah dan lo pikir ciuman itu sangat berarti buat gue?"

"Ciuman itu adalah tanda kalo gue suka sama lo. Kan udah dibilang tadi. Lo gak perlu jawab sekarang, gue udah biasa nunggu. Tenang aja, gue bakal jaga jarak kalo lo gak suka sama gue." Katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Kasurnya yang besar membuatku harus tidur berduaan di sampingnya. Karena aku telah diajak menjadi tamu istimewanya, aku merasa tak enak hati.

"Gue tidur di bawah ya." Kataku sembari merapikan selimut di atas ubin kayu yang dingin. Sam membalas, "Lo ngapain sih, Bri?" Lalu, dia menarikku ke atas kasurnya dan dia menawarkan diri untuk tidur di bawah. "Lo itu tamu. Gak tidur di bawah. Biar gue yang tidur di situ. Lo diem aja di situ, jangan ke mana-mana. Oke?"

Aku hanya diam dan menuruti perintahnya. "Sam, gue mau nanya deh. Kok lo bisa suka sama gue sih? Gue tuh masih bingung dari tadi lho."

Sam terdiam sejenak lalu menjawab, "Gue tuh seorang lesbi, Bri. Kalo lo gak tau, lesbi itu hanya suka dengan cewek doang. Tapi kalo dia suka sama cowok juga, bukan lesbi lagi melainkan biseksual. Lo tuh perlu belajar hal ini, tau gak sih?"

Aku balas, "Gue juga udah tau, Sam. Gak usah lo jelasin lagi, gue paham banget. Yang gue maksud, kenapa lo bisa suka sama gue? Apa alasannya? Gue butuh penjelasan yang lebih konkret dari itu."

Sam hanya memijat keningnya lalu berusaha menjawab pertanyaanku sambil menghela napasnya.

"Kayak awal tadi, gue tuh udah suka sama lo sejak kita kenalan peetama kalinya. Gue suka sama lo bukan karena lo jadi bahan rundungan, lo tuh lebih cantik dari yang gue bayangkan. Masalah penampilan, gue bisa bantu ubah kalo lo mau. Tapi beneran deh, gue emang suka sama lo yang sekarang. Indah banget lekukan tubuh lo meskipun lo keliatan kurus. Gue bisa bayangin hal tergila sekali pun selama seharian. Emang aneh dan mungkin jijik tapi itu yang gue rasain sama lo, Sabrina. Apa lo udah puas?"

Aku bilang, "Cukup puas dan rinci." Aku pun bisa tidur nyenyak. "Makasih ya, Sam. Jawaban lo cukup masuk akal dan gila di telinga gue. Gue akan mikirin dan bales kapan-kapan aja ya. Gue masih butuh waktu untuk mencernanya."

"Iya, gue ngerti. Pikiran aja baik-baik. Gak usah diburu-buru. Gue bakal nunggu keputusan lo." Begitu kata Sam.

Kami berdua mengobrol hingga tak sadar bahwa jarum jam sudah di pukul 23:00. Kami pun tidur pulas.

"Good morning, Sunshine." Kata Sam sambil mengusap rambutku. "Ayo, bangun. Udah jam 9 pagi lho. Lo mau tidur sampai kapan, Bri? Ayo, mandi terus kita sarapan. Gue udah bikin roti isi keju dan telur. Kata Tian, lo tuh suka banget sama telur setengah mateng. Gue masakin buat lo doang. Buruan!"

Selama 3 hari, aku menginap di rumahnya. Aku disuguhi berbagai fasilitas yang ada di rumahnya. Dia juga tak lupa mencium pipiku sambil berkata, "Jangan lupa untuk ngasih kabar kalo lo udah sampe di rumah dan jawaban dari lo akan selalu gue tunggu. Oh iya, kalo lo kesepian, lo tau siapa yang harus lo hubungi."

"Akan gue pikirin lagi. Gue butuh beberapa hari lagi buat mikirin itu. Makasih udah izinin gue nginep di rumah lo ya. Sampai ketemu."

Setelah kejadian itu, dan dua hari kemudian, aku ingin membalas perasaannya. Saat itu, Tian menelponku, katanya ada hal yang penting yang mau dia katakan padaku langsung. Sebelumnya, Sam juga hari ini ingin mampir ke rumahku.

Saat Sam tiba, aku langsung memeluknya. "Gue udah mikirin hal itu. Gara-gara lo nih, gue jadi kepikiran sama yang kemarin lusa. Entah setan apa yang rasuki tubuh gue. Tapi gue mau jadi pacar lo, Sam."

Setelah mendengar itu, Sam langsung menciumku di depan rumah. Saat itu, ibuku tak ada di rumah. Tian juga tak kunjung datang. Sebelumnya, Tian belum tahu kalau Sam suka padaku begitu juga sebaliknya, dia tak tahu kalau aku membalas perasaan Sam.

Setelah sebulan, tepatnya tanggal 15 Februari, aku berpacaran dengan Sam. Sikap Tian terhadapku menjadi berbeda dari biasanya. Dia lebih cuek dan tak seperti dulu saat kami pernah dekat. Ada apa dengannya? Mengapa dia bisa menjadi dingin seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan? Pertanyaan itu selalu terlintas di pikiranku. Bahkan saat kuhubungi saja, dia enggan untuk menjawabnya. Aku juga mengirimkan SMS, namun tak kunjung dibalas dengan jawaban dari pertanyaanku melainkan hanya dijawab dengan, "Gapapa. Gue emang lagi sibuk." Aku benar-benar tak mengerti.

Kemudian di hari Minggu, dua minggu setelahnya, aku diajak bertemu dengan Tian di sebuah restoran Jepang. Tian datang duluan, dan dia menungguku. Satu jam kemudian, aku baru datang.

"Sorry ya, kalo gue telat. Gue abis ngerjain tugas kuliah yang lagi numpuk banget." Kataku sembari mengatur napasku.

Tian jawab dengan nada ketus, "Gapapa. Gue maklumin lo 'kan juga mahasiswa yang rajin. Ada perlu apaan sih? Tumben banget ngajak ketemuan dadakan begini?" Aku memegang tangannya dan melanjutkan. "Tian, gue ini sahabat lo. Apa gue ngelakuin kesalahan sama lo? Kalo ada salah, gue mau minta maaf ya. Gue gak ada maksud sakitin hati lo. Jadi, maafin gue kalo ada salah." Kataku sambil memijat telapak tangannya.

Lalu, Tian menjawab sambil menghela napas yang panjang, "Bri, justru gue yang mau minta maaf sama lo. Selama ini, gue gak tau kalo Sam ternyata suka sama lo juga. Jujur aja, ada hal penting pas gue mau ketemu sama lo dan sambil mengutarakan kesukaan gue sama lo. Tapi pas gue dateng, yang gue lihat hanya Sam yang lagi cium bibir lo. Itu yang bikin gue menjauh dari kalian selama beberapa minggu. Gue mengurung diri buat gak ngomong sama lo. Gue ngerasa dibodohi sama si Sam."

Aku pun tersentak mendengarnya, selama ini aku tak tahu bahwa Tian menyukaiku sejak lama. Dia menceritakan padaku kalau perasaannya selalu ingin disampaikan tapi selalu terhalang oleh niat dan kegiatannya. Sungguh malang nian nasib Tian. Aku pun bingung harus bagaimana. Tapi Tian menyuruhku untuk jangan memikirkannya. Aku malah disuruh untuk menjaga Samantha dan sebaliknya. Aku memeluk tubuhnya erat, hatinya retak, aku juga sedih mendengar pengakuan Tian yang begitu tulus padaku. Kami tetap menjadi teman yang baik hingga sekarang.

Hubungan Sam dan Tian saat ini juga renggang, tak sedekat dulu. Entah apa yang terjadi dalam hubungan pertemanan mereka. Aku juga mempertanyakan hal ini dengan Sam. Yang kudapati hanya jawaban, "Tak ada apa-apa. Kami baik-baik saja." Padahal Tian sendiri yang bercerita bahwa hubungan mereka tak baik. Sam menjadi lebih dingin dari biasanya saat kami bertiga bertemu langsung. Sam lebih menarik perhatian padaku dibandingkan dengan Tian. Sungguh, aku ingin ikut campur tapi Sam selalu menolak. Saat akhirnya, aku mengajak Tian dan Sam bertemu tapi aku bilang Sam harus datang duluan. Supaya aku dan Tian bisa datang bersama. Selama ini, Sam selalu menjauh dan menjaga jaraknya dari Tian. Aku tahu. Ada yang tak beres setelah aku berpasangan dengan Sam. Ini tak bisa dibiarkan. Masalah ini harus segera diselesaikan.

"TING!" Bunyi ponselku saat ada pesan masuk. Aku membaca isi pesan dari Sam, "Aku udah sampe. Kamu di mana?" Aku membalasnya, "Aku udah di Starbucks duduk di atas." Lalu menyimpan ponselku di tas. Hari ini, aku datang bersama Tian untuk menemui Sam. Selama ini, Sam selalu menolak bila ingin bertemu dengan Tian. Sam selalu tak kunjung datang bila aku ingin kami semua bertemu. Seringkali juga, Sam selalu bilang, "Maaf, aku sibuk karena tugas kuliah dan lain-lain." Aku harus membantu meluruskan masalah ini. Untung saja Tian bisa diajak kooperatif.

===TO BE CONTINUED===

Gimana reaksi kalian soal Samantha? Apa gambaran di kisah mereka selanjutnya? Beri pendapat kalian soal cerita ini ya!

cat5imscreators' thoughts