webnovel

PREEKLAMSIA

Kehamilan adalah saat yang paling membahagiakan sekaligus menegangkan bagi seorang wanita. Bahagia karena menjadi sebuah kenikmatan saat bisa melahirkan seorang manusia ke dunia. Tapi jika kehamilan itu ada masalah bahkan bisa mengancam keselamatan ibu dan bayinya, bagaimana? Kisah ini tentang Aini yang harus mengalami preeklamsia di kehamilan keduanya. Apakah Aini bisa melewati ujiannya kali ini? Dan bagaimana peran keluarga di saat seperti ini? ikuti kisahnya ada tangis kesedihan, kemarahan dan tangis bahagia.

ANESHA_BEE · History
Not enough ratings
4 Chs

TENSIKU TINGGI

"Mbak..mana dokternya? sakit Mbak!! masih lama Mbak?!!" Aku berteriak ketika terjadi kontraksi lagi. Entah pembukaan yang keberapa sekarang. Yang jelas frekuensinya semakin rapat. Keringat bercucuran meski pendingin ruangan dinyalakan. Tekanan darahku mungkin sudah tak karuan. Hanya doa yang bisa aku panjatkan. Untuk meringankan.

"Tunggu sebentar ya Bu. Tarik nafas yang dalam lalu keluarkan ya Bu. Dokter Sinta sedang menolong pasien lain. Sebentar lagi ke sini koq. Sabar ya. Istighfar ya bu." ucap seorang perawat perempuan yang menemaniku.

"Mbak saya mau ngejan, Mbak. Saya ga kuat Mbak. Sakiit..." teriakku sambil menangis. Sungguh nyawaku seperti sudah di ujung tanduk. Bayangan kematian pun terlintas saat rasa sakit akibat kontraksi itu datang lagi.

"Jangan ngejan dulu ya Bu. Ibu tidak kasihan sama bayinya? sabar ya Bu. Sebentar lagi ya Bu." Perawat itu mencoba menenangkanku. Tapi aku sudah tak peduli. Bayangkan saja aku menunggu dari pukul satu malam dan sekarang sudah pukul delapan pagi. Sedangkan pembukaan jalan terus.

Bayiku rasanya sudah ingin keluar tapi masih harus tarik nafas dalam. Aku bisa saja mengejan saat itu. Tapi karena posisi bayi yang sungsang dan tekanan darahku yang tinggi, akhirnya aku pasrah dengan keadaan. Harus operasi dan tidak boleh normal. Aku percaya akan keajaiban yang Allah berikan. Satu sisi hatiku berkata apa mungkin ini jalan Allah agar aku bisa melahirkan normal? aku percaya akan kekuasaan Allah. Tak ada yang tidak mungkin bagiNya. Bahkan yang sungsangpun bisa lahir normal.

Satu sisi hatiku yang lain berkata lain. Kali ini aku memilih yang disarankan dokter. Bukannya aku tak percaya kekuasaan Allah, bukannya aku tak percaya bahwa tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Tapi ini adalah ikhtiyarku. Demi keselamatanku dan bayiku. Aku percaya ini adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untukku.

"Ibu, sudah tidak sakit kan?" tanya seorang dokter yang entah kapan berada di belakangku. Dan seolah tak sadar aku duduk dan disuntik anestesi di punggungku. Setelah itu rasa sakit akibat kontraksi sudah tak ada lagi. Dan sesaat kemudian, aku tak tahu apa yang terjadi.

***

Satu bulan yang lalu

"Ayah pulang saja dulu. Takutnya nunggunya kelamaan. Nanti aku WA kalau sudah selesai. Alfa ikut pulang sama Ayah ya." ucapku sambil menyerahkan helm ke tangan suamiku. Hari ini jadwal aku kontrol kehamilan. Tepatnya kehamilan yang kedua. Kehamilan yang memang sudah aku rencanakan saat Alfa, anak sulungku sudah berumur lima tahun.

"Iya, lagian ini juga mau hujan kayaknya." ucap suamiku yang masih duduk di atas motor maticnya.

"Ga mau. Aku mau ikut Mama. Aku mau lihat adek bayi." pekik anak sulungku yang selalu antusias setiap kali pergi ke bidan. Karena dia bisa melihat gambar adiknya di layar USG itu. Ya sejak awal kehamilan aku selalu periksa di Bidan. Kebetulan di bidan juga ada alat USG meski tidak secanggih di Dokter Kandungan.

"Ya sudah Alfa biar ikut aku saja, Yah. Alfa, helmnya kasih ke Ayah ya. Ayo ikut Mama." ajakku sambil menggandeng anak sulungku.

"Yeee... asik lihat dedek." Alfa sangat senang apalagi kurang dua bulan lagi dia mau bertemu adiknya. Ya menurut perhitungan, HPL ku masih satu setengah bulan lagi.

Suamiku pulang lebih dulu karena biasanya dia tidak sabar jika terlalu lama menunggu. Apalagi Bidan langgananku ini selalu ramai. Sedangkan aku dan putraku masuk ke ruang tunggu di bidan yang kami kunjungi. Baru ada empat orang yang datang termasuk aku.

"Eh Mbak Aini, periksa di sini juga?" seseorang menyapaku. Aku menoleh dan mencari sumber suara itu. Karena memakai masker jadi agak pangling dengan orang yang menyapaku.

"Lho Bu RT? maaf saya pangling." jawabku sambil menangkupkan tangan karena tak berani salaman.

"Iya gapapa... saya lihat Alfa jadi ga salah orang kalau ini Mbak Aini. Sudah berapa bulan, Mbak?"

"Tujuh bulan Bu, jalan delapan." jawabku sambil duduk berseberangan dengannya. Alfa duduk di sampingku. Aku serahkan buku pink yang bertuliskan Buku Kesehatan Ibu dan Anak pada asisten bidan.

"Terpaut sebulan sama saya. Saya ini enam jalan tujuh." ucapnya.

Setelah itu kami sama-sama menunggu giliran kami untuk tensi sebelum bidannya datang. Setelah giliran bu RT selesai tensi, tiba giliranku yang dipanggil.

"Bu Aini." panggil asisten bidan yang mengenakan APD lengkap.

"Iya Mbak. Saya." Aku berjalan dan duduk di depan asisten bidan. Lalu kuulurkan tangan kiriku untuk di pasang dengan manset perekat . Dan asisten bidan mulai memompa dengan bola tensi. Karena tensimeternya menggunakan yang manual.

"Bu coba tarik nafas dalam lalu hembuskan lewat mulut ya. Berulang kali ya bu."

"Iya Mbak." Aku mengikuti instruksi si Asisten bidan. Asisten itu mencoba sekali lagi dan sepertinya hasilnya tetap sama. Tapi dia tidak mau bilang berapa.

"Ibu duduk dulu ya. Ambil nafas dalam terus dan hembuskan lewat mulut terus ya bu. Nanti saya panggil lagi. Masih tinggi soalnya."

"Iya Mbak." Akupun mencari tempat duduk lagi karena tempat dudukku tadi sudah ditempati orang lain.

"Ayo dek duduk di situ." ucapku pada Alfa yang setia mendampingiku.

"Ada apa Mbak Aini? koq nanti ditensi lagi?" tanya Bu RT saat aku sudah duduk. Seperti biasa. Ibu-ibu yang lain juga ikut nimbrung mendengarkan.

"Katanya masih tinggi, Bu. Padahal saya ga ngerasain apa-apa. Pusing pun tidak." ucapku santai. Santai karena aku yakin aku baik-baik saja. Karena waktu melahirkan Alfa dulu tensiku juga tinggi tapi masih bisa lahir normal.

"Oh gitu? kecapean kali Mbak atau kurang istirahat." ucap wanita hamil yang duduk di samping Bu RT.

"Iya mungkin kali ya." Aku ingat-ingat lagi akhir-akhir ini aku memang kurang tidur. Karena kandungan semakin besar, jadi semakin sering buang air kecil di malam hari. Biasanya setelah itu aku tidak bisa tidur lagi.

"Bu Aini."

"Iya Mbak." Setelah kira-kira sepuluh menit kemudian, asisten bidan kembali memanggilku. Dan melakukan hal yang sama yaitu memeriksa tekanan darahku lagi.

"Masih sama, Bu. Saya ulang lagi ya."

"Iya Mbak." aku hanya pasrah. Tapi juga masih santai karena aku yakin aku baik-baik saja. Dari awal kehamilan juga normal tak ada kendala. "Berapa sih Mbak?" akhirnya aku bertanya. Karena setelah diulang hasilnya masih tetap sama sepertinya. Terlihat sekali dari raut wajahnya.

"Tinggi Bu. 160. Nanti tunggu Bu Yayuk dulu ya Bu."

Setelah itu aku duduk sambil menunggu giliranku. Entah apa yang terjadi denganku. Yang jelas aku tidak merasakan apa-apa. Hanya mata saja yang lelah karena kurang istirahat.

"Mama, kenapa lama sekali? kapan aku bisa lihat dedek bayi?" tanya Alfa yang sepertinya mulai bosan di ruangan itu. Apalagi dia juga memakai masker.

"Sabar ya Dek. Nanti nunggu dipanggil lagi."

"Ya udah deh. Boleh aku main hp, Ma?" tanya alfa yang memang tidak aku biasakan main hp. Hanya sesekali saja. Seperti saat antri seperti sekarang yang membuatnya merasa bosan, baru aku perbolehkan.

"Boleh, tapi sebentar saja ya." ucapku sambil mencari hp di dalam tas.

"Iya Mama. Oke."

Sembari menunggu giliranku dipanggil, aku ikut serta melihat apa yang dibuka oleh Alfa. Selalu saja Boboiboy yang dibuka.

"Bu Aini." Lama aku menunggu, akhirnya aku dipanggil juga.

"Bu Aini, langsung ke dokter kandungan saja ya. Saya tidak berani nangani soalnya tensinya tinggi." ucap bidan langgananku yang bernama Bu Yayuk.

"Tapi waktu anak pertama, tensi saya juga tinggi bu waktu melahirkan."

"Itu kan melahirkan. Kalau masih masa kehamilan itu yang dikhawatirkan akan adanya Preeklampsia. Ibu tahu kan?"

"Preeklampsia? tahu bu." ucapku karena pernah mendengar dari teman yang juga pernah mengalami. Tapi aku tidak terlalu ingin mencari tahu tentang apa itu preeklampsia dan apa dampak untuk ibu dan bayinya.

"Cari dokter sekarang ya Bu. Takutnya kalau ditunda tekanan darahnya naik lagi."

"Iya Bu Yayuk. Jadi ini tidak usah periksa, Bu?"

"Tidak usah. Nanti langsung ke Dokter saja sama USG sekalian.

"Iya bu makasih banyak." Aku pun keluar bersama Alfa. Tampaknya dia kecewa karena tidak bisa melihat adik bayinya.

'Cari dokter ke mana?' batinku saat di depan ruangan. Sedangkan saat ini sudah mendekati waktu maghrib.