webnovel

PREEKLAMSIA

Kehamilan adalah saat yang paling membahagiakan sekaligus menegangkan bagi seorang wanita. Bahagia karena menjadi sebuah kenikmatan saat bisa melahirkan seorang manusia ke dunia. Tapi jika kehamilan itu ada masalah bahkan bisa mengancam keselamatan ibu dan bayinya, bagaimana? Kisah ini tentang Aini yang harus mengalami preeklamsia di kehamilan keduanya. Apakah Aini bisa melewati ujiannya kali ini? Dan bagaimana peran keluarga di saat seperti ini? ikuti kisahnya ada tangis kesedihan, kemarahan dan tangis bahagia.

ANESHA_BEE · History
Not enough ratings
4 Chs

OBAT YANG MAHAL

Aku hanya diam setelah keluar dari ruangan dokter Sinta. Mas Yanto sesekali mengeluarkan candaan, tapi sepertinya tidak mempan buatku.

Apa kondisiku memang sangat mengkhawatirkan sehingga kalau nanti tensi darahnya semakin naik, aku harus dirawat inap di rumah sakit?

"Sudah, tidak usah dipikirin. Kalau kamu pikirin terus, tekanan darahmu akan naik lagi nanti. Kamu duduk di sini dulu ya. Aku mau Ambil antrian untuk obat." ucap Mas Yanto menyuruhku duduk di depan loket pengambilan obat.

"Jangan lama-lama ya" ucapku yang sedang gelisah.

"Iya. Sebentar ya. Minum dulu air putihnya." Mas Yanto menyerahkan botol air mineral ke tanganku. Lalu meninggalkanku.

Akupun meminum air mineral botolan yang tadi dibeli oleh Mas Yanto di koperasi. Aku masih memikirkan semua ini. Seperti tak dinyana tak diduga. Semua terjadi begitu saja.

Aku menyesal karena tidak dari awal memeriksakan kandunganku di dokter. Kalau dari awal aku tahu bahwa keadaan seperti ini, mungkin bisa diatasi sejak awal. Termasuk perkara air ketubanku yang sedikit. Selama ini bidan tidak pernah sedetail ini pemeriksaannya. Mungkin juga karena keterbatasan alat yang digunakan.

Tadinya aku pikir periksa di bidan sudah cukup. Apalagi dengan kondisi pandemi yang seperti sekarang membuat aku khawatir kalau pergi ke rumah sakit. Ini karena aku menjalani kehamilan keduaku lebih santai. Hanya karena merasa sudah ada pengalaman hamil dan melahirkan sebelumnya, lantas akupun berfikir tak akan ada masalah.

Jumlah air ketuban yang sedikit, tentu akan membahayakan janin yang ada dalam kandungan. Belum lagi tentang tekanan darah yang tinggi. Yang kemungkinan besar akan membahayakan janin dalam kandunganku juga kalau tidak segera diatasi. Hatiku campur aduk rasanya.

Sesaat kemudian Mas Yanto datang, membawa nomor antrian dan ternyata setelah aku lihat di layar antrian kami masih ada 20 nomor lagi. Aku pun menunggu dengan sabar bersama Mas Yanto. Kami mengobrol apa saja agar aku bisa melupakan apa yang terjadi padaku sekarang. Kata Mas Yanto penyakit itu jangan dipikir terlalu dalam, nanti malah sakitnya tambah parah. Menurunkan imunitas tubuh.

"Oh ya nanti mau makan apa? Alfa mau dibelikan apa nanti?" tanya Mas Yanto yang dari tadi mengajakku bicara agar Aku tidak diam saja. Tapi kadang aku melamun tak menanggapi. Aku sampai lupa tentang Alfa yang tadi aku titipkan pada kakak perempuanku.

"Ayam crispy saja Mas. Kalau aku, nanti masak sayur bening saja. Kalau darah tinggi kan harus mengurangi garam. Mungkin mulai sekarang kita masak sendiri saja ya Mas. dikurangi untuk jajan diluarnya." ucapku.

"Ya itu kan memang kebiasaanmu. Sibuk nulis sampai kadang tidak sempat buat masak. Kita kebanyakan makan makanan tidak sehat mungkin. Kayak ayam goreng crispy gitu kan kurang sehat sebenarnya. Banyak kandungan garamnya."

"Iya mungkin. Tapi aku kan emang ga sempat masak. Mas juga sih nggak mau bantuin." Aku malah menyalahkan suamiku yang memang jarang sekali membantu pekerjaan rumah.

"Lho malah nyalahin. Itu kan tugasmu sebagai ibu rumah tangga." Dia membela diri.

"Ya kalau ibu rumah tangganya sibuk, Bapak rumah tangganya juga harus bantuin dong. Nabi Muhammad SAW dulu saja mau membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah." ucapku membela diri. Berharap dia akan sadar diri.

"Iya aku kan sudah membantumu. Kamu tahu sendiri aku jualan setiap hari. Pulang kadang sampai malam. Masa kamu tega masih menyuruhku melakukan pekerjaan rumah?"

"Sudahlah. Ngomong sama kamu juga malah ujung-ujungnya ribut nanti." ucapku sambil cemberut.

"Udah dong jangan marah enggak boleh banyak pikiran, nggak boleh sering marah-marah lho. Kasihan dedek bayinya yang ada di dalam." Mas Yanto mengingatkan aku.

"Ya Mas.. maafkan aku."

"Hari ini aku libur dulu aja ya. Udah jam segini. Kayaknya ga bisa nyiapin buat jualan." ucap suamiku yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kaki lima di sekitaran Menara Kudus. Ya kami tinggal di kota kecil di pantai utara Jawa Tengah tepatnya kota kecil Kudus yang terkenal karena peninggalan Walisongo yaitu Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus.

"Iya, libur saja dulu. Temenin aku ya." ucapku sambil merajuk.

"Iya. Apa sih yang enggak buat kamu?" Mas Yanto tertawa. Berharap mungkin aku juga bisa tertawa. Tapi entah kenapa keinginanku untuk bisa tertawa sangat kecil sekali. Tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Cemas, khawatir dengan bayi yang ada dalam kandunganku ini. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.

Lama kami duduk di ruang tunggu. Sekira 1 jam kami menunggu antrian. Akhirnya sampai juga dengan nomor antrian kami. Mas Yanto pun berdiri untuk membayar obat.

"Sebentar ya, aku bayar obatnya dulu." ucap Mas Yanto. Kami memang harus membayar obat, karena tidak memakai asuransi kesehatan Pemerintah. Bukan karena kami banyak uang, tapi kata Mas Yanto tidak perlu membuat asuransi kesehatan yang merupakan program pemerintah itu. Katanya kalau daftar itu sama saja mendoakan diri sendiri untuk sakit. Sebenarnya aku tidak sepemahaman dengan pemikirannya, tetapi sebagai istri aku hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh suamiku. Kalau berdebat, ujung-ujungnya juga pasti akan bertengkar lagi. Dan aku males untuk bertengkar.

"250.000 obatnya." ucap Mas Yanto sedikit murung. Dia sudah membuyarkan lamunanku.

"Coba kalau kita pakai asuransi kesehatan pemerintah, pasti tidak akan bayar. Ya sudah enggak apa-apa. Nanti ambil aja uangku." aku tahu keadaannya seperti apa, apalagi sejak pandemi ini penghasilannya sangat tidak menentu. Aku yang juga bekerja, setidaknya masih ada tabungan untuk membantunya jika dirasa kurang.

Memang kurang yang dia berikan untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi aku tidak pernah mempermasalahkannya. Jika dulu di awal pernikahan kami sama-sama egois, sekarang apa yang kita punya itulah milik kami bersama. Tidak ada istilah punyamu Punyamu, punyaku punyaku. Seperti sekarang ini, aku tahu keuntungan dalam berjualan hanya cukup untuk dapur ngebul saja. Otomatis aku yang harus turun tangan membantu.

"Ah ga usah. Aku masih ada kok. Tenang aja. Besok kan aku jualan lagi. Makanya kamu harus sembuh. Nggak boleh banyak pikiran. Biar aku juga tenang ninggalin kamu kalau jualan." ucap Mas Yanto. Ucapannya kali ini menenangkan hatiku. Menurutku itu romantis meski tak terlalu manis sih.

Setelah itu kami pulang dengan mengendarai motor. Ya karena memang ini satu-satunya alat transportasi yang kami punya. Dan sekaligus Mas Yanto pakai untuk berjualan.

Setelah itu tak lupa kami membeli ayam goreng crispy kesukaan Alfa. Sekaligus membelikannya untuk kakakku yang sudah mau menjaga Alfa. Setelah selesai membeli ayam goreng crispy, kami langsung menuju ke rumah kakak.

"Assalamualaikum Mas." ucap suamiku memanggil kakak iparku yang sedang mengecat bagian depan rumahnya.

"Waalaikumsalam.. Eh Yanto, Aini. Sudah pulang? itu Alfa lagi disuapin di dalam." ucap Mas Kandar kakak Iparku.

"Mau dibantuin ga Mas?" ucap suamiku. Dia memang seperti itu dengan kakak-kakakku. Suamiku memang supel, berbeda denganku yang lebih pendiam dan introvert. Kalau kata Dokter Aisyah Dahlan aku ini punya watak Melankolis Plegmatis Tipe ini akan lebih memilih untuk memendam apa yang mereka pikir dan inginkan. Mereka cenderung tertutup dan menghindari konflik. Sifatnya yang tertutup membuat mereka lebih menyukai bekerja di balik layar dan tidak menyukai popularitas. Apa ini ada hubungannya dengan yang terjadi padaku saat ini? entahlah.

"Alfa, itu Ayah dan Mama sudah pulang. Dibawain enak-enak lho." teriak Mas Kandar memanggil Alfa yang ada di dalam. Sesaat kemudian Alfa dan kakak perempuanku keluar menemui kami.

"Aini, sudah pulang? gimana tadi periksanya?" tanya kakakku. Bisa dibilang dia sebagai pengganti orangtuaku yang sudah meninggal.

."Tensinya naik lagi Mbak. 170/100." jawabku lesu.

"Sudah tidak usah dipikir. kamu itu mikirin apa sih? Masih muda kok tensinya bisa tinggi begitu?"kakakku mengajakku duduk di ruang tamunya. Sedangkan suamiku tampak berbincang dengan kakak iparku yang ada di depan.

"Eggak tahu Mbak. Perasaan aku juga nggak mikir apa-apa. Heran aku."

"Ya sudah sekarang tenangkan saja pikiranmu. Fokus sama bayi yang ada dalam kandunganmu. Kalau bisa Asuransi Kesehatannya diurus, Ai. Itu juga untuk kebaikan kita bersama. Kalau ada apa-apa itu tenang kalau sudah punya asuransi." ucap Kakakku yang selalu menyuruhku mengurus asuransi kesehatan.

"Iya Mbak. Apalagi tadi dokternya bilang kalau besok tensiny naik lagi, aku harus dirawat Mbak. Tapi Ayahnya Alfa itu ngotot ga mau bikin." paparku. Aku sedih sekali saat mengatakannya.

"Tenang saja. Masalah Yanto nanti biar aku yang urus. Biar aku yang ngajak dia bicara. mana berani dia melawanku." Ucap kakakku yang memang sering bercanda dengan suamiku. Kakakku Nanik lalu memanggil Mas Yanto "Eh Yanto, aku bilangin sini." Mbak Nanik memanggil Mas Yanto.