1 PERKENALAN DENGAN DINDA

Lekuk tubuh eksotis Dinda masih bertengger sempurna di atas tubuhku. Tanpa selembar benang pun. Mencumbui dadaku. Begitu lihai memainkan lidahnya.

"Ahh," sanggahku mengerinjang dibuatnya.

Dia wanita yang begitu perfect di atas ranjang. Wanita ini sangat erotis memainkan peranannya di atas tubuhku ini, yang mengajarkanku kehidupan bercinta yang sebenarnya.

"Kali ini tidak ada karet yang menjemukan itu lagi, Pram. Akan semakin nikmat malam ini buatmu dan juga buatku," ucapnya. Lidahnya bermain di gerbang bibirku.

Ciuman seliar itu tidak mampu kuelak. "Eemmm ... emmm ...," gumamnya terbalur saat dua bibir kami bertemu. Lidah tertaut sempurna.

Aku sedikit jambak rambutnya. Menghentikan ciuman penuh gairah itu untuk sesaat. "Kau yakin, Sayang?" tanyaku. Mengecup di bawah dagunya dan melepas jambakan di rambutnya.

"Heem, kau tau, Pram. Ini masa suburku. Aku ingin ada Pram kecil di perutku. Seperti yang kau lakukan pada Hilda brengsek itu!" Dia mengerucut bibir.

"Ayolah Sayang. Jangan emosi. Emosi bisa berpengaruh pada keinginanmu memiliki anak dariku, bukan?" Aku singkirkan mayangnya yang melingkupi sisi wajah cantiknya.

Wanita yang hampir menginjak usia 40 tahun ini masih hebat mengajariku bercinta. Bagaimana gairahnya, cumbuannya saat itu.

Aku pria yang belum mengenal kenikmatan surga dunia sebelumnya. Dinda yang mengenalkan padaku. Lekuk tubuh berbalut gaun super ketat dan seksi saat itu. Membuat darah kelaki-lakianku mendidih seketika.

"Hai ... anak baru di sini?" Aku yang duduk di dekat Bar Tender yang begitu asyik memainkan botol vodca dan gelas stanless mengikuti alunan musik dari DJ di atas turntable.

Aku hanya penikmat alkohol bukan penikmat kenikmatan bercinta saat itu. Hanya menanggapinya dingin. Dia ulur tangannya yang lentik. Kuku yang setiap bagiannya mengilat berwarna ungu bermotif. Memberikan kesan, dia wanita elegan dan mampu menjaga penampilannya.

"Dinda!" teriaknya memenangkan suara musik di ruang remang penuh kerlip lampu warna-warni.

"Pram!" jawabku juga berteriak.

"Sendirian?" Bibirnya dia dekatkan di telingaku. Aroma parfum mahal buatan Eropa menyeruak hidungku.

"Menurutmu?" Kesukaanku membuat lebih dari satu jawaban.

"Oww ... kamu pria misterius yang buatku penasaran, yaaachh?" bibirnya lebih dekat di telingaku. Ada desahan lirih di antara napasnya yang membuatku tergelitik.

Ini yang membuatku memandang lebib detail tubuhnya. Bibirnya berlapis lipstik merah maron menggoda. Dalam pikiranku, apa yang ada dalam pikiran wanita cantik di sampingku.

Aku meneguk segelas vodka yang tinggal seteguk. Masih memandang wajah sensualnya.

"Punya istri? Anak?" tanya dia kemudian bersamaan dentum musik yang sesaat terhenti karena DJ mengubah piringan hitam di atas turntable.

Aku kembali menatap Bar Tender yang menuangkan segelas vodka racikannya. Gelas berisi cairan bening kekuningan itu terseret di meja dan melintasiku. Tepat, tangan lentik bercat kuku ungu yang menggoda itu menangkapnya.

Senyum tipisku yang hanya bergulir. Kemudian menjawab pertanyaannya, "menurutmu? Apa aku pria beristri atau terkurung dalam dunia rumah tangga yang aku rasa membosankan?"

"Tunangan? Pacar?"

"Hemm ... lebih nikmat hidup tanpa tekanan dan komitmen."

Dia meneguk segelas vodka dalam genggaman tangannya. Seteguk saja, menyisakan merah rona lipstik di gelasnya.

"Heem, menarik. Aku suka."

"Apa maksudmu? Wanita lebih suka berkomitmen dari pada membebaskan dirinya dalam segala hal tentang suatu hubungan," jawabku sembari memandang.

"Huum, meski itu hubungan gelap," tandasnya mengernyitkan dahi.

"Aku tidak terpengaruh bagaimana itu hubungan gelap. Bisnis yang aku rintis belum seratus persen berjaya."

"Bisnis apa?" Tangannya mengayunkan gelas berisi vodka, meminumnya. Bibirnya begitu sensual. Aku seakan tidak bisa menebak usianya. Kemungkinan seusia kakakku.

"Eksport Import."

"Menarik. Jika butuh investor. Aku bisa menjadi investormu. Boleh aku minta alamat perusahaanmu."

"Tentu." Aku rogoh dompet yang berada di saku belakang jeans-ku. Membuka dompet kulit berwarna hitam. Mengambil selembar kartu nama dan menggeser kartu itu di meja di depannya.

"Heemm... Pramadya Agung. Namanya garang. Segarang penampilannya," senyumnya sembari menggigit bibir bawah.

Dia menyimpan kartu namaku dalam dompet mininya dan mengambil selembar kartu nama. Menyelipkan di bawah gelas vodkanya yang tinggal separo. Berdiri dan menggeser gelas vodkanya bersama kartu nama di bawahnya.

Wanita seksi itu sekarang berdiri di belakangku. Memegang pundakku dan berbisik, "aku berikan setengahnya untukmu."

"Dan sisanya nanti buatmu. Jika kamu mampu hilangkan dahagaku." Desah napasnya mengembuskan angin di telingaku. Bergidik rasanya.

"Maksudmu?" ucapnya dengan mendesah. Merasa ambigu atas ucapannya.

"Sttt... lupakan. Aku akan jadi investor tetap di perusahaanmu setelah aku survei kebenaran dan prospek perusahaanmu, Pram. Sampai ketemu besok, Pramadya Agung." Jemari tangannya bergeser di lekuk punggungku. Sekali lagi membuat bulu kudukku meremang.

***

"Ayolah dicek lagi aerobill, packingnya!! Kita harus buru target!! Masa gini aja gak becus?!!" Aku lempar dengan kasar file di meja kantorku. Satu hal yang membuatku stres luar biasa, jika pekerjaan tidak segera tuntas tepat waktu.

"Maaf, Pak. Ada investor hendak bertemu dengan Anda."

"Suruh tunggu sebentar."

Namun seorang wanita dengan setelan blus memakai jas feminin merah masuk dari balik pintu. "Dinda, Pak Pramadya Agung. Sang investor tetapmu."

"Kamu?"

"Ya, aku pegang janji bukan, observasi perusahaanmu."

"Kalian semua keluar dan segera betulkan semua file aerobill dan packingnya!!" gertakku pada dua karyawanku.

"Hemm ... pengusaha ambisius sepertimu pantas melebarkan sayap kejayaan. Aku yang akan membantumu," celetuknya sembari berjalan ke arahku.

Derap langkah kakinya begitu jelas. High hel yang dia kenakan berirama di atas lantai porselen ruanganku. Ruangan hanya ada kami berdua. Tubuh seksi itu begitu dekat padaku.

"Silakan presentasi," ucapnya dengan nada lembut.

"Tentu, managerku yang akan presentasi."

"Sttt ... aku inginkan kamu yang presentasi, Pram." Telunjuknya membungkam bibirku.

"Presentasi di sini atau ...."

"Di hotel atau apartemen boleh juga," bisiknya membuat darahku berdesir.

"Haah?"

"Bagaimana kalau apartemenmu saja, Pram?"

Kali ini aku tidak berkutik. Jemarinya bermain lagi di bibirku.

"Deal! Apartemenmu, Pram. Kita ke sana sekarang? Lebih cepat lebih baik bukan dalam hal bisnis?" Jarinya kini menyusuri dagu, leher hingga dadaku.

Aku terpaku dibuatnya. Mematung menikmati jemarinya yang membuatku mengerinjang. "Oh, i-iyaaa," jawabku tergegap.

Dinda mengajak ke apartemenku untuk melakukan presentasi tanpa laptop dan proposal. Membawa tubuh kami berdua bersama di mobilnya. Mobil warna merah, senada busana yang dia kenakan saat ini.

***

"Oww, apartemenmu lumayan juga, untuk seorang bujangan sepertimu." Derap langkahnya menyusuri setiap sudut ruang apartemen.

"Kamarmu mana, Pram?" Mendadak darah kejantananku berdesir.

"Hah? Kamar?" tanyaku ragu.

"Ya, sayang. Kamar. Kita lakukan presentasi di sana."

"Haruskah?"

"Ya. Perlu ruang bebas untuk kita rileks dan lebih intim berkomunikasi. Bukan begitu, Prammmm," suaranya mendesah. Tubuhnya menyudutkanku yang semakin tak berdaya. Aku menelan ludah berkali-kali.

Aku terdiam. Menarik napas berat berkali-kali.

"Ayo, Pram. Dalam bisnis kita tidak boleh menunda waktu." Diraih telapak tanganku. Menarikku menuju kamar.

"Sekarang duduk di sini, Pram." Dinda meletakkan kursi yang ada di sudut kamar.

Dia melingkarkan tangannya ke leherku. Mengarahkan tubuhku mundur menuju kursi yang dia siapkan. Aku memandang wajahnya. Bibirnya yang sensual membuat napasku berdesau tak menentu.

"Silakan Pak Pramadya Agung untuk presentasi." Secara kilat dia mengecup bibirku.

Sejenak membuat detak jantungku tak karuan. Suhu tubuhku menghangat seketika.

"Ba-baiklah. Aku mulai presentasinya."

Dia duduk di sisi ranjang. Tepat di depanku. Menyilangkan kaki dengan belahan blus yang dia kenakan. Pahanya putih mulus kentara.

"Huum, silakan." Dia membuka jas merah ketatnya. Semakin jelas lengannya yang putih dengan belahan dada terbuka sebagian.

Aku berusaha fokus presentasi, namun Dinda seakan mengecohkan konsentrasiku. Kali ini dia merebahkan tubuhnya di ranjangku. Menarik ke atas blusnya hingga jelas kedua pahanya terbuka.

Hingga di akhir presentasi, dia semakin liar. Hendak membuka blusnya. "Hei, tunggu. Ini tidak benar, Bu," ucapku mencegah dari dirinya yang hendak berbuat lebih.

Namun dia tetap membuka blusnya di depanku. Melangkah mendekatiku. Melingkarkan tangannya ke leherku lagi. "Panggil Dinda, Pram."

"Aku terima presentasimu. Sekarang ini, jawaban dari hasil presentasimu." Dia duduk di pangkuanku dengan tubuh sebagian tertutup di bagian sensitifnya.

Bibirnya yang seksi dia dekatkan di bibirku. Mengajakku berciuman. Aku menopang tubuhnya dan dia berusaha membuka satu persatu kancing kemejaku. Kami masih terpaut ciuman.

Jarinya bermain main di dadaku. "Emmm... eemmm ...," gumamnya menikmati ciuman.

Aku mengikuti ritmenya. Dia begitu bergairah membuka kemejaku. Ada kecupan kemerahan dari lipstiknya yang menggoda di bahu hingga dadaku.

"Praammm ...," desisnya saat aku cumbui lehernya yang jenjang.

Dia tidak tahan menahan cumbuan liarku. Bangkit dan mengajakku menuju ranjang. Membuka lembar demi lembar pakaianku. Menuntunku untuk menindih tubuhnya.

"Dinda, kenapa kau minta seperti ini? Ini sebuah kesalahan." Dia merebahkan kepalanya di dadaku. Kami dalam satu selimut.

"Sttt ... aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu denganmu di Night Club itu, Sayang." Jari telunjuknya bermain-main di bibir hingga perutku.

"Apa kau kurang bahagia dengan suamimu?"

"Aku bahagia. Tapi lebih tepatnya tidak terpuaskan, Sayang." Dinda mulai memainkan jemarinya ke area sensitifku.

"Hemm, apa suamimu tidak bisa memberikan ini padamu?"

"Ya, dia pria lemah di atas ranjang. Tapi dia begitu kuat memimpin bisnis kami."

"Kami? Maksudnya, kamu ikut andil dalam perusahaan suamimu?"

"Tentu Sayang, saham 75% adalah milikku. Dia hanya 25% dan pengelolanya."

"Bagaimana kalau dia tau perselingkuhan ini?"

"Dia tidak akan berdaya, Pram sayang. Kamu penguasa tubuhku sekarang."

"Aku bukan pria satu-satunya yang membuatmu bergairah di ranjang ini, bukan?" tanyaku. Ada perasaan cemburu mengganggu perasaanku.

Dinda wanita pertama yang mengajakku bercinta. Begitu liar, eksotis dan aku menikmatinya.

"Hanya kamu," ucapnya sembari bangkit dan memainkan perannya lagi di ranjang panas kami.

"Bohong," jawabku tak yakin. Wanita secantik dan seseksi Dinda pasti mudah mendapatkan pria selingkuhannya.

"Kamu mulai cemburu sayang? Aku hapus rasa cemburumu. Karena kamu pria yang mampu membuatku menjerit di atas ranjang."

Dinda sekarang berada di atasku. Kami melakukan percintaan lagi dan lagi.

"Aku telah menemukanmu, Sayang. Tetaplah bersamaku. Kita rengkuh kenikmatan sepuas yang kita mau."

Dia kecup keningku. Mengakhiri peraduan cinta terlarang yang kami cipta bersama. Ini pertemuan awal kami. Percintaan pertamaku dan membuatku semakin liar untuk menjamahi tubuhnya lagi dan lagi saat bertemu dengan Dindaku.

***

avataravatar