1 Kegelapan yang Menyelimuti

LONDON. 07.00 P.M.

Di dalam ruangan yang hanya disorot oleh cahaya temaram. Ruangan tersebut adalah kamar yang sepi, sunyi, dan hampa. Di luar sana matahari semakin naik pada peraduannya, namun di dalam kamar itu seperti malam tidak ada siang.

Jendela-jendela kamar tertutup rapat, kamarnya terlihat sangat begitu suram. Tidak ada yang berani untuk menyentuh barang-barang di dalam kamar itu, menyebabkan barang di dalamnya berdebu. Siapa saja yang berani menyentuh barang-barang di dalam kamar itu, maka ia akan terkena imbasnya. Dengan darah yang akan mengalir di tubuh si Penganggu.

Terlihat samar di dalam temaram seorang pria sedang duduk di ubin lantai. Tepatnya, di pojok ranjang dengan kedua kakinya di pasung dan tangannya diborgol oleh besi yang melilit tangan kekarnya.

Dalam kegelapan pandangan pria itu kosong, ia sudah seperti mayat hidup. Dia hidup dengan raga tanpa jiwa, ini semua karena banyak orang yang memisahkan dirinya dengan wanitanya. Dan lihatlah, ia sekarang berada di titik terendahnya. Pria itu telah kehilangan wanitanya.

Tak terhitung sudah berapa lama pria itu tak bergerak sedikit pun dari posisinya, tatapannya terus saja kosong dan hampa.

Rahang tegasnya kini ditumbuhi sedikit bulu-bulu kasar serta rambutnya terlihat sangat awut-awutan. Sejak dua bulan terakhir, dia tidak lagi mengurus diri karena orang itu tidak datang dan mungkin dia tidak akan pernah datang untuknya.

Setiap malam pria itu selalu saja menangis mengingat wanitanya, bahkan setiap jam, detik, menit, hari, dan tahun dia selalu menanti kedatangan wanitaya untuk membawanya pergi bersama. Namun itu hanya angan-angan semu baginya, nyatanya, dia tak pernah pun datang untuk melihatnya. Bahkan untuk sekadar mendekapnya lagi sudah tidak pernah. Harinya kini begitu suram, gelap, tanpa warna.

"Huftt." Helain napas kasar ia embuskan berkali-kali.

"Saya harus pergi." Kata-kata itu meluncur keluar begitu saja di bibirnya.

Matanya mengedar ke sana kemari dalam cahaya temaram, penglihatannya masih saja begitu tajam bak elang seperti dahulu, sebelum ia terjebak bersama kegelapan. Sudah terhitung dua tahun lamanya ia terjebak dalam kegelapan entah kapan ia akan dikeluarkan.

Tubuhnya terus meronta ke sana kemari, namun itu mustahil untuk terlepas dari deretan belenggu ini. Ia terus menggesekkan tangannya pada borgol yang menyebabkan tangannya memerah bahkan tergores oleh rantai besi itu.

Dia begitu benci dengan kondisi seperti ini, sejak kemarin ia dipasung dan diborgol gara-gara melenyapkan seorang pelayan yang berani ingin menyuapinya. Kemarin pria itu mengamuk dengan brutal, melempar makanan yang di bawah pelayan itu untuknya.

"Lepaskan saya sialan! Saya harus mencari istri saya," teriaknya menggema memenuhi ruangan gelapnya. Rahangnya mengetat, alisnya menukik tajam ke depan. Ia terus meronta-ronta namun tetap saja ia tidak bisa terlepas.

Pandangannya berpindah pada kakinya yang dipasung, pria itu dengan kesal menghentakkan kakinya hingga pasungan besi yang melilit kakinya saling bergesekan dengan ubin lantai menimbulkan suara nyaring memekkan telinga.

Di luar ruangan seorang wanita paruh baya sedang duduk bersama suaminya.

"Bagaimana ini, Mas. Kondisi anak kita semakin memburuk saja?" Dia bertanya seraya menatap suaminya dengan gurat rasa khawatir yang terpencar jelas di wajahnya.

Sang suami memijat pelipisnya pelan, ia juga merasa sangat bingung menghadapi kelakuan anak tunggalnya, dari hari ke hari anaknya itu sangat kehilangan kontrol. Bahkan anaknya itu hampir saja melenyapkan ibunya sendiri, istri tercintanya.

Sedangkan pria paruh baya itu menegakkan tubuhnya menatap istrinya, "Ini semua kesalahan kamu sendiri Rae! Andaikan saja kamu tidak memaksakan perjodohan antara Pragma dengan anak temanmu itu, pasti Pragma saat ini masih baik-baik saja. Dan wanita itu tidak akan pernah meninggalkan Pragma."

Wanita paruh baya itu terdiam mendengar ucapan menusuk dari suaminya, ia juga sangat menyesali perbuatannya di masa lalu. Andai ia tidak membenci wanita itu karena wanita itu lumpuh. Dan ia berpikir wanita itu tidak akan mampu memberinya seorang cucu. Andai ia bisa bersabar sedikit lagi untuk kesembuhan wanita itu, semuanya pasti masih baik-baik saja.

Wanita itu hanya bisa terus berandai, andai dan andai. Ia mengusap air matanya dengan kasar membayangkan bagaimana bencinya, anaknya sampai sekarang terhadapnya karena memisahkan dia dengan wanita itu.

Pria itu prihatin melihat istrinya yang terus saja bersedih dan menyesali semua perbuatannya dua tahun yang lalu, ia merengkuh istrinya ke dalam dekapan hangatnya, tak lupa mengecupi puncak kepala istrinya. Serta tangannya terus mengusap punggung wanitanya dengan lembut dan pelan. Membisikkan kata-kata penenang untuknya.

"Ini semua kesalahan aku, Mas. coba saja aku tidak berniat memisahkan mereka berdua. Wanita itu pergi dengan keadaan mengandung anaknya Pragma, cucu kita, ternyata dia sudah tidak lumpuh lagi pada saat itu. Mengapa aku lambat menyadarinya, andai aku tahu dia sudah sembuh dan ingin memberi kejutan pada Pragma. Aku akan mendukungnya," ucap Raeni panjang lebar dengan isak tangisnya yang belum juga reda.

"Sudahlah Rae yang lalu biarlah berlalu. Namun secepatnya kita harus menemukan wanita itu," imbuh Zaelan. Sungguh ia tak sanggup melihat kondisi putranya yang begitu memprihatinkan.

"Iya Mas, cepat temukan dia. Kalau perlu aku akan bersujud di bawah kakinya, meminta dia untuk kembali bersama Pragma." Raeni melonggarkan pelukannya dari suaminya, ia mendongakkan kepala menatap suaminya.

"Ayo kita ke kamar Pragma," ajaknya tiba-tiba kepada Zaelan, suaminya.

"Sekalian suruh pelayan laki-laki untuk membawa makanan untuk Pragma. Kamu tahu sendiri 'kan? Pragma sangat benci seorang perempuan untuk menginjakkan kaki di dalam kamarnya," peringat Zaelan. Ayah dari Pragma.

"Seperti biasa aku akan menatap anak kita dari balik pintu. Tapi kali ini, izinkan aku masuk ke dalam kamarnya. Aku ingin sekali memeluk putraku itu, sudah lama aku tidak memeluknya," ucapnya dengan nada sendu.

Zaelan tersenyum menatap istrinya. "Semalam, siapa yang menyelinap masuk ke dalam kamar Pragma, saat Rama kita sedang tertidur. Kamu masuk ke dalam kamarnya bahkan memeluk Rama dengan begitu erat," ejek Zaelan membuat istrinya mendengkus sinis.

"Bagaimana pun juga seorang ibu tidak akan pernah bisa berjauhan dengan anaknya," protes wanita paruh baya itu yang masih nampak sangat cantik, diusianya yang sudah menginjak empat puluh lima tahun.

"Kalau begitu aku ke dapur dulu untuk menyiapkan makanan untuk Rama kita. Biarkan aku yang akan mengantarkannya, kamu duluan saja," suruhnya yang diangguki oleh Zaelan suaminya. Yang usianya sudah menginjak kepala lima.

Rama adalah nama panggilan Pragma di keluarga besar Abraham. Namun semenjak kepergian wanita itu, Pragma tidak ingin dipanggil dengan sebutan Rama lagi. Wanitanya yang berhak memanggilnya seperti itu dan hanya wanita itu yang sampai sekarang masih bertahta di hati seorang Pragma Dexander Abraham.

***

Pria paruh baya itu kini sudah berada di depan kamar anaknya yang ia kunci. Takut anaknya itu kabur dan membuat masalah lagi seperti satu tahun terakhir ini, putranya sudah membunuh lima belas perawat yang merawatnya. Anaknya memang mengalami gangguan jiwa, maka dari itu ia selalu mewanti-wanti kemungkinan besar yang bisa saja terjadi jika pintu kamar putranya yang bernama Pragma tidak ia kunci.

CEKLEK

Decitan suara pintu yang terbuka menimbulkan sedikit bunyi, namun dengan cepat Zaelan memanalisir bunyinya.

"Kegelapan," katanya lirih. Anaknya itu akan mengamuk jika ruangan kamarnya terang benderang, maka dari itu kamar ini selalu terlihat gelap. Semua lampu dimatikan kecuali lampu tidur yang temaram. Serta semua celah jendela di tutup rapat.

Dengan langkah lebarnya ia berjalan mendekati anaknya, ia dapat melihat punggung kokoh Pragma bersender di penyanggah ranjang.

"Pragma," panggilnya. Namun sama sekali tidak ada sahutan dari si empu.

Zaelan mengembuskan napas kasar menatap anaknya penuh prihatin. Baru saja ia hendak menyentuh ujung kepala pria di hadapannya namun ia urungkan, saat harus mendengarkan perkataan yang menohok hatinya.

"Jangan berani menyentuh saya," ucapnya tanpa menatap Zaelan.

Lagi-lagi ayahnya harus mengembuskan napas kasar menatap anaknya sendu. "Sampai kapan kamu akan memusuhi Ayah? Bisakah kamu berhenti mengganp–"

"Kembalikan istri dan anak saya," potong Pragma cepat, netranya kembali berkaca-kaca memandang ke depan.

"Apa bisa Anda, mengembalikannya?" Dia menoleh menatap ayahnya.

Zaelan terdiam turut menatap lekat putranya hidup tanpa tujuan, jiwa pria itu begitu kosong, kasihan sekali putranya jika harus dibiarkan seperti ini.

"Ayah tidak bisa berjanji, Nak. Tapi percayalah, Ayah juga sudah mengusahakan mencari dia," tuturnya seraya memberi pengertian.

Air matanya jatuh begitu saja melihat kerapuhan anaknya. Zaelan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang Pragma, tepat di samping kepala anaknya. Dengan penuh kelembutan dia mengusap pelan surai hitam tebal milik putranya.

Baru saja ia ingin mengusapnya lagi, Pragma lebih dulu mengelak, berusaha menjauhkan kepalanya dari jangkaun ayahnya sendiri.

"Cuma dia yang bisa menyentuh saya, saya milik dia seutuhnya. Bukan milik siapa pun," ucap Pragma sarkas.

Kentara sekali ketakutan di wajahnya. Dia takut disentuh oleh siapa pun karena berasumsi wanitanya akan semakin marah dan tidak pernah akan kembali padanya.

To Be Continue

avataravatar
Next chapter