1 1. Kekejaman Dunia

Sungguh, isi kepalaku tak bisa menghubungkan bagaimana keadaan saat ini, untuk yang pertama kalinya aku bilang pada kalian, "aku sudah seringkali merasa kesal dengan kehidupanku." kalimat yang sering diucapkan dalam hati namun tak pernah ku lontarkan selama ini.

Memilih untuk memendam adalah hal terbaik karena takkan ada yang peduli terhadap kicauan orang-orang berkasta rendah.

Lebih lagi karna aku tak ingin melukai hati bapak yang selama ini merawatku dan ketiga adik ku. Mengapa demikian? karena bapak terpaksa menyuruhku berhenti sekolah saat aku menduduki kelas satu SMA, demi ketiga adik ku yang masih kecil. Mereka harus merasakan pendidikan yang layak. Bahkan kalau semesta mengizinkan, aku rela mereka bersekolah sampai ke perguruan tinggi.

Tak apa, saudaraku adalah diriku juga. Jika seandainya aku mengeluh dan protes, tandanya aku tak ikhlas jika bapak menyuruhku untuk berhenti sekolah.

Hemm... menurutku, sekolah bukan masalah besar untukku. Dan yang menjadi masalah adalah, mengapa aku selalu diasingkan dalam masyarakat? apa mereka tidak mengerti bagaimana letihnya bekerja keras pagi, siang dan malam demi menutupi hutang-hutang bapak dan ibu selama ini?

Bapak berhutang banyak di beberapa toko agen demi mendapat barang kebutuhan sehari-hari dan uang untuk menyekolahkan adik-adik. Ibu juga berhutang ke tetangga-tetangga demi membeli peralatan Make up. Yang sebenarnya aku pun tahu alat-alat kecantikan tersebut tak seharusnya selalu dibeli untuk 'kepentingan' ibu yang 'tak penting'.

Mereka hanya tahu bahwa ibu adalah seorang pelayan di sebuah klub malam. Pergi malam pulang pagi. Itulah yang dilakukan ibu setiap hari. Pulang dengan wajah pucat, jalan sempoyongan, rambut tak karuan seperti tak pernah disisir selama seminggu, dan bau alkohol yang menyeruak saat dirinya masuk ke dalam rumah, lalu akhirnya membanting diri ke sofa lusuh kami dan tertidur disana.

Namun pada sore hari, ibu berjualan lontong (nasi kepal yang dibungkus daun pisang). Dibantu olehku yang ikut keliling menawarkan lontong pada warga sekitar. Cacian demi cacian warga kami terima dengan penuh kesabaran. Ada yang membeli adapula yang datang hanya untuk mengolok-olok kami. Kalimat yang sering kudengar adalah,

"Modal jualan dari mana nih? dari jual diri ya?"

dan adapula yang seperti ini,

"Dek, masa depan kamu suram deh kayaknya,"

sambil menatapku dengan wajah menghina.

Ibu hanya diam saja tanpa berkata apapun. Beliau trauma, atas kejadian 2 tahun lalu. Karena saking kesalnya di olok oleh salah seorang lelaki dikampung kami, ibu memukul wajah lelaki tersebut sampai tulang hidungnya patah.

Hampir saja ibu akan dikirim ke sel penjara, namun akhirnya beliau mendapat pembelaan dari salah satu warga kampung ini karena ialah yang menjadi saksi atas kejadian tersebut.

Aku seperti sudah terbiasa dengan itu semua. namun, tetap saja takkan menutupi kemungkinan aku merasa muak terhadap kehidupanku selama ini.

Aku pernah menegur ibu untuk tidak lagi melakukan pekerjaan yang setiap hari beliau lakukan. Namun, bukannya kata-kata baik yang ku terima. Melainkan sebuah tamparan hebat dari tangan kanan ibu.

Memar merah sakit kurasa. Perih sekali hatiku waktu itu, hingga sampai saat ini aku masih belum punya keberanian untuk menegurnya kembali.

Sepulang dari berjualan lontong, ibu meminta maaf padaku dengan wajah datar. Aku hanya perlu memposisikan diri agar tak menangis sesampainya kami di rumah. Aku hanya mengatakan,

"Dinda gak apa-apa bu, ibu juga jangan sedih."

ibu pun langsung melenggang pergi meninggalkanku di teras rumah. Setelahnya, ibu akan bersolek dan memakai baju secantik mungkin untuk pergi ke klub pada malam harinya.

Begitu pula diriku, aku pun bersiap diri untuk pergi ke tempat dimana aku akan mengamen bersama teman-teman. Aku pergi mendahului ibu agar tak melihatnya sibuk bersiap diri untuk hal yang tidak seharusnya dilakukan. Aku hanya sedih, itu saja.

setelah mengambil kaleng susu dan okulele kesayanganku, aku pun langsung berangkat ke alun-alun kota untuk bertemu teman-temanku sebelum kami memulai aksi kami.

jika kami telah selesai, kami pulang dengan membawa beberapa lembar uang senilai dua ribu rupiah, lima ribu rupiah, dan recehan logam. Yang membuat kaleng susu terasa lebih berat walau jumlah sebenarnya tak seberapa. jika sedang beruntung, kami membawa dua lembar atau tiga lembaran uang dengan nominal Sepuluh Ribu Rupiah.

Sedangkan bapak hanya mengasuh adik-adikku di rumah. Bapak tak lagi bekerja, karena bapak sudah tak bisa kelelahan. Salah satu ginjalnya telah diangkat karena ada masalah penyakit yang dideritanya.

begitulah keseharian hidupku. Untuk bisa merasa lebih baik, aku hanya terdiam dikamar dan menulis tentang hal apapun di sebuah buku yang pernah ku beli dari hasil mengamen.

Aku tak bisa protes terhadap semua yang terjadi. Karna pada hakikatnya, aku masih bisa hidup bersama keluarga. Dan hanya perlu menelan bulat-bulat semua kekesalanku demi tak memperpanjang suatu perkara.

avataravatar
Next chapter