1 1| Kecelakaan Besar

"Horaa... Dai, hari ini kamu tampan sekali," puji Nyonya Tamotsu.

Perempuan bertubuh ramping berusia sekitar awal lima puluhan itu tengah berdiri di depan sang putra sambil sedikit berjinjit. Wajahnya mendongak bahagia dengan kedua tangan sibuk merapikan dasi yang dikenakan sang putra.

"Mama, aku pikir setiap hari anakmu ini sudah tampan, benar, kan, Papa?" sepasang mata Dai menyipit saat tersenyum lebar.

Sang ayah, Tuan Besar Tamotsu yang baru masuk ke kamar Dai menyeringai sambil merentangkan kedua tangan lebar. Dia peluk sang putra semata wayang dengan penuh kebanggaan.

"Selamat, hari ini kau akan menjadi pria sejati, Dai!" tepuk sang ayah pada punggung Dai.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pria muda yang usianya setahun di bawah Dai, tampak berdiri di sana dengan setelan hitam yang rapi. Rambutnya dipotong pendek dan disisir ke belakang. Di telinganya terpasang pelantang. Dia membungkuk memberi hormat pada keluarga bahagia itu dan menunjukkan jam tangan Graff Diamonds terbaru di pergelangan tangan kirinya.

"Oke, sepertinya calon menantu kita sudah menunggu terlalu lama! Ayo, Dai, Mama, kita harus lekas berangkat!" ajak Tuan Tamotsu pada keluarganya.

Sang pria bersetelan hitam menyingkir ke luar pintu menunggu keluarga Tamotsu berjalan lebih dulu.

"Limosin sudah kami siapkan, Tuan."

"Terima kasih, Eren. Aku harap setelah ini kau juga menyusul untuk menikah."

"Anda terlalu memuji, Tuan," balas pria bernama Eren itu dengan wajah bersemu merah.

Mereka berempat berjalan menuju limosin yang telah disiapkan di halaman super luas kediaman Tamotsu. Eren membukakan pintu untuk tuan dan nyonya Tamotsu. Sedangkan Dai masih berdiri di luar dan saling bertatap dengan Eren.

"Aku harap tugasku cukup sampai di sini untuk mengawalmu, Tuan Muda Tamotsu," ledek Eren.

"Oh, ayolah, tugasmu hanya akan berakhir jika kau sendiri sudah memiliki pasangan!" balas Dai sambil memasang wajah lucunya.

"Masuklah, Dai. Aku akan mengawal kalian di depan!" pinta Eren.

Dai pun masuk ke limosin menyusul orang tuanya. Sedangkan Eren masuk ke mobilnya sendiri bersama pengawal lain untuk memandu limosin menuju tempat pernikahan. Di belakang lomosin ada iring-iringan panjang para pasukan keamanan pribadi keluarga Tamotsu.

Mereka semua berkendara dalam iring-iringan panjang yang menggentarkan para pengguna jalan yang menyaksikan. Di jalan-jalan pada papan iklan terpampang wajah Dai Tamotsu pewaris utama dan satu-satunya dari perusahaan besar Tamotsu Grup yang bersanding dengan calon istrinya dengan ucapan selamat di bawahnya. Ucapan itu datang dari rekan bisnis dan orang-orang penting negeri itu yang kenal baik dengan keluarga Tamotsu.

"Ini sangat berlebihan," gumam Dai saat melihat wajahnya terpampang di mana-mana.

"Anggap saja ini doa yang baik dari mereka," jawab sang ibu.

Setelah beberapa menit berkendara, Dai mendengar ponselnya berdering. Dia periksa layar monitornya dan terpampang nama calon istrinya di sana. Dai tersenyum girang tapi sengaja tak menjawab panggilan itu.

"Kenapa kau mendiamkannya?" tanya sang ayah.

"Dia mungkin sudah tak sabar. Biar ini akan menjadi kejutan untuknya. Membuat dia sedikit panik tak akan merusak kebahagiaan kami, kan?" tutur Dai nakal.

"Dasar anak muda zaman sekarang!" keluh sang ibu.

Mobil yang dikendarai Eren melaju di depan dan melintasi lampu hijau. Saat limosin yang membawa keluarga Tamotsu melaju, tiba-tiba lampu berubah menjadi merah. Mereka harus tertahan sesaat dan tertinggal dari pengawasan Eren.

"Bagaimana bisa kita terpisah dari Eren?" sang ayah gelisah. "Tak biasanya dia tak secermat ini!"

"Di belakang masih banyak pengawal kita, Papa," bujuk sang istri.

Dai masih saja sibuk dengan ponselnya. Dia bahkan sengaja mematikan ponsel untuk membuat calon istrinya semakin khawatir.

Lampu kembali hijau. Sang sopir melajukan limosin dengan tenang dan berjalan lurus ke depan. Hari itu jalanan sangat lengang karena memang sudah disiapkan untuk perjalanan mereka. Akan tetapi, sebuah truk pengangkut sampah tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kiri.

Braaaak!

Limosin yang membawa keluarga Tamotsu ditabrak dengan sangat keras dan terdorong jauh. Bagian depan truk sampah dipasang baja tajam yang runcing. Ujung baja itu menembus badan limosin dan mengenai perut Tuan Tamotsu. Pria itu meninggal seketika. Sang istri menjerit histeris.

Braaak!

Truk sampah tertabrak lagi oleh truk kontainer dari arah yang berbeda. Baik truk sampah maupun lomosin terlempar jauh. Dai, ibunya, dan sang sopir berguncang-guncang di dalam limosin yang menggelinding. Sang ibu yang terbentur jendela dan pecahan kaca pun meninggal saat itu. Sang sopir terjepit badan mobil dan meninggal. Sedangkan Dai terlempar keluar dari mobil dan kakinya tertindih kerangka truk.

Duuaaarr!

Ledakan datang dari truk kontainer akibat bahan bakarnya bocor. Wajah Dai penuh darah. Kakinya mati rasa. Di antara buram matanya yang terkena pecahan kaca, dia dapat melihat bubungan api besar tak jauh dari tempatnya terbaring. Aroma bahan bakar dan suara gericiknya juga terdengar.

"Aku akan mati," batin Dai. "Tak lama sampai api itu menyambar truk ini dan aku akan mati terbakar!"

Dai hanya terlentang sambil menahan kepedihan di tubuh dan jiwanya. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Di kejauhan ada banyak suara mobil dan orang berteriak-teriak. Pandangan mata Dai semakin menggelap. Sebelum benar-benar kehilangan kesaran, dia sempat melihat ada seseorang berlari ke arahnya. Hanya sepatu bot hitam orang itu yang Dai ingat.

Di sebuah rumah kontrakan murahan jauh di pinggiran kota.

Kraak!

Sepasang pintu ganda lemari kayu setinggi dua meter dibuka dengan penuh tekanan. Dia singkap deretan baju dan gaun yang tergantung di sana hingga menampakkan pintu lain yang tersembunyi di balik lemari. Kedua telapaknya meraba-raba sambungan panel penutupnya hingga menemukan satu titik yang terasa berbeda, menekannya, lalu, "Klik!"

Panel di dinding itu terbuka secara otomatis. Lampu berpendar dengan cahaya putih yang menerangi ruangan berukuran dua kali dua meter tersebut. Dia melintasi deretan gaun yang tersingkap dan masuk ke balik panel dinding yang terbuka. Deretan senjata api dari berbagai merek dan seri tertata rapi pada rak khusus di dinding lengkap dengan peralatan penunjangnya.

Perempuan itu menarik sebuah tas ransel hitam dan mulai mengisinya dengan DVL-10M3. Senapan penembak runduk terbaru buatan Rusia itu segera membuatnya jatuh cinta. Bobotnya ringan dengan jarak tembak sampai satu kilometer. Dia menimang-nimang amunisi dan bergegas menyelipkannya ke dalam tas. Tangannya kembali terangkat, bergerak statis mengikuti deretan peralatan optik, komunikasi, dan navigasi. Tangkas dia meraih bipod, peredam, teropong, dan radio untuk digunakan dalam kondisi darurat.

Kini, dia berjongkok di lantai, berusaha membongkar komponen senapan itu dan memasukkannya ke dalam ransel hitam bersama perlengkapan lainnya. Perempuan itu bangkit kembali untuk meraih dua buah MAG4, memeriksa amunisinya, dan memasukkan pistol itu ke dua kantung khusus di belakang korset.

Layar monitor di dekat tempat tidurnya menampakkan gambar elang Jawa dengan nada bip keras. Dia tekan tombol enter, gambar mulai buram dan berganti sesosok wajah yang tersamar gambar mozaik.

"Kekacauan apa yang baru saja kau timbulkan?" suara robot itu serak dan nyaring, disusul denging dari pengeras yang menggema.

Refleks perempuan itu mengernyit dan menutupkan kedua tangan ke telinga. Sial.

"Kau mengumpat padaku?" pekik sosok di monitor dengan nada tajam.

"Ya?" Perempuan itu berpura-pura tak mendengar.

Sosok di monitor berbicara cepat. "Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi? Itu tidak ada dalam rencana kita!"

"Yah, aku tahu. Mereka mengetahui identitasku. Jadi aku harus melakukan improvisasi," desahnya.

"Improvisasi?" pekik sosok dalam monitor. "Kecelakaan itu memakan empat nyawa!"

Perempuan itu membeku. Dia mendengar suara derap langkah kaki di depan rumahnya. "Bisa kita langsung saja? Aku sedikit sibuk di sini."

Sosok dalam monitor mendesah. "Kau harus membereskan kekacauan yang kau timbulkan!"

Tatapan perempuan itu mengeras. Dia kokang MAG4-nya, mematikan komputer, dan mulai menyalakan tombol merah yang terpasang di bawah meja. Timer mulai menghitung mundur. Dia kenakan jaket kulit dan menyandang tas ransel berisi sejumlah senjata yang sudah dia siapkan.

Seseorang, tidak, sejumlah orang berusaha menerobos dan mendobrak pintu rumahnya tanpa banyak bersuara.

Perempuan itu mengenakan kacamata gelap dan mulai memacu motornya menjauh. Dia berhitung dalam hati, lima... empat... tiga... Duaarr!!!

Ledakan terdengar dari rumah yang baru saja dia tinggalkan. Asap hitam dan bola api terlihat membubung dari kejauhan.

"Aku tidak suka berhitung sampai satu," bisiknya sambil menarik tuas gas motornya semakin kuat.

avataravatar
Next chapter