webnovel

Penantian Selama Tujuh Tahun

"Apa bedanya kamu dengan bunga? kalau bunga kupetik, kalau kamu kutusuk."

***

Rayyan mendekat ke arah Vivi. Dia melebarkan tangannya lalu memeluknya tanpa ragu. Vivi balas memeluk dengan hati-hati agar lilin tidak mengenai Rayyan. Rayyan memhelai lembut rambut Vivi, rambut yang semula hitam legam harus terkena cipratan lumpur dan air hujan membuat hati Rayyan kasihan melihatnya. Matanya sendu memandang Ekspresi Vivi memasang tatapan nanar. Tatapan lurus ke depan tepat ke sosok yang duduk di tengah ruangan. Sudah jelas. Ada dendam kusumat dalam dirinya pada seseorang tersebut.

"Kamu baik-baik aja sayang?" kata Rayyan.

Vivi tidak membalas.

Rayyan mencium kening Vivi lalu mengusap pipi,

Vivi menoleh ke kanan kiri. Ke arah Citra dan Yasmine. "Mereka mainannya?"

"Iya." Kata Rayyan.

"Bagus."

Vivi berjalan mendekat ke arahku. Ada isyarat mata kalau ia ingin semuanya dimulai. Aku mengangkat tangan. Tunggu sebentar.

"Kaget kan? Kenapa Vivi pakai pakaian Haniyah?" tanyaku pada Citra Yasmine.

Yasmine menoleh ke Citra.

"Jadi alasan lo bunuh Haniyah di awal-"

"Iya bener. Tapi bukan gue yang bunuh." Aku melirik Vivi. Kejadian sebenarnya saat di gedung tempat ritual dilakukan berawal saat Vivi mengamati situasi, dalam kegelapan ia mengincar Haniyah untuk dibunuh pertama. Ketika kesempatan datang, barulah Vivi bergerak sesuai rencana.

Kenapa Haniyah? karena simple, dia punya masalah dengan Meira. Dan apa yang menjadi milikku, jangan coba-coba cari masalah apapun itu.

Untuk rencana Akmal mengadakan permainan Arwah dan mengusulkan mengunjungi area asrama bagaimana?

Jauh sebelum acara reuni, Rayyan membentuk panitia acara tersebut. di dalamnya terdapat Akmal. Saat rapat Rayyan menggiring pemikiran agar reuni lebih berkesan alangkah baiknya ada agenda di akhir acara berupa permainan. Awalnya semua menolak karena waktu dan kepentingan orang beda-beda. Tapi saat Rayyan mengusulkan mengunjungi asrama dengan dalih nostalgia, semua mulai terpancing. Untungnya Akmal sangat setuju akan hal tersebut malah mengusulkan permainan horror. Jadilah saat di caffe Akmal mengajak semua.

Bagus.

Semua terbantu akibat kebodohan Akmal.

"Kalau begitu. Kenapa saat ketemu gue, lo nggak langsung bunuh aja Bal?" tanya Citra.

Oh. Waktu itu. Aku ingat.

"Kenapa harus bunuh lo sementara lo bisa bawa gue ke yang lain." Aku tertawa. Memang benar Citra bisa kugorok saat itu juga. Tapi ada yang lebih menguntungkan di balik itu. Melacak yang lain di mana mereka bersembunyi. Ternyata di menara. Itulah sebabnya aku menanyakan jumlah pasti orang di menara tersebut agar bisa mengira-ngira berapa orang di luar menara.

Genius

"Sebenarnya ada satu orang berhasil menebak ada psikopat dalam permainan ini. Tapi yah sudahlah, aku sudah membereskannya."

Rayyan tiba-tiba tersenyum. "Pas itu bener-bener kerasa aktingnya kan Bal?"

"Ya." kataku mengingat kejadian terbunuhnya Rachel. Rachel menyadari sesuatu yang aneh dalam permainan. Tebakannya benar, tapi sayang dia bertemu denganku dan berakhir tragis. Andai Rachel memberitahu yang lain lebih cepat, situasinya pasti berbeda.

"Mas." Kata Vivi menyentuh tanganku.

Aku mengangguk.

Sudah saatnya, Rayyan mengambil dua kain lalu menyumpal mulut Citra Yasmine kemudian mengikatnya ke belakang.

Permainan dimulai.

"Baik. Permainannya dimulai. Kalian pasti sudah tau Dart game. Sopo si ora weru permainan ini (Siapa si nggak tahu permainan ini) pasti tau lah." Kataku santai.

"Cukup mudah. Dart Board nya mereka berdua dan anak panahnya adalah ini." aku menenteng sebuah pisau, meletakkannya ke meja yang di atasnya sudah tercecer belasan pisau lainnya.

Citra begidik ngeri. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir mendengar perkataanku barusan. Semua tahu cara bermain Dart Board adalah dengan melempar anak panah ke bagian berbeda sembari menghitung nilai yang didapat. Tiap-tiap bagian papan memiliki angka yang sudah dihubungkan dengan bagian tersebut. Apabila anak panah mendarat tepat pada lingkaran luar berwarna hijau atau merah, maka akan mendapat nilai ganda. Berbeda ketika anak panah mendarat tepat pada pada lingkaran berwarna hijau atau merah, maka Anda berhak mendapatkan nilai tiga kali lipat. Warna merah bernilai 50, warna hijau bernilai 25.

"Titik pusatnya adalah wajah. Hidung adalah titik tengah merah, mata adalah titik tengah hijau. Paham?"

Aku menatap mata Andi dan Istrinya secara bergantian.

Andi spontan menggelengkan kepala. Dia jelas tidak mau.

"Hey hey. Siapa yang menyuruhmu menolak? Lo harus main Andi. Lo harus ngerasain nikmatnya permainan ini. Benar kan dik?"

"Tentu." Vivi setuju.

"Ada lima pertanyaan sebelum gue lempar pisaunya. Kalau lo jawab jujur dan benar, kami bertiga nggak akan ngelempar pisau. Mudah bukan? Tapi kalau jawaban lo salah, siap-siap tubuh anak lo penuh pisau malam ini."

Aku tertawa kecil. Menikmati ekspresi Andi yang kacau.

Situasi mulai tegang. Pertanyaan maut yang harus dijawab dengan benar. Kalau tidak, siap-siap tubuh dua orang tersebut akan dipenuhi tancapan benda tajam. Seru bukan? Kapan lagi melihat orang tercinta menangis kesakitan di hadapan kita akibat gagal menjawab pertanyaanku. Andi harus merasakannya.

Ya. Wajib.

"Tolong!! Ampun ampun."

Andi sujud mencium ujung kaki. Aku melihat dengan tatapan jijik. Karena tidak terima dengan permohonan tersebut aku menendang wajah Andi ke belakang.

"Nggak segampang iku (nggak semudah itu)"

"BANGUN!!" Teriakku menyuruh Andi yang tersungkur untuk bangkit.

"BANGUN!!"

Andi susah payah bangkit. Di wajahnya ada memar merah bekas tendanganku barusan. Wajahnya persis seperti seorang pengemis minta makan. Air mata, ingus yang keluar. Kasian melihatnya, tapi sayang.

Aku berbohong.

Aku justru senang melihat itu..

"SINI!"

Andi bergerak mendekatiku.

"Pertanyaan pertama, pukul berapa dan di mana orang suruhan lo bunuh ayah ibu?"

Pertanyaan pertama, pertanyaan dasar dari perbuatan brengsek Andi. Aku ingat betul bagaimana suasana malam itu. Malam kelam tujuh tahun lalu di rumah nenek. Saat itu kami sengaja liburan di rumah nenek, nenek sudah lama meninggal. Hanya kami berempat. Pukul tengah malam ada seseorang masuk mengenakan topeng menyeramkan. Kukira dia adalah si nightman karena saat itu aku dan adik bermain permainan setan tersebut. Awalnya aku mengira kematian ayah ibu adalah akibat bermain permainan nightman, tapi saat mendengar deru napas dan suara langkah kaki aku berpikir hantu macam apa yang masih memiliki napas? Bukannya mereka sudah mati. Untungnya, pembunuh itu pergi setelah satu jam mencari seisi rumah. Kami berdua selamat setelah bersembunyi di loteng rumah.

Andi berpikir keras. Matanya melihat kanan kiri, mencoba mengingat.

Aku berani bertaruh dia tidak ingat sama sekali.

"Satu." Mulai hitung mundur.

"Pukul 10-"

"Salah."

Andi bingung. "Dua."

"Di rumah kalian." Kata Andi. "Daerah pondok indah-"

"Tiga." Tutupku. Jawaban salah. Sesuai dugaan ia tidak tahu. "Lo nggak tahu kan? Yaiya lah sejak kapan lo peduli! lo nggak akan peduli soal ini. Lo buang kami kayak kotoran binatang!"

Sambil berteriak aku melempar pisau ke arah Citra. Secepat kilat pisau tersebut menancap di perutnya diikuti suara rintihan kesakitan. 'hggggggg!!' rintih Citra.

"Aduh." Kataku.

"Payah lo Bal." ledek Rayyan melihat lemparanku barusan tidak tepat sasaran. Jauh di bawah ketentuan mendapat poin.

Tapi di balik itu. Andi yang melihat kejadian tersebut berusaha melawan dengan berdiri dan berlari hendak menyundul. Orang tua ini banyak tingkah. Aku menghindari sundulan tersebut lalu mendaratkan tinju di perut Andi berberapa kali, terakhir ku lempar dia kembali ke tempatnya.

"Hggghh!!" Andi kesakitan. Tapi sayang, tangannya terikat ke balakang sehingga dia tidak bisa memegang perutnya.

"Oi oi. Banyak tingkah rupanya ya." kataku.

Kutarik rambut Andi dan menatap matanya tajam. Ekspresiku menjadi gelap.

"Ini baru pertanyaan pertama, elo nggak bisa jawab dan sekarang marah-marah. Nggak gini cara mainnya. Elo masih harus ngerasain sakit, Andi. Masih harus menderita." Setelah itu aku menghajar pipi Andi hingga lebam.

Istri Andi hanya bisa pasrah dengan menangis.

Aku tidak peduli. Setelah giliran Andi, dia juga akan merasakannya.

"Hahahahaha!!!!"

"Ahahahahahah!!!"

Kami bertiga tertawa. Rayyan meledekku dengan berkata, "Kurang Bal!!! kurang keras lo hajar Andi. Seharusnya lo hajar hidungnya sampe berdarah. Bukan perut mulu!?"

"Diem lo. Suka suka gue lah."

Aku berbalik.

"Pertanyaan kedua-"

"Ampun..."

"Diem bego!! Siapa yang nyuruh lo ngomong! Hah!?"

Hukuman.

"Yan. Lempar pisau ke Yasmine. Ini hukuman bagi orang suka nyela omongan."

"Siap!" dengan senang hati Rayyan melakukan permintaanku. Dia berjalan memilih ukuran pisau yang pas untuk dia lemparkan. Dia mengangkat pisau jagal dan tersenyum. "Ini lumayan." Kata Rayyan. Aku hanya bisa memakluminya. Terserah.

Andi menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, nggak. Jangan. Maafin aku Bal, Maafin."

Aku tidak menjawab.

Saat Rayyan hendak melempar, gerakan tangannya ditahan Vivi dari belakang. Rayyan bertanya, "ada apa sayang?"

"Kamu mau bunuh dia cepet?" tanya balik Vivi.

"Kamu nggak mau?"

Vivi menggelengkan kepala. Aku berusaha membaca pikiran adikku. Maksudnya Vivi lebih suka membunuh secara perlahan. Tidak buru-buru menghabisi korbannya dengan sekali serang. Jika melakukannya maka dia melewatkan kesempatan menikmati ketakutan korban.

"Terlalu cepet." Kata Vivi. Dia memberikan pisau ukuran sedang ke tangan Rayyan. "Ini."

Rayyan menghembuskan napas. Pasrah menuruti permintaan kekasihnya.

Yasmine yang melihat kejadian pisau tertancap di perut Citra akan terjadi padanya berusaha melawan dengan meronta-ronta. Mulutnya menggigit kain sekuat tenaga, kepalanya bergerak ke sana kemari. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ikatannya terlalu kuat.

Perasaan khawatir.

Hidupnya akan berakhir.

Rayyan berancang-ancang. Membidik sejenak, satu ayunan tangan.

Hap!!

Hgggggggg!!!!

Hgggggg!!!!

Erangan panjang. Pisau menancap mata kanan Yasmine. Seketika darah keluar deras mengalir di pipi. Pemandangan mengerikan. Rasa sakit yang tak tertahankan tapi tidak bisa dilepaskan.

"Yes!!" sorak Rayyan.

Sepertinya ia sengaja mengincar bagian mata.

"Yagghhhmin!!" teriak Citra melihat Yasmine yang terkulai lemah. Citra menangis kasihan. Walau dirinya sendiri tengah terluka. Citra mengatur napas agar tidak naik turun karena hal tersebut bisa menyebabkan pendarahan semakin banyak.

"Pertanyaan kedua,"

Andi terpaksa menyimak perkataanku.

"Gue pengen denger sekali lagi motif sebenernya lo ngerencanain pembunuhan itu. Malam itu, jelas dan jujur. Apa yang lo pengen dari keluarga gue sampai-sampai lo tega ngelakuin itu."

Wajahku mendekat. "Jawab."

Andi gemetar, wajahnya tidak bisa berbohong.

"Jabatan. Cuman jabatan. Ayahmu naik pangkat dan aku nggak suka. Cuman itu, cuman itu alasannya. Kumohon!? Ampuni kami. Cuman itu yang bisa kujelaskan." Kata Andi.

"Kalau lo punya masalah sama bokap gue, kenapa lo bunuh nyokap gue juga?!" tanyaku.

Andi menahan bibir hendak berkata. Matanya melihat ke arah istrinya, ada perasaan ragu tersirat dari gestur tubuhnya.

Sebenarnya pertanyaan kenapa bunuh ibu adalah pertanyaan jebakan. Seseorang yang memiliki masalah terhadap orang lain pasti akan menaruh curiga apakah masalah tersebut diketahui pihak lain selain mereka berdua. Jika iya, maka jalan satu-satunya untuk membungkam masalah agar tidak semakin melebar adalah dengan membunuhnya. Seperti ibu yang mengetahui permasalahan Ayah dengan Andi, tidak menutup kemungkinan Andi menyuruh pembunuh untuk membereskan orang terdekatnya juga.

"Satu."

Hitung mundur dimulai.

Keadaan kembali tegang. Pisau sudah tergenggam siap dilempar.

"Dua-"

"Karena aku jatuh hati Bal."

Deg!!

Hening.

"Ha?! Apa?!" kurasa aku salah dengar barusan.

"Iya ini gila. Aku gila, aku udah gila. Ini alasannya, aku suka ibumu. Aku berniat merebut ibumu dari ayahmu. Ibumu dulu teman saat SMA. Dia-" Sekali lagi Andi menoleh ke arah istrinya. Tolehan yang mengungkapkan alasan sebenarnya selama ini dia telah membohongi seseorang. Menghianati seseorang.

"Dia cinta pertamaku-"

Plaaakkkk!!!

Tamparan keras mendarat di pipi Andi. Dia kembali tersungkur.

"Omong kosong!!" kataku marah. "Jawaban Apa-apaan ini. Elo gila apa?!! Sadar pak tua!! Ini bukan Wattpad?! Ini bukan cerita cinta di novel! Ini nyata. Ini nyata dan lo jawab dengan alasan nggak masuk akal!"

Aku sangat geram.

Ini sumpah konyol.

"Bunuh." Kataku pelan. "Bunuh semuanya." Ekspresiku serius.

Vivi dan Rayyan tersenyum. Ini yang sudah ditunggu-tunggu. Melihat apa yang barusan kuucapkan, Andi mencoba menghentikanku. "Jangan. Jangan. Mereka nggak salah Bal! aku. Aku yang salah. Bunuh aku Bal. Seharusnya aku yang dibunuh."

Aku membalas dengan tendangan di perut. Andi jatuh kesekian kali. Perasaan jatuh mulu dah.

"Lo ngerusak permainannya. Berarti permainannya udah selesai dong."

Vivi menyeret Istri Andi ke hadapannya. Dengan parang siap menggorok leher wanita tersebut Andi langsung berteriak. "JANGAN!!!"

Clarrssshh!!

"Hihihihi." Vivi terkekeh. Wajahnya terciprat darah. Istri Andi tergeletak tragis tak bernyawa. Lehernya tergorok setengah, wajah Andi terkena cipratan darah begitu juga dengan Vivi.

"BRENGSEK!!!!!" Andi marah sejadi-jadinya. Jelas ia tidak sanggup menerima kenyataan ini.

"BUNUH AKU!!! BUNUH AKU!! TOLONG!!! MEREKA NGGAK SALAH! TOLONG!!"

Kudekatkan wajahku lalu berkata, "ya, lo bakal gue bunuh."

"CEPET!!! BUNUH GUE SEKARANG!"

"tapi setelah Rayyan bunuh mereka berdua." Aku lalu melirik ke samping. Rayyan sudah siap melempar pisau.

"JANGAN!! JANGAN-"

Hupp!!

Mmmggghhhh!!!

Satu pisau menancap di lutut Citra.

"Yah." Rayyan kecewa. "Lagi."

"JANGAN!!"

Mmmmgghhhh!!

"Lagi."

Mmmgggghhh!!

"Lagi."

Claarrrsshhh!!!

"Yeayyyy!!" Lemparan Rayyan kembali kena mata. Kali ini mata kanan Citra yang tertusuk pisau. Dalam perasaan campur aduk, sedih, sakit, takut, tersiksa tergambar jelas di raut wajah Citra. Dia tidak bisa berhenti menangis. Kali ini tangisannya harus digantikan oleh darah yang mengalir. "Hhggggg!!" Rintih Citra. Karena mulurnya dalam keadaan terikat, dia tidak bisa ngomong. Ah, sedih rasanya tidak akan mendengar jeritan kematian yang sebentar lagi berkumandang.

"Yoshh. Lagi." Kata Rayyan kembali hendak melempar pisau.

---Lima menit---

"Hah hah hah. Selesai." Kata Rayyan mengusap kringat turun di pipinya. Tangannya lumayan capek melempar pisau berkali-kali. Lihat, Lihat apa yang ia perbuat sekarang. Citra mati dalam keadaan tubuh penuh tancapan pisau, berberapa menancap di kepala dan mulut. Wajah cantik Citra sudah dibuat seperti papan dart asli. Tubuhnya bersimbah darah, keluar hingga menetes ke lantai. Rayyan puas dengan hasilnya, hanya dua buah pisau yang meleset. Sisanya sempurna. Apalagi dengan Yasmine. Seluruh pisau menancap sempurnya. Mulutnya sobek hanya dalam sekali lempar, kali ini Rayyan melepaskan kekesalannya.

Rayyan menghembuskan napas.

Vivi membawakan satu handuk menyerahkannya kepada Rayyan.

"Makasih sayang."

"Harusnya aku ikut." Kata Vivi mengutarakan keinginannya ikut melempar pisau. Sedari tadi dia hanya menonton Rayyan.

Rayyan membalas dengan senyuman. Tatapannya berubah hangat kepada Vivi. "Aku nggak mau kamu ngotorin tangan. Kamu kan udah dapet jatah, ya kan? Cukup lakuin perintah abangmu. Selebihnya biar aku yang ngurus." Entah bagaimana caranya, seseorang yang sama-sama memiliki jiwa psikopat bisa mengatakan hal demikian.

Di samping itu. Tinggal sisanya.

Aku mengambil pisau, menarik Andi dan membenturkannya ke dinding.

"Sesuai permintaan." Kataku. Andi tidak membalas, hatinya hancur, tidak ada harapan sama sekali. Yang ia lakukan sekarang adalah menerima takdir. Matanya terpejam siap menerima tusukan. Melihat itu aku malah tertantang untuk segera mengakhiri semuanya.

"Untuk dendam Ayah."

Aku menghujam perut Andi dengan tusukan kuat.

Aghhh!! Andi mengerang, tepat di tengah perut kugerakkan pisau ke atas. Setelah itu. Aku mencabut pisau dan hendak menusuk lagi.

"Untuk dendam Ibu."

Aghhh!!

"Untuk Vivi."

Aghhh!!

"Untuk alasan konyolmu-"

Aghhh!! Aghhh!! Aghhh!! Aghhh!! Aghhh!! Aghhh!! Aghhh!! Aghhh!!

Pada momen itu, aku meluapkan amarahku. Berkali kali Aku menusuk perut Andi tanpa henti. Tidak peduli di tusukan keberapa dia mati, yang kuinginkan adalah merasakan sensasi tubuhnya terkoyak. Sampai kapanpun aku akan ingat sensasi itu. Sensasi air yang keluar mengenai gengaman tangan, sensasi danging akibat tusukan yang terlalu dalam hingga isi perut Andi terlihat. Tusukan terakhir menembus dari bawah dagu hingga atas.

Ya. Sudah selesai.

Malam itu. Malam penantianku selama tujuh tahun lebih.

***

Dalam kesedihan, tangis tak terelakkan di detik terakhir. Andi tidak menyangka karma datang malam ini. Hasil dari perbuatannya bertahun-tahun lalu kini ia rasakan apa yang Iqbal dan Vivi rasakan. Saat setelah membunuh orang tua mereka, jabatan yang seharusnya diberikan kepada Ayah Iqbal jatuh ketangannya. Ini keinginan Andi, tapi saat impian tersebut didapatkan dengan tangan kotor, entah mengapa perasaan puas tidak ia dapatkan. Justru perasaan was-was.

Andi licik, penipu, brengsek, dan kejam. Namun banyak orang tertipu akan penampilannya rapih bersih. Sayangnya tidak berlaku pada apa yang dirasakan bawahan Andi. Bekerja sebagai dokter tidak menjamin seseorang baik. Bisa jadi sebaliknya. Andi selalu memberikan resep obat yang mahal untuk pasien dengan ekonomi menengah ke bawah. Tidak tanggung jawab, selalu menyerahkan tugas miliknya kepada bawahannya, sedangkan dia pergi entah ke mana.

Kasus yang cukup menjadi perbincangan bawahan Andi adalah saat dia menangani pasien gagal jantung akibat kecelakaan. Saat di bawah ke rumah sakit, Andi tahu pasien tersebut tidak akan selamat. Ia memanfaatkan hal tersebut dengan bilang ke pihak keluarga kalau ini harus dioprasi.

Andi mengatakan kalau oprasi tidak akan dilaksanakan kalau uang pembiayaannya terselesaikan. Begitu kejam Andi memeras harta dari keluarga yang kurang mampu. Andi berpikir, keluarga korban akan membutuhkan waktu mencari pinjaman, secara otomatis pasien yang seharusnya mendapat pertolongan lebih cepat akan meninggal akibat perbuatan Andi. Uang didapatkan dari pasien yang sudah diprediksi meninggal. Andi sempat mendapat pertentangan dari bawahannya, Andi dengan santai menjawab dirinya adalah kepala, dan bawahan harus patuh. Silahkan pergi dari rumah sakit ini jika tidak butuh uang.

Dalam berberapa tahun ia menjabat, kebohongan demi kebohongan ia lakukan.

Hingga tepat di suatu malam, hujan turun lumayan deras. Saat ia baru saja menutup telpon dari Citra. Ia disergap dari belakang oleh seseorang. Kepala Andi dipukul hingga jatuh pingsan. Semua gelap, itu yang dirasakannya. Ada rasa sakit setiap ia bergerak. Matanya perlahan terbuka, sayup-sayup Andi sadar. Nihil, ia tidak menemukan apapun selain kegelapan. Sejenak Andi berpikir ia sudah meninggal, saat ia merasakan tubuhnya terikat duduk di kursi dia mulai menyadari kalau sekarang ia berada di sebuah ruangan.

***