1 Malam pertama yang gagal

"Saya terima nikah dan kawinnya Kinan Ayunindya binti Rijal dengan mas kawin tersebut, tunai."

Hanya dalam sekali tarikan napas, Mas Biru berhasil mengucapkan ijab qobul. Dan saat itu juga, status kami berubah. Yang tadinya sendiri, menjadi berdua. Tak hanya itu, tanggung jawab, kewajiban kita berdua bertambah.

Apa yang aku lihat, menyesakkan hati. Tak seperti pengantin pada umumnya. Usai mengucapkan janji setia di depan penghulu, kebahagiaan lah yang terpancar. Namun, tidak dengan Mas Biru. Wajahnya masam, tak ada kebahagiaan sama sekali di sana.

"Mas," ucapku lirih, tetapi masih sangat jelas didengar olehnya. Mas Biru menoleh, dengan tatapan mata menyelidik.

"Mas kenapa, kok sedih gini? Mas Biru gak bahagia, ya? Nikah sama aku?" Keberanikan diri untuk bertanya.

"Itu cuma perasaan kamu aja," jawabnya sedikit ketus. Aku hanya bisa menghela napas panjang, dan menenangkan hati yang tak menentu.

Usai ijab qobul kami naik ke kursi pelaminan. Yang sudah disiapkan oleh panitia menyambut resepsi. Rangkaian demi rangkaian acara telah disampaikan oleh MC yang bertugas.

Mengusung adat Jawa pernikahan kami. Berbagai ritual khusus mau tidak mau harus kami lakukan. Seperti, temon manten yang saat ini sedang kami laksanakan.

Aku dan Mas Biru dipisahkan sementara. Dia dibawa keluarganya ke arah luar gedung ini. Sementara aku dan keluarga menyambut di bagian dalam. Musik gamelan sebagai pengiring, beberapa wejangan disampaikan oleh tetua. Mengiringi perjalanan Mas Biru dan keluarga masuk ke dalam. Tak kulihat senyuman di bibir pria yang saat ini sudah menjadi suamiku. Entahlah, apa yang terjadi dengannya.

Setelah saling berhadapan, terus memerintahkan aku untuk memecahkan telur di kaki Mas Biru. Hanya dengan sekali hentakan, kakinya sudah basah terkena pecahan telur. Kemudian, aku membasuhnya di air baskom yang berisi dedaunan. Aku juga tidak tahu daun apa itu.

Iringan pengantin, membawa kami duduk kembali di singgasana. Menjadikan kamu raja dan ratu dalam semalam.

"Mas, apa kamu haus?" tanyaku membuka kesunyian diantara kami berdua.

"Gak, Kinan. Aku gak haus," dijawab ketus olehnya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Biru. Kenapa sikapnya jauh berbeda dibanding sebelum kami menikah. Ia yang aku kenal karena ramah, perhatian, dan penyanyang. Seketika berubah menjadi pria dingin, yang cuek tak perduli.

"Selamat ya, Sayang?" Ibu mertuaku menyapa kami. Mencium kedua pipiku.

"Makasih, Bu."

"Oh iya, kami udah siapkan tempat bulan madu buat kalian." Wanita senja yang masih terlihat menawan itu memberikan dua lembar tiket ke Bali. "Ambil!" pintanya, terpaksa tangan ini menerimanya.

"Biru gak bisa, Bu. Banyak pekerjaan setelah ini!" celetuk Mas Biru membuat aku tercengang.

"Nanti bisa Niko yang handle," jawab Ibu tanpa keraguan. Mas Biru berdecak kesal. Seolah tak terima dengan keputusan Ibunya itu.

*****************

Usai pesta resepsi digelar, aku dan Mas Biru tak ikut rombongan pulang ke rumah. Ibu dan anggota keluarga yang lain sudah mempersiapkan kamar hotel mewah untuk kami melakukan malam pertama nanti.

Benar yang dikatakan oleh mereka. Ruangan yang lumayan lebar ini disulap menjadi tempat yang sangat romantis. Ribuan kelopak mawar tersebar di ranjang pengantin. Remang cahayanya pun hanya dari ribuan lilin yang menyapa kami berdua.

"Wahhh, keren banget ya, Mas?" ucapku menatap kagum ruangan tersebut.

Tak ada respon dari Mas Biru, pria itu justru mencari-cari sesuatu ke arah dinding. Tak lama, lampu nyala. Pria berkulit putih itu, langsung mengambil handuk dan berlalu ke kamar mandi. "Mas Biru kenapa, sih! Dingin banget sejak tadi," gumamku, duduk di tepi ranjang.

Tak berapa lama, Mas Biru keluar dengan tubuh yang sudah berpakaian rapi. Tentu saja, mengundang tanya. "Mas, kok pake kemeja sama celana panjang?" tanyaku heran.

"Iya, Kinan. Maaf, malam ini saya gak bisa temenin kamu. Ada pekerjaan penting yang harus saya urus sekarang!" jelasnya panjang lebar. Aku bahkan tak mendengar sempurna ucapannya, terlanjur kecewa dengan pria yang sekarang berdiri di hadapanku.

"Tapi ini malam pengantin kita, Mas? Masa kamu mau pergi?" ucapku tak terima. "Apa kata orang nanti, Mas. Kamu ninggalin aku saat malam pengantin kita." Kucoba meraih tangannya, berharap ia sedikit luluh dan mengurungkan niatnya meninggalkan aku sendiri.

"Semua malam sama, Kinan. Kita bisa melakukannya kapan aja, yang penting sudah sah." Pria itu mengacak rambutku yang masih bersanggul.

"Tapi, Mas. Aku gak mau ditinggal kamu." Aku masih berusaha bernego dengannya. "Lagian, kerja bisa besok lagi. Kamu temenin aku aja, Mas," bujukku, memasang wajah memelas. Aku bahkan merendahkan harga diri di depan pria itu. Ku rangkul tubuhnya, dia justru menjauh. Melepaskan tangan ini dari sana.

"Maaf, Kinan. Aku harus pergi!" serunya, tak bisa dibantah. Mas Biru, memakai jam tangan, kemudian mengambil ponsel dan dompetnya. Setelah itu mulai melangkahkan kakinya keluar.

"Mas!" teriakku memanggil. Namun, tak diindahkan olehnya. Mas Biru seperti bukan pria yang aku kenal. Dia berubah seratus delapan puluh derajat, dari biasanya. Apa yang sedang disembunyikan dariku.

Jujur, hati ini sakit melihat perlakuannya. Mas Biru bahkan enggan aku sentuh, merasa jijik dengan diri. Apa mungkin pernikahan ini tidak ia hendaki. Tetapi, kenapa dia mau menjalankannya.

********

Sepinya malam, sesepi hati ini. Aku bahkan tak bisa memejamkan mata. Pikiranku tertuju pada pria yang baru saja menjadi suamiku. Sudah tiga jam dia pergi, tetapi belum ada tanda-tanda untuk kembali.

"Mas Biru kemana, sih!" Aku mulai tak tenang. Kuambil ponsel, berusaha menghubungi. Kenyataannya, HP-nya di nonaktifkan. "Astaga, Mas Biru. Hp kamu pake di padam segala sih!"

Aku bisa apa, selain menunggu hingga ia pulang. Tak sadar, dinginnya udara AC menyapu tubuhku sampai terlelap. Aku sudah tak ingat apa-apa. Hingga sebuah suara mengusiknya. Aku terbangun, mengerjapkan mata.

"Mas, Biru!" seruku, setengah sadar.

"Kinan," balasnya tersenyum getir.

Kulirik jam di meja menunjukkan pukul empat pagi. Aku beranjak, mendekatinya. "Kamu baru pulang, Mas?"

"Iya, Kinan. Maaf, ya?" jawabnya singkat, tanpa penjelasan yang membuat hati ini tenang. Mas Biru, langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia seperti kelelahan, entah apa yang sedang ia lakukan sampai selarut ini.

Aku tak berani bertanya lebih. Membiarkan dia mengisyaratkan diri. Aku berusaha menyusul, merebahkan diri di ranjang. Namun, terpaksa aku urungkan karena mendengar suara adzan subuh. Gegas, aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.

Sekitar pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang menekan bel. Gegas, aku membukakan pintunya.

Seorang pemuda, memakai seragam office boy tersenyum manis padaku. "Permisi, Buk. Pak Birunya ada?" Pria itu menyapa, dan bertanya.

"Ada, masih tidur," jawabku, memasang wajah curiga. "Ada yang bisa saya bantu?"

Tak lama, pria itu mengambil sesuatu dari kantong celananya. Benda pipih berwarna hitam, yang sangat kukenali ia berikan padaku.

"Ini, hp pak Biru tertinggal di kamar sebelah," ujar pria itu.

"Hp?" Aku mengulangnya, seolah tak percaya dengan apa yang aku dengar. Terpaksa, aku mengambilnya, dan pria itu pergi setelah aku mengucapkan terimakasih.

Disaat itu juga, Mas Biru terbangun. Pria yang masih terlihat tampan, meski baru bangun dari tidurnya tampak mencari-cari sesuatu.

"Kamu nyariin apa, Mas?" Aku beranikan diri untuk bertanya.

"Hp," jawabnya singkat, fokus mencari.

"Ini," ucapku, menyerahkan benda yang ia cari. "Tadi OB antar, katanya tertinggal di kamar sebelah," sambungku, memasang wajah ketus. "Kamu ngapain, Mas. Di kamar sebelah?"

avataravatar
Next chapter