37 Malam Pertama Tidur Sendirian

Eva meninggalkan Laila dan Hilman. Membiarkan keduanya untuk berbicara. Sebenarnya ia tidak tahu mengapa ia tidak suka dengan Laila. Padahal Laila terlihat seperti seorang yang lemah lembut dan polos.

'Kenapa aku khawatir gadis ini akan merebut Hilman dariku? Padahal aku sendiri yang bukan siapa-siapa. Aku hanya wanita kotor yang beruntung menjadi istri Hilman,' batin Eva.

"Mas?" panggil Laila pada Hilman. Ia tetap tersenyum walau Hilman terus cuek terhadapnya. Padahal mereka sudah sah menjadi suami-istri.

"Apa? Kembali ke kamar!" Hilman meninggalkan tempat itu. Ia bersikap dingin pada perempuan yang baru dinikahinya.

"Iya, Mas." Laila mengikuti Hilman ke kamar pengantin. Semenjak bertemu dengan Eva, Hilman mendiamkannya. Malah lebih bersikap dingin daripada siang tadi setelah Laila pingsan.

Laila tidak bertanya langsung kepada Hilman, apa yang terjadi. Laila percaya Hilman tidak akan menyakitinya. Disaat Laila mengikuti Hilman ke kamar, Hilman tidak menghiraukan Laila. Ia berjalan dengan cepat, hingga sampai ke ruangan itu.

"Ada apa, Mas?" tanya Laila. Ia takut berbuat salah karena kejadian tadi sore. Padahal niatnya hanya ingin lebih dekat dengan Eva, istri pertama Hilman.

"Sudahlah ... kamu istirahat saja dulu." Hilman menghela nafas. Tidak seharusnya ia memarahi Laila. Hilman hanya emosi sesaat. Ia tidak bisa menyalahkan Laila sepanjang waktu. Jika ada yang harus disalahkan adalah orang tuanya sendiri.

Kalau bukan karena papanya, Hilman tidak akan menikah dengan Laila. Laila juga tidak mungkin bisa berbuat macam-macam dengannya. Apalagi melihat wajah polos itu. Hilman tidak sampai hati menyakiti perempuan seperti Laila.

"Duduklah!" perintah Hilman. Hilman duduk di tepi ranjang dan menepuk kasur di samping agar Laila duduk.

"Iya," sahut Laila. Ia kemudian duduk dengan tenang di samping Hilman.

Laila dan Hilman sama-sama duduk di tepi ranjang. Meskipun mereka sudah sah menjadi suami-istri, Hilman tidak akan mengkhianati cinta Eva. Hilman tidak bisa menerima Laila dalam hidupnya. Bahkan untuk menyentuhnya, Hilman tidak berani.

"Kamu tahu, kalau kita dinikahkan karena paksaan dari orang tuaku? Aku tidak akan pernah menyentuhmu."

"Kenapa? Aku ini istrimu. Istri sahmu. Seharusnya malam ini adalah malam pernikahan kita, bukan?" Laila tidak mengerti jalan pikiran Hilman. Dia juga bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi. Walaupun ia tidak pernah tersentuh lelaki lain, dirinya telah menyiapkan diri sepenuhnya untuk melayani sang suami.

Laila sudah menerima pernikahan yang dikatakan itu adalah sebuah pernikahan paksa. Bagi Laila, tidak ada paksaan dalam pernikahan itu. Ia sudah ikhlas dengan semua yang telah terjadi.

"Dulu kamu yang memintaku untuk menerima lamaran darimu. Mengapa kamu bilang ini pernikahan paksa dari papamu? Bukankah kamu yang memaksaku untuk menikah denganmu?"

"Laila!" bentak Hilman. Memang benar yang dikatakan oleh Laila. Tidak seharusnya ia bilang pernikahannya adalah sebuah paksaan.

Hilman berpikir bahwa dirinya yang terpaksa menikah dengan Laila. Padahal Laila yang seharusnya merasa demikian. Laila tidak tahu apa-apa tentang perjodohan itu. Namun dia yang bersikeras untuk menikahi Laila karena khawatir harta orang tuanya jatuh kepada orang lain.

"Jadi ... apakah karena aku yang memaksamu, kamu mau menikahimu? Apakah kamu membenciku, Laila?" tanya Hilman.

"Tidak," balas Laila. Ia sudah diajari orang tua dan kakeknya untuk tidak membenci siapapun.

"Lalu ... apakah karena harta? Kamu seperti perempuan lainnya, yang tahu apa itu uang. Karena kamu pikir, dengan menerima lamaranku, kamu akan mendapatkan kekayaan, bukan?"

"Maaf, kamu tidak perlu berkata seperti itu padaku. Apakah kau lupa, apa yang kamu janjikan padaku waktu itu?"

"Apakah kamu senaif itu, Laila? Oh, baiklah ... aku beritahu padamu. Walaupun kamu menjadi istriku, bukan berarti kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan! Dan kuharap kamu sadar, aku tidak bisa memberikan apapun padamu."

Laila tetap tersenyum dengan perkataan Hilman padanya. Karena menikah, menurutnya bukanlah demi harta duniawi. Pramono telah berpesan padanya untuk sabar menyikapi siapapun yang menjadi suaminya. Tujuan pernikahan adalah untuk beribadah, mengharapkan ridho-Nya.

"Aku tidak menikah untuk mencari duniawi semata. Asalkan aku hidup baik, aku tidak akan menuntut banyak darimu. Ini sudah menjadi keputusanku untuk menerima pernikahan ini."

Laila tetap tegar menghadapi sang suami. Kadang ia berpikir, lebih baik dia menikah dengan orang yang lebih memahami ilmu agama. Namun saat bertemu Hilman, ia telah meminta petunjuk dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebelum benar-benar menerima pernikahan itu.

"Allah berjanji bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik pula. Apakah kamu pernah mendengar arti dari ayat ini? Dan itu tercantum dalam surah An-Nur ayat 26. Aku percaya, kamu orang baik. Jadi aku tidak perlu khawatir," ungkap Laila sembari menyunggingkan senyum.

"Kau pikir aku sebaik itu, heh ... kamu memang mengetahui ilmu agama. Namun bagiku, kamu masih anak kecil. Baiklah ... kalau begitu, kamu istirahatlah dengan baik." Hilman ingin mengetes Laila. Apakah benar Laila benar-benar perempuan yang baik seperti yang orang katakan padanya.

Hilman juga hanya bisa menghindari Laila untuk membuktikan cintanya terhadap Eva. Sebenarnya Hilman tahu gadis di depannya saat ini sedang menahan amarah. Tapi sungguh pintar Laila menyembunyikan perasaannya.

"Terima kasih ...." Laila tidak akan membenci atau marah. Walau ia kecewa dengan Hilman yang telah mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya.

Bagaimanapun Hilman saat ini adalah suaminya. Ia harus patuh dan menuruti perkataan suaminya. Jika ia tidur sendirian saat malam pertama ini, ia akan tetap mendoakan yang terbaik. Laila percaya, istri yang baik, bukanlah istri yang rajin beribadah dan selalu melaksanakan kewajiban. Istri yang baik adalah seorang istri yang senantiasa patuh terhadap suaminya. Karena balasan dari kepatuhannya adalah surga.

Hilman tidak menghiraukan ucapan Laila. Ia segera keluar dari kamar dan menutup pintunya dari luar. Tinggallah Laila sendiri di dalam kamar megah itu. Ia duduk bersimpuh di lantai sambil mengadahkan dua tangannya.

"Ya Allah ... jika memang dia memang lelaki yang terbaik yang Engkau takdirkan untukku, tolong bukakanlah hatinya, Ya Allah." Laila meneteskan air matanya. Batinnya terasa sakit tapi ia harus menerima semuanya.

Laila menghapus air matanya dan masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. Dalam keadaan sakit batinnya, ia harus tetap mengingat kewajibannya. Ini sudah waktunya untuk melaksanakan sholat isya. Sebagai hamba yang baik, Laila tidak pernah meninggalkannya.

Setelah mengambil wudhu, Laila menggelar sajadah dan mengenakan mukena. Menghadap ke kiblat dan terlebih dahulu melakukan sholat sunah dua rakaat sebelum sholat isya.

"Laila ... kamu sebenarnya perempuan yang baik. Salahkan diriku ini yang tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu," gumam Hilman.

Hilman dari tadi belum meninggalkan kamar pengantinnya dengan Laila. Ia menunggu di depan pintu untuk memastikan apa yang dilakukan oleh istrinya.

"Kuharap kamu tidak membenciku, seperti katamu tadi, 'Allah berjanji bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik pula.' Aku tahu kamu perempuan baik tapi aku takut, aku bukanlah laki-laki yang baik untukmu," lirih Hilman. Hilman melangkahkan kakinya menuju di mana Eva berada sekarang.

***

avataravatar
Next chapter