webnovel

Puncak Gayatri

Aku masih tersengal – sengal, serasa nafas tinggal setengah nyawa. Aku tetap memperhatikan jalanan. Sudah terlihat sedikit kerlap kerlip lampu di atas sana. Namun saat di hampiri, ternyata tertera tulisan "Masih Mendaki Lagi" kaki ku pun langsung lemas. Namun ada suara air mengalir dari samping kanan jalan.

"Mas, berapa lama lagi ini? Nggak kuat aku." Ucap ku sekali lagi mengeluh.

"Eh, lihat di situ Dian. Ada warung, mau istirahat di situ dulu nggak?" tanya mas Radit menawarkan.

"Iya lah aku butuh istirahat."ucap ku dengan nada kesal.

Kami kemudian menghampiri warung tersebut yang ternyata juga menjual bakso.

"Pak punten ya numpang duduk sebentar." Ucap ku.

"Silahkan teh," ucap penjaga warung.

"Pak, masih jauh ya tempat kemah Gayatri?" tanya ku pada penjaga warung tersebut.

"Dikit lagi teh, 400 meteran lagi." Jawab nya.

"Lumayan pak kalau jalannya menanjak begini."Ucap ku.

"Di sini perkemahannya ada beberapa teh. Kalau yang di Gayatri itu untuk umum. Kalau yang di samping saya ini adalah perkemahan keluarga." Ucap bapak penjaga warung.

"Oh, pantesan kelihatan banyak lampu nya. Di sediakan listrik juga ya pak kalau untuk keluarga?" Tanya mas Radit.

"Iya aa, baru pertama ke sini ya a'?" tanya bapak penjaga warung.

"Iya pak, baru tahu. Kalau saya tahu jalanannya penuh bebatuan begini, saya nggak akan pakai sepatu teplek begini pak." Ucap ku.

Bapak penjaga warung hanya tertawa, di ikuti tawa mas Radit. Keringat ku mengucur deras dan kaki ku mulai bergetar. Bukan bersikap berlebihan, hanya saja aku mungkin belum terbiasa berjalan menanjak seperti ini. Setelah ku rasa lelah ku menghilang, aku kemudian berusaha melanjutkan perjalanan.

Mas Radit kembali menuntun ku berjalan dengan hati – hati. Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya kami tiba di pintu masuk perkemahan Gayatri. Sesampainya kami di atas, rasa lelah ku menghilang melihat kerlip lampu – lampu yang aku lihat dari atas ke bawah.

"WAAAAAAAAH, bagus ternyata dari atas sini melihat ke bawah." Ucap ku takjub.

"Tuh kan, nggak nyesel kan kamu naik." Sela mas Radit.

"Ya pas sampai atas nggak nyesel. Tapi tetap saja aku kesal sama kamu. Nggak tanya – tanya dulu sama teman – teman mu jalanannya. Sepatu ku ini loh, bikin sakit kaki ku." Ucap ku.

"Iya .. iya, maaf." Ucap mas Radit.

"Udah cepat hubungi teman – teman mu. Di mana mereka berkemah." Ucap ku sambil memvideokan suasana malam itu.

"Iya, tunggu." Mas Radit pun berusaha menghubungi beberapa teman nya untu menjemput kami di pintu masuk perkemahan Gayatri.

Saat teman – teman nya datang, mereka mengarahkan aku dan mas Radit menuju tempat perkemahan mereka. Mas Radit belum melepaskan genggaman nya pada ku. Ia masih menjaga ku agar berjalan dengan hati – hati.

Suasana gelap malam itu, tidak ada lampu gemerlap. Hanya di temani cahaya bulan yang saat itu sedang terang – terang nya. Namun aku belum mematikan lampu dari telepon genggam ku. Aku masih memperhatikan jalanan dengan teliti sekalipun sudah tidak ada bebatuan.

Setelah sampai di tenda yang teman – teman mas Radit dirikan, kami di persilahkan duduk. Ada 2 teman wanita dan 5 teman pria mas Radit. Aku hanya mengenal nama Nuna dan Ayu untuk kedua teman wanita suami ku itu dan Rizki, Sigit dan Ihsan saja untuk 3 orang teman pria suami ku. Sisa nya aku berkenalan dengan 2 lainnya malam itu.

"Oh, ini toh yang sering video call an sama mas Radit di kantor." Ucap Doni salah satu teman mas Radit yang berkenalan dengan ku malam itu.

Aku hanya tertawa kecil mendengar hal itu.

"Hei, Dian." Aku mendengar suara Rizki di dalam tenda.

"Hai, wah Rizki. Apa kabar mu?" tanya ku.

"Sehat Dian. Duduk di dalem gih, gabung sama cewe cewe." Ucap Rizki.

"Di sini saja Rizki. Sama Radit." Ucap ku.

"Iya mba, sini sama aku sama Nuna." Ucap Ayu menawarkan untuk bergabung.

"Nggak apa – apa, aku di sini saja. Hilangin keringat dulu." Ucap ku.

Aku terlalu canggung untuk bergabung dengan teman – teman suami ku. Sekalipun mas Radit sering berkata sudah seperti keluarga dengan mereka semua. Namun aku terlalu sensitive untuk bisa berbaur dengan orang – orang yang baru ku kenal.

Di atas puncak Gayatri yang bermandikan dengan sinar rembulan malam itu Ihsan, Sigit dan mas Radit mencairkan suasana dengan bermain musik. Persiapan yang sangat matang itu di temani suara gitar, perkusi dan gitar kecil ala musik kroncong.

Saat mereka memainkan alat musik mereka, Sigit dengan gitar kecil dan mas Radit yang memainkan gitar akustik dan Ihsan yang bermain perkusi bernyanyi bersama – sama. Bibir ku pun tanpa terasa mengikuti setiap musik yang di mainkan.

Aku sengaja merekam acara malam itu. Udara yang dingin menusuk hingga tulang tak dirasakan. Semua terasa hangat. Life perkusi mereka di selingi juga tingkah Ihsan yang dengan diam nya saja membuat semua orang tertawa.

Lelaki dengan tubuh gempal dan kepala sedikit botak itu selalu mencairkan suasana dengan segala tingkah konyol nya. Mas Radit pernah menceritakan Ihsan adalah sosok yang lucu dan selalu menjadi bahan bercandaan saat berada di ruangan kantor mereka.

Sedangkan Sigit, pria dengan kulit hitam manis dan berkaca mata itu selalu menimpali. Setelah ku perhatikan seksama Sigit mirip dengan mas Radit yang sama – sama menggunakan kaca mata versi kulit yang lebih gelap. Mas Radit memiliki keturunan Tionghoa yang membuat kulti nya lebih putih.

Selepas keluar dari kantor, aku hampir tidak pernah mendapatkan hiburan untuk berkumpul seperti ini. beruntung suami ku mengajak ku ikut bergabung. Aku kemudian membakar rokok yang sudah di linting dari rumah.

"Masih merokok Dian?" ucap Rizki.

Lelaki bertubuh kurus dengan rambut ikal nya itu tahu bahwa sedari dulu aku merokok aktif. Ia kemudian menawarkan minuman alkohol anggur yang biasa di pakai untuk jamu yang mereka beli beberapa botol sebelum ke Gayatri.

"Oh, iya aku masih merokok. Kan aku menulis. Suntuk kalau tak ada rokok. Tapi kalau minum ini aku sudah berhenti. Mas Radit juga." Ucap ku.

Mas Radit pun menolak dengan halus. Rizki pun bisa memahami.

"Lagian jam 5 nanti kami pulang,Ki" jawab mas Radit.

"Hah?? Serius?? Nanggung amat. Pagi lah sekalian ikut foto – foto." Ucap Rizki.

"Anak – anak ku siapa yang jagain. Bangun – bangun pasti cariin mama nya." Ucap Mas Radit.

"Yah sayang banget." Kata Ihsan menimpali.

Kemudian kami tertawa, bernyanyi dan makan – makanan ringan yang di goreng menggunakan kompor gas kecil untuk berkemah menghabiskan malam dengan sinar terang rembulan yang tampak indah di lihat dari atas Gayatri.

Beberapa teman – teman mas Radit sudah tahu tentang tingkat sensitivitas perasaan ku karena penyakit yang aku alami. Mereka sangat menjaga ucapan mereka malam itu terhadap ku. Sejujurnya aku menjadi minder sendiri atas apa yang mereka lakukan malam itu.