webnovel

PERNIKAHAN BUNGA

Jika mencintai semudah itu, sudah kulakukan itu sejak awal dengan berkata "iya". Nyatanya, cinta ini hanya kuberi untuk ibu, adik-adikku, dan Tuhanku. Namun, entah bagaimana nanti perjalanan hidupku akan berakhir mencinta atau memutuskan cinta. Tuhan mungkin lebih tau, mana yang memang ditakdirkan untukku, mana yang menjadi ujian bagiku. ~Bunga

bilarami · Teen
Not enough ratings
15 Chs

Aku

Hai, Namaku Anna Bunga Syifa. Aku seorang anak perempuan yang akan berusia 22 tahun bulan depan. Tepatnya bulan Desember nanti. Aku anak sulung dari 4 saudara. Ya... Saudara, dan aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluargaku.

Kini aku tinggal disebuah kos-an kecil ukuran 4x3 mencakup kamar mandi dalam. Jadi bisa dibayangkan seperti apa 'kamar'ku ini. Aku memilih tinggal disini karena menurutku hanya kos-an disinilah yang murah dengan fasilitas kamar mandi dalam. Persisnya, aku menghindari bersosialisasi dengan penghuni kos-an lainnya. Aku seorang 'introvert' untuk orang-orang di luar lingkungan keluarga. Selebihnya aku sangat hangat dengan keluargaku.

Aku tinggal disini untuk bekerja sekaligus menyelesaikan administrasi perkuliahan yang harus kuselesaikan setelah sidang skripsi sudah tuntas dan berkas-berkas pengajuan wisuda minta diselesaikan dengan cepat. Ya, dan disinilah aku.

Oh iya, sepertinya aku belum bilang apa pekerjaanku. Aku hanyalah seorang pencuci piring disebuah restoran hotel bintang 5 di kota besar ini. Kota Jakarta. Meski begitu, hanya hotel itulah yang menerimaku sebagai pekerja sejak aku semester 3. Dan kalian ingin tau berapa gajiku per-trimester-nya?.. Bukan belasan juta. Ataupun satuan juta. Melainkan 25 juta. Bayangkan 25 juta untuk tiga bulan.

Uang sebanyak itu bisa kugunakan untuk membiayai hidup keluargaku di rumah. Sedikit cerita, sebenarnya aku pun heran kenapa restoran hotel bisa menggaji pekerja pencuci piringnya sebegitu besarnya. Tapi, seingatku manager restoran hanya mengatakan bahwa itulah fungsi pembagian bintang untuk hotel. Bintangnya sama dengan semua harga juga fasilitas yang nanti akan didapat. Kala itu aku hanya bisa mengangguk sambil terhenyak di tempat dengan ribuan kupu-kupu terbang diperutku. Aku senang.

Sebenarnya aku anak jurusan ekonomi bisnis lebih tepatnya manajemen. Tapi aku rasa, aku nyaman di tempatku bekerja saat ini. Aku hitung-hitung, aku masih harus bekerja 2 tahun lagi untuk bisa mengumpulkan uang tabungan pendidikan untuk ketiga adikku. Terlebih lagi untuk adik bungsuku yang tahun ini sudah kelas 12 dan akan masuk kuliah dengan hasil jerih payahku.

Cukup perkenalan singkat ini mungkin. Karena, aku akan mempersilahkan kalian menyaksikan kisah hidupku yang sebenarnya, bukan hanya dari ceritaku saja. Tapi kalian ikut menyaksikannya. Kuharap hidupku sesuai dengan harapan kalian hihihi...

----------------

Segar. Sungguh segar. Udara di sekelilingku benar-benar menyegarkan. Bahkan sedari aku sholat subuh dan membantu ibu mengatur urusan dapur, aku tak beranjak sedikitpun dari jendela kamarku. Ya, aku sedang berada di kampung. Tempat keluargaku melepas penat setiap tahunnya. Kami sedang pulang kampung untuk menikmati liburan tahun baru.

Aku tersenyum memandang embun yang menempel di hamparan rumput di hadapanku.

"Ayah, aku pulang. Ayah rindu aku?" ucapku sendiri.

Tepat hari ini, 3 tahun sudah ayah meninggalkan kami. Ayah meninggal. Karena kecelakaan mobil waktu itu. Kecelakaan setelah kami berhasil membeli sebuah rumah di pinggir kota. Pada hari itu pula ayah meninggalkan kami.

Ayah tak memberikan pesan wasiat atau sebagainya. Yang ku ingat di kamar ICU rumah sakit yang ia tempati, ia hanya mengatakan sesuatu dengan lirih sekali. Sangat lirih.

"Maafkan ayah, ayah sayang kamu dan yang lainnya. Ayah ingin kalian bahagia dengan sisa-sisa perjuangan ayah. Ayah harap kamu berbesar hati nak dengan semua ini" ucap ayah waktu itu ditambah dengan suara yang lemah, penuh harapan, tersengal-sengal karena mungkin malaikat izroil sedang melakukan tugasnya. Setelah itu ayah meninggal.

Bahkan ibuku yang sangat mencintainya hanya bisa tersenyum ditambah lagi dengan airmata yang menetes begitu saja di kedua pipinya. Ketiga adikku hanya bisa memandang ayah dengan tatapan kosong. Dan kalian tak perlu menanyakan aku seperti apa kala itu. Aku seperti manusia tak bernyawa setelah ucapan ayah berakhir.

Aku sayang ayah, bahkan sangat sayang. Ayah yang selalu bersikap tegas padaku, ayah yang selalu memberiku hadiah selepas ia kerja di luar kota. Ayah yang selalu mengajak kami jalan-jalan setiap pekannya walau hanya ke kebun binatang. Ayah yang mengajarkan tentang seberapa penting pendidikan Itu bagi kami anak-anaknya.

Ayah yang selalu berjuang untuk kami tak kenal lelah. Ayah yang selalu saja bisa mendiamkan aku ketika aku menangisi rapot merahku ketika aku kelas 3. Ayah yang selalu memelukku sebelum berangkat kerja.

Ayah yang selalu menenangkan ketakutanku ketika ibu melahirkan adik bungsuku, padahal kutau sebenarnya ayah sama sepertiku, bahkan mungkin lebih parah. Hanya saja ia menahannya dan memilih mendiamkan tangisanku. Banyak sekali alasan aku sayang ayah. Bukan alasan. Hanya sebuah cerita ulang saat ayah menunjukkan kasih sayangnya.

Toktoktok

Aku tersadar dari lamunanku tentang ayah. Ternyata ada yang mengetuk pintu dari luar. Tanpa kubuka, si pengetuk pintu sudah menghambur masuk kedalam kamarku.

"Ka Syifa, ayo sarapan di bawah. Yang lain sudah dimeja makan" ucap seorang laki-laki yang lebih tinggi dariku. Lelaki itu adikku, Raihan Pradja Hadi.

"Eh iya Han, yuk" balasku sambil menghapus airmata yang ternyata membasahi wajahku. Aku berjalan melewati Raihan namun lenganku dipegang olehnya. Mau tak mau aku mengalihkan pandanganku padanya dengan mata yang sedikit merah.

Tanpa aba-aba, Raihan memelukku erat. Dan menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Pelukan ini.... Pelukan ini sama seperti pelukan ayah, ah tidak. Pelukan ini mengingatkanku akan ayah. Rasa sesak kembali menyeruak di dadaku. Sesak akan kerinduan yang seringkali membuncah belakangan ini dan benar saja hari ini menjadi puclncak kerinduan itu.

"Ayah... Ayah kok baru pulang?? Hiks... Yah, hiks.. Hiks... Aku kangen ayah" ucapku mengeluarkan apa yang ada dipikiranku tanpa sadar. Elusan lembut di pundak dan kepalaku semakin membuatku sesak sekaligus menenangkan.

"Syifa, ayah baik-baik aja Ka. Kamu jaga kesehatan yah. Gausah mikirin ayah terus. Ayah mau kalian doain ayah betah disini" balas Raihan dengan suara lirih menahan kesedihan yang ditularkan olehku mungkin. Aku harap ayah bahagia di sisi Allah. Entah kapan kita bisa berkumpul dengan ayah lagi.

"Syifa, Ibu, Raihan, Dirza, dan Awan akan rutin doain ayah. Kita sayang ayah... Hiks.. Ayah... Aku kangen" lirihku lagi.

Tak ada jawaban dari ayah. Ah- lebih tepatnya Raihan. Ku eratkan pelukan kami. Aku rindu ayah saat ini. Aku butuh tempat untuk bersandar. Perlahan namun pasti aku lepaskan pelukanku dari Raihan. Ku pandangi wajah adikku itu. Dia tersenyum kecil aku kembali memeluknya.

"Han, makasih banyak selalu ada buat kakak. Makasih selalu bisa jadi apapun untuk kakak" tukasku cepat dengan menepuk-nepuk punggung Raihan pelan.

"Never mind my princess. Apa sih yang enggak buat princessnya abang haha" balasnya sambil tertawa.

Kudelikkan mataku kesal padanya "Aku kakakmu Raihan, bukan adikmu" balasku singkat lalu keluar kamar. Entah kenapa, mood-ku sedang ekstrim sekali. Sedikit-sedikit aku merasa baikan tak berapa lama kemudian aku merasa sedih.

Mungkin hormon pms-ku sedang bekerja saat ini.

Tangga ini kujejaki cepat-cepat masih kesal dengan Raihan. Benar saja, ternyata di meja makan semuanya sudah berkumpul. Bahkan Awan yang biasanya makan di depan televisi. Kini duduk di bangku samping ibu duduk.

Senyum. Aku harus bisa tersenyum agar ibu dan adik-adikku yang lain tak tau kalau aku baru saja menangis. Ku kucek mataku perlahan guna menyegarkan mataku yang perih akibat menangis.

"Halo ibu, Awan, Iza" sapaku dengan tangan usilku yang sedang beraksi di kepala Awan. Rambutnya begitu halus dan mengingatkanku akan rambut kecilnya dulu yang seringkali ku usap-usap hingga ia tidur.

"Gak jelas dasar. Udah tuwir juga lu. Kayak bocah sd banget tingkahnya si" sindirnya kesal dengan keusilanku. Suaranya agak nyaring dibanding Iza dan Raihan. Dengan rambut hitam legam juga rapih. Kumis tipis. Janggut jarang-jarangnya itu membuatku suka memandangi wajahnya ini sekaligus menjahilinya. Dia benar-benar seorang adik yang membuat kakaknya senam wajah melihat tingkahnya.

"Assalamu'alaikum!!!" teriak seseorang dari luar rumah diiringi ketukan pintu. Baru saja aku dan yang lainnya membalas salam lalu ingin beranjak dari tempatku duduk, Raihan berjalan cepat menuju pintu. Ku urungkan niat itu dan membiarkan Raihan yang melihat siapa tamu di depan. Ku lanjutkan mengambil piring makan dan hendak menyendok nasi serta beberapa lauk yang ibu masak tadi pagi. Ku arahkan pandanganku ke pintu depan yang terlihat sosok asing berjalan kemari sambil memperhatikan ibu.

Siapa dia?