webnovel

Perkawinan Dua dunia

Diangkat dari kisah nyata yang terjadi pada leluhur kami yaitu kisah tentang perkawinan antara seorang gadis dari dunia kita ini dengan seorang pemuda dari dunia siluman ( siluman macan ). Peristiwa tersebut terjdi pada tahun 1700 an di wilayah Kadipaten Pemalang ( sekarang kabupaten ), tepatnya di Dukuh Sikemplang wilayah distrik Watukumpul. Nama-nama seperti Nyai Sedi, Nokidin, Kyai Astrajiwa adalah nama sebenarnya dari para leluhur kami. Sedangkan nama-nama : Lukita, Ki Sangga Langit, Ki Suta Blonos, Bagus Kuncung, Ki Setra Wungkal dan Jaka Kentring adalah nama-nama imajinasi saja.

kohjoen · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

SANG PENGEMBARA 1

Saat itu dukuh Pekuncen hanya terdiri dari beberapa rumah ( sekitar 10 sd 15 rumah ) yang letaknya juga saling berjauhan. Disebelah selatan dukuh Pekuncen, kira-kira berjarak 1 Km terdapat dukuh Sibalak kemudian ke selatan lagi sekitar 1 Km terdapat dukuh Sikemplang. Di dukuh Sikemplang inilah dimulainya kisah tersebut. Baik dukuh Pekuncen, Sibalak maupun Sikemplang semuanya terletak dikaki Bukit Banowati, masyarakat setempat menyebutnya Gunung Banowati. Yaitu deretan kaki Gunung Slamet sebelah timur. Ketiga dukuh tersebut terletak dipinggir sungai Lumeneng, sungai yang mengalir dari selatan yaitu dari desa Badak. Berliku-liku mengalir ke utara dan kemudian bercampur dengan sungai Comal, yang seterusnya bermuara ke laut Jawa.

Ketika itu di dukuh Sikemplang, tiga orang gadis asik mencuci di sungai Lumeneng. Salah satunya bernama Sedi, dua orang temannya berseru : "Ayo Sedi, aku sudah selesai. Cepat sedikit, kalau tidak kamu aku tinggal!". " Sebentar lagi, ini tinggal sedikit. Tapi kalau kalian mau pulang duluan ya silakan. Aku nanti pulang sendiri, bukankah masih ada orang-orang yang bekerja disawah" demikian Sedi menjawab. Ketika cucianya selesai, Sedi pun segera pulang. Dikanan-kiri jalan pulang terbentang sawah dan tampak beberapa orang petani sedang bekerja, Sedi pun bergegas pulang.

Ketika ia berjalan mendekati pohon poh, sejenis mangga yang buahnya kecil-kecil, tiba-tiba hatinya terasa berdebar. Ketika ia melihat ke arah pohon poh, tampak seorang pemuda berdiri memperhatikan. Tanpa sadar Sedi behenti dan memandang kearah pemuda itu. Seorang pemuda tampan berkulit kuning dan berambut ikal tersenyum kepadanya, dan ketika beradu pandang dengan pemuda itu tiba-tiba suatu perasaan aneh menjalar, mulai dari relung hati terus keseluruh tubuh.

Getaran itu begitu kuat mencekam jantung, ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba muncul rasa senang ketika saling tatap. Ada sesuatu yang mengembang didada, membuat wajahnya merah merona. " Ah tidak ", tiba-tiba ia merasa malu ketika sadar bahwa ia telah saling pandang dengan pemuda yang belum dikenalnya itu.

Nini Sedi pun segera mengalihkan pandangannya kearah lain serta melangkah kembali. Namun karena tegesa-gesa, ia terpeleset sehingga cuciannya jatuh tercecer di jalanan.

" Nini, kenapa kau?", pemuda tadi segera meloncat kearah Nini Sedi. "Ah, aku...aku tidak apa-apa. Aku kurang hati-hati sehingga terpeleset" jawab Nini Sedi terbata. "Tapi, tapi....cucianmu terjatuh dijalanan. Tentu harus dicuci lagi" kata pemuda itu. "Ya ya, aku memang harus mencuci lagi" jawab Nini Sedi.

" Mari ..... mari aku bantu membawakan ke sungai" pinta pemuda tadi. "Biarlah, aku bawa sendiri. Gak apa-apa" jawab Nini Sedi. Tapi ternyata ia diam saja ketika pemuda tadi membantu membawakan cuciannya ke sungai.

Dan Nini Sedi memcuci kembali cucian yang kotor karena terjatuh tadi sambil dadanya terasa gemuruh, entah karena rasa senang bercampur malu atau juga takut. Ya takut dilihat oleh orang-orang yang sedang disawah. Ia takut jika dilihat oleh orang-orang bahwa ia mencuci ditungui oleh seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Ketika selesai mencuci Nini Sedi bekata denga lirih serta bergetar suaranya : "Terima kasih kakang sudah membantu dan menemani, aku akan pulang, tidak usah diantar lagi".

Nini Sedi segera bergegas pulang, ia sampai lupa menanyakan nama pemuda itu. Padahal sebenarnya ia masih ingin tinggal lebih lama bersama pemuda itu. Ada rasa senang yang merambat dalam dada, sehingga hatinya berbunga-bunga. " Ya Nini" tergagap pemuda tadi menjawabnya. Dan ketika Nini Sedi lenyap ditikungan, pemuda itupun menarik napas berkepanjangan. Ia juga lupa menanyakan nama gadis tadi, : "Ah... mengapa jadi begini...." desah pemuda tadi. Tiba-tiba ia merasa ada sebagian dirinya yang terbawa ketika gadis itu berlalu.

Sore harinya Sedi dipanggil oleh ayahnya yaitu Ki Singa Truna, : " Sedi, anakku kemarilah. Ayah ingin bicara denganmu". " Ya ayah ", demikian Sedi menjawab. " Kamu adalah satu-satunya anak ayah yang akan menyambung keturunan, tetapi setiap kali ayah bertanya kepadamu tentang perkawinan kau selalu menjawab belum ingin kawin ".

Nini Sedi menunduk bisu. " Sekarang umurmu sudah 15 tahun, sudah terlambat untuk kawin. Kamu malah sudah jadi prawan tua ", lanjut ayahnya.

Ki Singa Truna adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di lingkungan dukuh Sikemplamg. Nini Sedi semakin diam menunduk, dalam usianya yang sudah mencapai 15 tahun seharusnya ia sudah kawin, karena rata-rata usia gadis dikampungnya sudah kawin ketika usianya 12 sampai dengan 13 tahun. Sementara untuk pemuda biasanya sudah berumur 17 sampai dengan 19 tahun, karena pada usia tersebut seorang pemuda sedang kuat-kuatnya untuk bekerja diladang atau disawah.

" Tadi man Wangsa berceritera kalau kamu tadi pagi mencuci disungai ditunggui oleh seorang pemuda", ayahnya melanjutkan. " Siapakah pemuda itu anakku?". " Aku... aku... tadi. .... terpeleset di jalanan ... ", tergagap Nini Sedi menjawab. Ki Singa Truna berkata lagi : " Tidak apa-apa anakku, ayah cuma ingin tahu siapakah pemuda itu dan dari mana?". Nini Sedipun menjawab tersendat : " Ayah, aku .... aku .... tidak tahu siapa namanya. Ketika itu aku pulang, aku terpeleset dijalan sehingga cucian jatuh. Pemuda itu menolongku, membawakan cucian ke sungai ".

" Baiklah Sedi dengarkan, ayah mau bicara ", Ki Singa Truna melanjutkan : " Sebenarnya ayah sudah kedatangan tamu yaitu 2 orang sahabat, yang petama Ki Suta Blonos dari Gepura. Dia datang melamar kamu untuk anaknya yaitu Bagus Kuncung. Selang beberapa hari kemudian, Ki Setra Wungkal dari Majakerta juga datang melamar untuk anaknya Jaka Kentring". Ki Singa Truna berhenti sejenak, kemudian melanjutkan lagi, : " Ayah belum bisa menjawab, karena setiap kali ayah bertanya kepadamu selalu kau jawab belum ingin kawin".

Nini Sedi semakin tertunduk diam, sebenarnya saat itu ia ingin mengatakan kepada ayahnya tentang pemuda tampan berkulit kuning berambut ikal yang menolongnya tadi pagi, yang telah membuat hatinya berbunga-bunga. Ia ingin mengatakan kepada ayahnya bahwa sekarang ia sudah siap kawin dengan pemuda itu, namun sekarang semuanya menjadi kacau.

" Sedi anakku, kau mengerti bukan adat kita. Kalau ada dua orang pelamar atau lebih, maka jalan keluarnya adalah sayembara tanding. Kalau kemarin2 kau sudah menerima lamaran Bagus Kuncung, tentu ayah tidak akan pusing seperti ini. Sekarang sudah bertambah lagi dengan Jaka Kentring, lalu pemuda yang katanya telah menolong kamu". Kemudian Ki Singa Truna melanjutkan lagi : " Baiklah Sedi, kau minta pemuda itu supaya datang kemari. Biar nanti ayah yang menjelaskan kepadanya, sekarang siapkan makan malam ayah. Ayah sudah lelah dan lapar !". Sedi pun menjawab, : " Iya ayah ".

Esok paginya Nini Sedi pergi ke sungai sambil membawa cucianya, tapi ia tidak menunggu dua orang temannya yang biasa bersama. Ketika sampai di dekat pohon poh, matanya mencari-cari dan betul pemuda yang kemarin itupun telah menungunya. Setelah dekat, : " Kakang ... kakang, .... kakang harus menang dalam sayembara tanding. Kalau tidak, ....kita....kita...." tergagap Nini Sedi berseru lirih.

" Iya Nini, ada apa? " jawab pemuda itu. Nini Sedi lupa bahwa ia belum tahu siapa nama pemuda itu, dan pemuda itupun belum tahu namanya. Ketika sadar iapun tersipu, : " Maaf kakang, bagaimana aku memangilmu? ".

" Namaku Lukita ", jawab pemuda itu lembut. " O ya, nanti sore, kakang Lukita di tunggu ayah. Rumahku diperempatan jalan ini. Itu yang ada pohon kemuningnya. Sudah, aku mau ke sungai mencuci, gak usah ditunggui lagi ". Nini Sedi berkata sambil berjalan ke sungai ". " Iya Nini", jawab pemuda itu, " Tapi.... Nini, nini..." seru pemuda itu lirih. " Namaku Sedi ", jawab Nini Sedi sambil berjalan ke sungai.

Menjelang sore, Lukita pergi berjalan menuju rumah yang disebutkan oleh Nini Sedi. Ketika sampai didepan rumah yang berhalaman luas serta ada pohon kemuningnya, Lukita berhenti. Berdebar Lukita memasuki halaman rumah itu, rumah yang cukup besar dengan sebuah pendapa dibagian depan. " Naiklah ke pendapa anak muda, aku sudah menunggumu ". Sebuah suara yang cukup berat menyambutnya dari dari seseorang yang sedang duduk sendirian diatas tikar di pendapa.